Jakarta, Kompas - Anugerah lingkungan Adipura untuk 140 kota pada tahun ini tidak lagi bermakna bagi masyarakat. Penghargaan itu, bahkan, dinilai terlampau diobral sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
”Seperti Jakarta yang setiap kali mendapat Adipura, tetap saja banjir dan ada genangan di mana-mana ketika hujan karena sampah menyumbat drainase. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan meski Jakarta selalu memperoleh Adipura. Akhirnya, Adipura tidak lagi bermakna bagi masyarakatnya,” kata ahli planologi perkotaan Yayat Supriatna dari Universitas Trisakti, Rabu (9/6) di Jakarta.
Tahun 2009, pemerintah memberikan Adipura kepada 126 kota dan tahun 2010 menjadi 140 kota. Piala Adipura, menurut Yayat, makin diobral sehingga kurang memberikan nilai kompetisi. Tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pun menjadi kabur.
Secara terpisah, ahli kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Eko Prasodjo, mengatakan, suatu penghargaan harus memiliki tujuan. Pencapaian tujuan harus diukur dengan baik. ”Ukurannya tidak fair karena Jakarta yang selalu memperoleh Adipura,” kata Eko.
Kriteria Adipura sekarang ditekankan pada penanganan sampah. Menurut Eko, Jakarta tidak pernah mengolah sampah, tetapi membuangnya ke wilayah suburban di sekitarnya.
Kriteria baru
Kementerian Lingkungan Hidup mulai tahun ini menyusun kriteria baru untuk penilaian Adipura. Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita mengatakan, Juli 2010 akan diumumkan kriteria baru penilaian Adipura tersebut.
Kriteria baru itu akan mencakup penilaian peruntukan wilayah penghijauan (sesuai undang-undang, yaitu mencakup 30 persen luas wilayah), pengelolaan sungai, pengolahan sampah dengan pola 3R (reduce—mengurangi, reuse—memanfaatkan kembali, recycle—daur ulang), sarana transportasi umum, dan sebagainya.
”Kalau belum ada kota yang bisa memenuhi kriteria, bisa saja penghargaan Adipura tidak diberikan,” kata Hermien.
Penghargaan Adipura Kota Metropolitan 2010 diberikan kepada 9 kota, yaitu Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Surabaya, Tangerang, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Bekasi. Menurut Yayat, pemerintah tidak mengimbanginya dengan kebijakan bagi kota lain yang tidak mendapat Adipura. ”Kota Depok dinilai kota terjorok. Pemerintah pusat seharusnya membantu,” kata Yayat.
Menurut Yayat, tim penilai Adipura dituntut lebih independen dan lebih melibatkan masyarakat. Bobot penilaian harus diaktualkan dengan isu global, seperti pengereman laju pemanasan global, penggunaan energi ramah lingkungan, dan peningkatan ruang terbuka hijau. (NAW)
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Juni 2010
No comments:
Post a Comment