-- Frans Sartono/Myrna Ratna
”Tahun 1967 kami digusur dari Istana. Kami dikasih waktu dua kali 24 jam untuk pindah. Kami ’gedandapan’. Untung ada rumah di Sriwijaya ini,” kata Guruh Soekarno Putra (56) Begitulah Guruh dan juga saudara-saudaranya yang sejak kecil tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, itu kemudian hidup di luar istana. Dan sejak tahun 1967 Guruh tinggal di Jalan Sriwijaya.
”Akhirnya kami semua tumplek blek di sini. Cuma ya umpel-umpelan,” kata Guruh yang menerima Kompas di ruang tamu yang terletak di bagian kanan depan rumahnya.
”Seperti sudah jadi suratan hidup, ibu telah menyiapkan rumah ini untuk kami,” kata Guruh yang menyebut ibunya, Fatmawati, yang mengupayakan pembangunan rumah tersebut dan rampung sekitar tahun 1956.
Bertandang ke rumah kita akan disuguhi sejarah. Bukan hanya dari penuturan Guruh, tapi rumah itu sendiri bagaikan bercerita.
”Bung Karno pernah duduk di situ, di pojok situ itu,” kata Guruh menunjuk sudut ruang tamu.
Di ruang itu ada patung Dewi Kwan Im, kenang-kenangan dari Mao Zedong, pemimpin China yang berkuasa pada rentang 1943-1976. Guruh lalu bercerita tentang
keluarganya pada paruh kedua 1960-an. Bung Karno, salah satu pendiri Republik ini, dilengserkan. Tokoh yang pada masa jayanya disebut sebagai penyambung lidah rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi itu harus keluar dari Istana. Bapak Bangsa itu diperlakukan seperti tahanan kota di Wisma Yaso.
Selama ditahan, kata Guruh, Bung Karno kadang datang ke rumah Jalan Sriwijaya untuk berkumpul dengan keluarga. ”Bapak datang ke Sriwijaya ketika Mbak Rah (Rahmawati) menikah. Bapak saat itu berjalan tertatih-tatih. Mukanya sembab,” kata Guruh tentang Bung Karno yang kala itu menderita sakit.
”Waktu itu acara pernikahan pakai gamelan dengan pemain dari Istana. Mereka semua menangis melihat Bapak seperti itu.”
Rumah itu menjadi saksi mata pernikahan anak-anak Bung Karno, mulai Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, sampai Guruh yang menikah dengan putri Uzbekistan, Sabina Guseynova, pada tahun 2002.
Bu Fat
Rumah Sriwijaya itu juga menjadi saksi keteguhan hati seorang perempuan, seorang ibu, Ibu Negara pula, bernama Fatmawati (1923-1980), istri Bung Karno.
Guruh membahasakan nama itu sebagai Bu Fat. Bung Karno,
belakangan menikah dengan Hartini, tepatnya tak lama setelah kelahiran Guruh pada tahun 1953. Seiring suasana batin, Bu Fat kemudian memutuskan keluar dari Istana.
Bu Fat dalam biografi Catatan Kecil Bersama Bung Karno penerbit Sinar Harapan, 1978, menulis:
”Dengan kepandaianku dan usahaku sendirilah hingga rumah sudah kumiliki. Pada suatu hari kira-kira tengah hari aku menghadap Bung Karno untuk pamit pulang ke rumahku di Sriwijaya. Bapak tidak mengizinkan dan berkata: ’Di sini rumahmu.’ (Istana Negara, red). Aku menjawab: ”Di sini bukan rumahku ...” kata Bu Fat yang gigih menentang poligami itu.
Bung Karno tetap tidak mengizinkan Bu Fat meninggalkan Istana. ”Tapi, pada waktu bapak sedang ke daerah-daerah, ibu boyong-boyong ke sini. Sriwijaya jadi tempat ibu menyepi, menenangkan diri. Ibu tidur di Sriwijaya, tapi setiap Sabtu dan Minggu (ketika Bung Karno tidak ada di Istana) ibu ke Istana nemenin kami anak-anaknya. Ibu masih menjalankan fungsi sebagai Ibu Negara.”
Guruh kemudian mengajak kami masuk ke kamar Bu Fat. Ruang itu terkunci. Guruh menghela napas sebentar sebelum membuka pintu. Di ruang itu ada tempat tidur kayu yang pernah digunakan Bu Fat lengkap dengan balutan kain dan kelambu pada tiang-tiang tempat tidur. Nuansa merah-putih sangat kental terasa. Perabotan di dalam kamar juga tidak banyak. Selain piano tua, ada tiga lemari kayu antik ukuran sedang yang berisi aneka aksesori.
Di kamar itu Guruh sering bermeditasi. Bertafakur. Kamar Bu Fat itu juga dijadikan kamar pengantin bagi anak-anak Fatmawati, termasuk Guruh tentu. Untuk menghormati sang ibunda, Guruh menamakan kompleks rumahnya sebagai Hing Puri Fatmawati.
Kompleks terdiri dari dua unit rumah, masing-masing bernama Puri Fatmawati yang dibangun Bu Fat tadi. Adapun rumah kedua terletak persis di belakang rumah pertama bernama Puri Indra Kusuma. Rumah itu dibeli Guruh tahun 1970-an dari seorang pengacara, Mr Indra Kusuma. Guruh tinggal di rumah kedua yang bergaya art deco berikut perabotnya yang semua bergaya art deco, arsitektur yang berkembang sekitar era 1925-1940-an itu.
Ketika Bung Karno meninggal dunia pada 21 Juni 1970, Bu Fat sudah menyiapkan rumah Sriwijaya untuk menyemayamkan jenazah. ”Tapi pemerintah menentukan bapak disemayamkan di Wisma Yaso dan dikuburkan di Blitar. Kalau Bung Karno inginnya dimakamkan di bawah pohon rindang di bumi Priangan...,” tutur Guruh tentang Bung Karno yang lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901.
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Juni 2010
No comments:
Post a Comment