Sunday, June 06, 2010

[Buku} Kepulauan Rempah

-- Bandung Mawardi

MOHAMMAD Hatta dalam ”Memoir” (1979) mengutip ulang ungkapan kondang yang kerap diucapkan seorang guru ilmu bumi bernama Van der Veen kepada anak-anak sekolah di Sumatera pada awal abad XX: ”Molukken is het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst”.

Ungkapan yang berarti ”Maluku masa lalu, Jawa masa sekarang, dan Sumatera masa datang” itu dimaksudkan untuk menjelaskan ulah kolonial dalam mengeruk pelbagai kekayaan melimpah di Nusantara. Maluku merupakan urutan pertama dalam urusan pengerukan rempah-rempah dalam masa awal kolonialisme.

Sejarah Maluku sebagai kepulauan rempah-rempah memang mengandung catatan luka dan impian tak terbayangkan. Negeri-negeri Eropa bertualang dan bersaing ketat untuk memburu rempah-rempah. Maluku yang kaya rempah-rempah itu cepat terkuras oleh kelihaian ulah politik-ekonomi bangsa-bangsa penjajah, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.

Fragmen awal kolonialisme memang memudahkan orang mengenangkan Maluku. Buku karya Adnan Amal ini sengaja hadir dengan pelbagai penjelasan sejarah dan argumentasi tentang lakon ekonomi, politik, sosial, dan agama di Maluku Utara. Pembaca tentu tidak sekadar disuguhi oleh fragmen kolonialisme saja, tetapi juga rentangan sejarah panjang mulai dari 1250 sampai 1950 yang menegangkan.

Polemik nama

Buku ini terbagi dalam 18 bab disertai lampiran-lampiran penting mengenai pelbagai hal. Penulis cukup telaten menarasikan kisah-kisah pada masa kerajaan Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku. Narasi sejarah itu dilacak mulai dari mitos, legenda, folklor, hingga dokumen-dokumen sejarah.

Uraian mengenai sejarah Maluku cukup memikat meski pembaca membutuhkan ketelatenan untuk pemahaman utuh mengenai tokoh, peristiwa, atau tahun. Sejarah Maluku pada masa kerajaan memang kerap melahirkan sejumlah intrik politik pelik yang membuat uraian sejarah memiliki banyak belokan.

Penamaan Maluku, misalnya, terus mengundang polemik karena muncul sekian versi mengenai asal-usul dan makna kata. Amal dalam halaman awal menghadirkan perbedaan versi penamaan Maluku. Sumber lokal menyebutkan, Maluku terbentuk dari kata ”moloku” dengan arti menggenggam atau menyatukan.

Versi lain mengatakan, kata ”maluku” berasal dari bahasa Arab ”malik” yang berarti raja. Informasi ini mengacu pada kebiasaan para pedagang Arab menamai deretan pulau di bagian utara Maluku sebagai ”jazirah al-maluk” yang berarti kepulauan raja-raja. Penamaan ini menunjuk pada keberadaan kerajaan yang berpengaruh pada masa itu: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan.

Orang Portugis yang datang pada abad XVI memberikan julukan ”Mollucas”. Masalah nama ini memang pelik dan Amal mengajukan model pertimbangan mengacu pada sudut sejarah, perdagangan dan pelayaran, serta administrasi.

Uraian sejarah panjang Maluku memang diperlukan untuk dijadikan sebagai cerminan diri terhadap peran Maluku dan nasib Maluku dalam perubahan zaman. AB Lapian dalam pengantar menyebutkan bahwa buku ini mengisi kekosongan pengetahuan sejarah terhadap Maluku. Penulisan sejarah di Nusantara memang mengesankan sepenggal-sepenggal dan membuntuti arah perhatian kolonial. Amal telah membukakan pintu masuk pada siapa saja untuk menelusuri sejarah Maluku mulai dari kisah cengkeh yang mengguncang dunia sampai pada kerentanan konflik di Maluku dengan aneka motifnya.

Buku ini hendak mengingatkan bahwa sejarah memicu orang melakukan pelacakan asal-usul untuk mengafirmasi identitas dengan sekian tautan politik, ekonomi, agama, sosial, dan kultural. Sejarah Maluku Utara memang sesak dengan pengaruh dari berbagai pergaulan dengan bangsa-bangsa lain yang datang dengan bermacam-macam pamrih. Persentuhan dengan agama Islam dan Kristen menentukan perubahan lakon politik-kultural. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan niat perdagangan dan kolonialisme menimbulkan intrik politik dan konflik.

Pertarungan kepentingan

Sejarah kerajaan Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan merupakan jejak kompleks dari pertarungan kepentingan yang mengusung tendensi politik, agama, ekonomi, dan kultural. Puncak dan keruntuhan kerajaan-kerajaan itu selalu riuh dengan luka dan pengharapan.

Kisah lanjutan dalam bentuk kolonialisme semakin membuat sejarah Maluku Utara penuh dengan perubahan-perubahan fundamental. Nasib kerajaan-kerajaan besar dan kecil dipertaruhkan dengan perseteruan dan persekutuan dengan pemerintahan kolonial. Perpecahan terjadi, tetapi utopia untuk mengembalikan puncak kebesaran masih membayangi.

Nasib Maluku Utara mulai abad XVII sampai masa kemerdekaan diuraikan dengan lumayan detail dan analitis. Pemerintah kolonial Belanda memainkan politik dengan wajah ganda yang memicu perlawanan dan pemihakan dari penguasa-penguasa setempat. Perlawanan muncul dengan alasan terjadi eksploitasi dan intervensi atas nama kolonialisme. Masa kolonialisme di Maluku Utara menyimpan kenangan luka yang belum usai. Nasib Maluku Utara masih dalam ombak kegelisahan.

Bab ”Lahirnya Kesadaran Kebangsaan di Maluku Utara” pada halaman 347-360 mengandung penjelasan tentang kelahiran organisasi sosial-kultural dan pengembangan ekonomi sebagai embrio kesadaran nasionalisme. Persemaian gerakan itu terjadi pada 1919 dengan pendirian organisasi Budi Mulia. Awalan ini menjadikan Maluku Utara sebagai ruang persemaian dari pelbagai ideologi atas nama pergerakan kebangsaan.

Amal pun memberikan penjelasan pendek mengenai lakon PKI, Sarikat Islam, PNI, dan Muhammadiyah di Maluku Utara. Sekian lakon itu ikut menentukan arah dan wajah Maluku Utara pada masa depan ketika ada dalam naungan penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Republik Indonesia, dan Negara Indonesia Timur.

Buku garapan M Adnan Amal ini merupakan kontribusi besar dalam penulisan sejarah di Nusantara. Amal sendiri mengakui bahwa keminiman buku sejarah Maluku memang memprihatinkan karena selama ini sejumlah buku penting mengenai sejarah Maluku justru ditulis oleh orang asing.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Juni 2010

No comments: