TIDAK ada senyum dan tawa penonton sepanjang pertunjukan. Hanya keheningan. Para penonton yang memenuhi ruang pertunjukan di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (2/6) malam, bagai terbawa hanyut dalam lakon ”Yang Berdiam dalam Marahnya Sunyi”.
Pementasan teater karya Maurice Maeterlinck berjudul "Yang Berdiam dalam Marahnya Sunyi" dibawakan Actors Unlimited di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (2/6). Pementasan teater yang menampilkan lakon simbolik "The Intruder" mengenai maut tersebut akan dipentaskan kembali hari Kamis (3/6) malam ini. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Seuntai alegori yang ditafsir bebas sutradara Fathul A Husein dari teks drama liris-simbolis ”The Intruder (L’Intruse, 1890), karya Maeterlinck, peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1911, dipentaskan kelompok teater Actors Unlimited begitu memikat dan menggugah penonton untuk merenung sejenak.
Memasuki ruang pertunjukan, penonton sepertinya sudah digiring ke suasana mencekam. Gelap, sunyi, dengan tataan material pentas yang lebih berbicara dibanding manifestasi tekstualitas.
Lakon ”Yang Berdiam dalam Marahnya Sunyi” bercerita tentang maut yang telah menyusup ke dalam sebuah keluarga dengan orang-orang yang berelasi secara tak galip dan rumit. Mereka cenderung menjalani hidup untuk dirinya sendiri dengan moralitas yang samar tanpa impresi.
Namun, di balik setiap peristiwa, bahkan nyaris di setiap frasa, seseorang sadar tentang bersembunyinya sebuah kesemestaan. Bayang-bayang dari segala sesuatu yang jauh lebih besar. Sebuah impresi yang muncul lebih berwujud lambang ketimbang sesuatu yang terumuskan.
Sebuah potret kehidupan lengkap dengan aktualitas dan motif yang memadai untuk dirinya sendiri, tetapi tak berdaya dalam cengkeraman bayang-bayang gaib yang menguasai dan merenggutnya. Penyusup sejati adalah ”maut” dan kebutaan seorang tokoh (kakek, diperankan Mohamad Sanjaya, 72 tahun) yang sadar adalah perlambang dari sebuah dunia yang tertelan belantara gelap ketidaktahuan dan pupusnya keyakinan (iman).
Pertunjukan yang penuh ketegangan ini menjadi menarik jika dicermati epilog yang mengutip ”Sajak Kematian” dari penyair rocker Jim Morisson.
Sutradara Fathul A Husein dengan cerdas memancang misteri sunyi dan metafora maut sebagai titik artikulatif dalam performativitas ”Yang Berdiam dalam Marahnya Sunyi”.
Pengamat teater dan dramaturgi Sutardjo A Wiramihardja mengatakan, Maeterlinck dalam naskah-naskah teaternya memberi peluang untuk melampiaskan imajinasi maksimal karena substansi cerita yang menjadi warna sastra naskahnya itu memiliki nilai perenungan, kontemplasi yang mendalam.
Kamis (3/6) malam pukul 19.30 WIB, Actors Unlimited yang sudah mementaskan banyak lakon terjemahan sejak beridiri 1999, tampil kembali dengan lakon yang sama. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 3 Juni 2010
No comments:
Post a Comment