Sunday, June 06, 2010

[Esai] Prosa

PUISI dan prosa sering dianggap sebagai sepasang ”lawan kata”. Bahkan, tak hanya itu, puisi dianggap lebih tinggi dari prosa. Yang ”puitis” umumnya berkonotasi positif, sedangkan yang ”prosaik” sebaliknya. Mengapa bisa demikian? Dan betulkah puisi dan prosa adalah sepasang ”lawan kata”?

Mungkin kerja sastra yang telah berabad-abad lamanya mengukuhkan dikotomi itu. Puisi digubah dengan kesadaran yang intens (bahkan ”neurotik”) terhadap bahasa, sementara prosa ditulis dengan fokus utama terhadap ”isi” (cerita, perwatakan, argumen, dan sebagainya) dan konon perhatian seperlunya saja terhadap bahasa. Jika puisi adalah sebentuk komposisi berirama, maka seolah-olah prosa ditulis tanpa irama. Jika puisi menggarap unsur bunyi (juga sunyi) dan citraan serta pilihan kata secara ketat, maka semua hal itu seakan-akan tak terjadi pada prosa. Dengan kata lain: jika bahasa berlaku sebagai ”pemeran pembantu” dalam prosa, maka dalam puisi bahasa adalah ”pemeran utama”. Ada kalanya muncul kiasan lain: prosa adalah bahasa dalam bentuk cair, puisi adalah bahasa dalam bentuk padat.

Pandangan semacam itu mungkin tak sepenuhnya keliru, tapi memang sangat menyederhanakan, tak setimbang, dan akhirnya bisa menyesatkan. Sebab, dilihat dari sisi seberang, bisa tampak gambaran sebaliknya. Puisi adalah ungkapan bahasa yang gemar bersolek, aneh, samar-samar, bahkan gelap, sementara prosa adalah ungkapan bahasa yang wajar dan terang, makin wajar dan terang-benderang, makin baguslah prosa itu. Puisi mengigau sendiri; prosa berkomunikasi. Puisi doyan melanggar konvensi, dengan tameng licentia poetica; sedangkan prosa mesti mantap menjalankan tata bahasa (tanpa mengenal licentia prosaica). Dan seterusnya.

Daftar bias dari satu dan lain pihak tentu bisa diperpanjang. Namun, ada baiknya itu diperlakukan sebagai semacam permainan ”melihat dengan sebelah mata” secara bergantian—sebelum akhirnya kedua belah ”mata” dibuka lebar hingga tampaklah segenap kedalaman dan ukuran secara lebih jernih dan tajam.

Puisi dan prosa mungkin saja adalah ”kawan” sekaligus ”lawan”: berseberangan, berdekatan, bergelutan, tapi toh menghirup udara yang sama. Ritme atau irama, misalnya—pola ungkap yang menentukan karakter ”suara” sebuah karya sastra—nyatanya bisa hadir baik dalam puisi maupun prosa. Pentingnya diksi yang jitu serta susunan yang padu juga berlaku bagi keduanya. Prosa yang mantap, sebagaimana puisi yang kuat, sama-sama mengolah segenap unsurnya hingga ke taraf ”puncak pas”, tak lebih dan tak kurang.

Sementara itu, hubungan antara puisi dan prosa telah berlangsung jauh dan dalam pelbagai cara, kadang dalam kelindan ataupun bauran yang tak sederhana. Tak sedikit pula sastrawan yang sesekali atau banyak kali bergerak di wilayah kelabu antara puisi dan prosa, misalnya menulis karya yang lazim disebut prosa lirik atau prose poem. Demikianlah, prosa bisa merasuki puisi, atau sebaliknya, saling meresap dan bersenyawa, dan menjelmakan pelbagai jenis hibrida yang membuat pemilahan (maupun pemeringkatan) antara puisi dan prosa, antara yang ”puitis” dan yang ”prosaik”, mesti dipertanyakan lagi, terus-menerus.

HASIF AMINI

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Juni 2010

No comments: