JAKARTA (Lampost): Pemerintah bertekad memperluas keberadaan sekolah berlabel internasional yang kini sudah ada di separuh daerah se-Indonesia. Padahal model sekolah itu dinilai melanggar konstitusi.
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yakin sekolah internasional bisa mengurangi siswa yang belajar di luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. "Ana rupa ana rega (mau barang bagus, harganya harus tinggi). Wajar kalau sekolah internasional mahal. Kenapa sekarang pada ribut. Dari dulu banyak sekolah mahal, tapi orang tidak ada yang protes," kata Direktur Pembinaan TK dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mudjito usai memperoleh gelar doktor manajemen pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (2-6).
Meskipun demikian, dalam desertasinya yang mengambil topik Evaluasi keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI), Mudjito mengakui sejumlah masalah dalam lima tahun pelaksanaan sekolah internasional. Namun, berdasarkan hasil kajian, dia yakin sekolah ini dapat meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Saat ini lebih kurang terdapat 1.015 RSBI dan SBI di Indonesia. Semuanya mempunyai izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan daerah. "Sekolah internasional untuk mengurangi siswa yang belajar di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura," ujarnya.
Sebelumnya, beberapa pengamat pendidikan menilai RSBI dan SBI inkonstitusional karena cenderung menimbulkan kastanisasi pendidikan. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menghendaki terselenggaranya satu sistem pendididikan nasional, bukan pendidikan internasional.
Audit Investigatif
Munculnya sinyalemen ketidakberesan dalam pengelolaan RSBI dan SBI, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kemendiknas melakukan audit investigatif terhadap 1.172 sekolah RSBI dan SBI (SD, SMP, SMA dan SMK) yang mendapatkan dana bantuan dari Kemendiknas sejak tahun 2006 sampai 2010.
Pada bagian lain, ICW menuntut Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan block grant RSBI 2007 di Sekolah Dasar Negeri Percontohan Universitas Negeri Jakarta sebesar Rp500 juta. "Kasus ini harus diusut tuntas oleh Kejati DKI Jakarta," kata peneliti ICW Ade Iriawan.
Tuntutan itu disampaikan langsung ICW kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Soedibyo dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Hidayatullah. Kedatangan anggota ICW itu disajikan penampilan unik karena mereka mengenakan seragam "Oemar Bakri".
Dari Malang, Jatim, dilaporkan biaya awal siswa baru yang masuk sekolah berstatus RSBI yang kini gencar dibuka oleh SD-SMA negeri rata-rata seharga Rp6 juta-Rp7 juta.
Pungutan selangit yang dilakukan sekolah negeri yang berlabel internasional membuat gerah DPRD DKI Jakarta. Para wakil rakyat meminta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menerbitkan peraturan gubernur untuk mengatur pembatasan maksimal terhadap pungutan bagi siswa masuk RSBI dan SBI.
Pergub itu untuk mencegah kepala sekolah dan guru semaunya memungut dan menetapkan besaran biaya untuk pendaftaran maupun uang sekolah. "Kalau tidak diatur dalam sebuah pergub, nanti menetapkan besaran biaya pendaftaran dan uang sekolah bisa melambung tidak terkontrol. Sehingga siswa yang bisa lolos hanya kalangan ekonomi kuat, orang tua tidak mampu akan terpinggirkan,� ujar Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Firmansyah. (MI/U-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 3 Juni 2010
No comments:
Post a Comment