Tuesday, June 08, 2010

Sekolah Berlabel Internasional

-- Jauhari Zailani


AKHIR tahun pelajaran, Pak Yanto mengambil rapor anaknya. Dia antre bersama para wali murid di suatu kelas. Setelah menerima pengarahan umum dari wali kelas, guru memanggil nama anaknya. Ia menghadap guru yang memegang dan membuka-buka rapor anaknya, sembari berucap, "Kita harus mendorong anak kita untuk belajar lebih keras lagi ya, Pak�dan perlu mengikuti tambahan pelajaran agar bisa mengikuti teman-temanya. bla bla..."

Setelah mendengar uraian guru anaknya, Pak Yanto meminta izin untuk berbicara dan mohon didengarkan oleh sang guru. Setelah berdeham beberapa kali dan diam sejenak, ia berkata, "Saya berharap anak saya menjadi pintar, hasil ajaran dan didikan para guru di sekolah internasional ini. Bukan karena les pelajaran di luar jam kelas. Saya menyekolahkan anak saya di sini, karena sekolah menawarkan sistem pendidikan yang bagus, guru yang bagus, dan fasilitas yang bagus. Menurut saya, sebuah sekolah berani memasang label internasional, bukan sekadar label dan kemasan bisnis, melainkan senyatanya memang bagus."

Setelah mengambil napas dalam jeda kata, dengan suara tetap lembut ia meneruskan lagi ucapannya: "Tadinya saya berharap seperti tawaran sekolah ini: menerima anak yang biasa kemudian dididik menjadi anak yang memiliki kompetensi internasional. Di luar harapan saya, jika sekolah ini hanya karena berhasil menjaring dan memilih anak yang sudah pandai dari SMP atau pinter dari sananya. Bahkan menurut saya, para orang tua akan kecewa sekali jika anak-anak menjadi pinter karena banyak mengikuti pelajaran tambahan di luar jam kelas."

Dialog antara guru dan orang tua murid tersebut berlangsung di kelas, dan betul-betul terjadi di Bandar Lampung ini. Tetapi dalam konteks ini, bisa menggambarkan beragamnya pengertian sekolah berlabel internasional, pada orang tua, pada penyelenggara pendidikan, dan pembuat kebijakan pendidikan. Sikap kritis orang tua seperti Pak Yanto tersebut mempertanyakan seputar apa dan bagaimana sekolah bertaraf internasional.

Pertama, orang tua menyiapkan anaknya menjadi warga global. Orang tua sadar betul, dalam pergaulan dan dunia kerja, anak kita kini dan apalagi kelak akan bersaing dengan anak dan alumni perguruan tinggi (PT) dari berbagai belahan dunia. Alumni bidang manajemen dari sebuah PT di Lampung, di Jakarta atau bahkan di Lampung, akan bersaing dengan anak-anak lulusan dari PT Australia, Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Oleh sebab itu, bahasa asing, utamanya bahasa Inggris, menjadi acuan dan pegangan utama. Maka setiap orang tua menginginkan anaknya lancar berbahasa Inggris, untuk itu tempat kursus laris. Dan sekolah label internasional pun laku keras.

Kedua, jangan-jangan kita terjebak paradigma globalisasi. Memang bahasa asing adalah jendela dunia, demikian kata Sutan Takdir Alisjahbana: R. A. Kartini, kita kenal dan kenang karena ia bersurat dengan Ambendanon dengan bahasa Belanda. Semua tokoh dan pendiri negeri ini pandai berbahasa asing: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim untuk menyebut beberapa tokoh yang menguasai sedikitnya lima bahasa asing; Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Para tokoh tersebut berhasil mengukir namanya dalam deretan nama tokoh-tokoh internasional.

Tetapi pertanyaanya, dari mana dan dari siapa mereka belajar bahasa asing? Ternyata cukup dari buku dan guru di sekolah, di rumah, di surau atau di pesantren. Kini, jangan-jangan kita telah terseret arus deras globalisasi. Liberalisasi perdagangan dan teknologi melindas batas negara. Mekanisme pasar menjadi pola pikir, dan label atau bungkus menjadi acuan mutu dan harga. Mutu sekolah ditentukan oleh label SBI. Dan SBI, artinya mahal. Padahal guru, kurikulum, kelasnya masih yang itu-itu juga.

Ketiga, mana yang lebih utama, terampil atau berkarakter. Atau gabungan antara berkarakter dan terampil. Arus besar kini: untuk siap bertarung anak harus dibekali keterampilan. Kemampuan teknis menjadi keutamaan bagi penganut pendidikan seperti ini. Bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris menjadi kunci. Dalihnya, betapa pun pinter jika tidak bisa bahasa Inggris terkesan bodoh. Atas asumsi ini, SBI adalah sekolah yang menerapkan bilingual: Indonesia dan Inggris. Arus ini begitu kuat seolah ini yang paling benar dan satu-satunya. Padahal jika menilik tujuan pendidikan yang lebih agung, tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak manusia untuk mengarungi hidup dengan cara yang anggun dan berkarakter. Pendidikan tidak hanya mengasah iptek tetapi juga imtak (iman dan takwa). Pendidikan menjadikan manusia-manusia yang berimbang: cerdas secara otak, sehat jiwanya, dan spiritualnya kuat.

Keempat, fasilitas bukan segala-galanya. Ketika sekolah swasta membangun SBI dengan menawarkan fasilitas ini dan itu, sesungguhnya itu hanyalah logika kaum kapitalis. Logika itu tidak ada hubungannya dengan mutu pendidikan. Pernyataan ini disertai argumen yang masuk akal, ketika hasil ujian nasional (UN) diumumkan. Lima juara nasional tingkat SMP dipegang anak desa dan sekolah yang seadanya. Juara nasional tingkat SMA juga dari sekolah dan keluarga miskin. Dalam konteks ini, UN menjadi ajang pembuktian bagi sekolah desa dan sekolah anak dari keluarga sederhana. Kata kuncinya, ternyata bukan fasilitas canggih dan label sekolah mahal, melainkan dedikasi guru dan penyelenggara pendidikan lain di sekolah. Anak miskin yang sekolah paruh waktu di kolong jembatan, juga dapat menunjukkan prestasi yang luar biasa. Bukan saja lulus UN, melainkan capaian nilainya melebihi rata-rata nilai anak gedongan dengan sekolah berfasilitas canggih.

Berbeda dengan para pendahulunya, yang mewariskan negeri ini untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Kini para pembuat kebijakan pendidikan, para pendidikan dan penyelenggara pendidikan, terseret arus deras globalisasi. Pendidikan menjadi lahan bisnis pribadi yang menggiurkan berbungkus pengabdian. Mereka terjebak dan kemudian menikmati pasar bebas dalam dunia pendidikan. Tak peduli tudingan negara inkonstitusional dan menjadi pengkhianat Pancasila. Orang tua ikut terjebak dan kemudian hanyut, meski sesungguhnya meracuni anak-anaknya.

* Jauhari Zailani, Dosen FISIP Universitas Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Selasa, 8 Juni 2010

No comments: