-- Maria Angela Gita Ayudya
SETELAH batik ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009, kini apresiasi masyarakat Indonesia terhadap batik terlihat kian meningkat. Di kalangan muda, batik bukan sesuatu yang "berjarak" lagi. Bahkan, kini di setiap hari Jumat, meskipun tidak secara resmi, telah dijadikan sebagai "hari batik nasional".
Selain batik, wayang, keris, serta Candi Borobudur yang kita banggakan telah diakui pula sebagai warisan budaya dunia. Daftar kekayaan budaya Indonesia tidak berhenti sampai hal-hal itu saja. Negara yang dikenal karena keberagaman suku bangsa ini memiliki sejumlah tradisi dan produk budaya yang berasal dari ke-33 provinsi di Indonesia.
Sebut saja lagu daerah, tari tradisional, alat musik, topeng, serta kain tenun yang beragam corak dan warnanya. Setiap pahatan terkecil pada sebuah candi yang berdiri di tengah perkembangan zaman pun merupakan bagian yang membentuk identitas bangsa. Mereka adalah saksi bisu yang bercerita tentang sejarah bangsa dan menumbuhkan rasa saling memiliki.
Sayangnya, masih banyak kekurangan di sana-sini yang kita temukan ketika mengunjungi situs-situs bersejarah dan museum. Tempat yang kurang nyaman dan kebersihan yang tidak terjaga dengan baik memberi kesan bahwa suatu situs bersejarah telah dilupakan oleh masyarakat. Padahal, untuk mendapatkan pengakuan sebagai salah satu penanda identitas bangsa, warisan budaya terlebih dahulu membutuhkan pemeliharaan. Salah satu caranya adalah dengan mengolahnya untuk kebutuhan pariwisata. Sebagai bagian dari industri pariwisata, warisan-warisan budaya itu semestinya dipelihara, dikemas, dan dipasarkan baik ke dalam negeri maupun ke mancanegara untuk mendatangkan turis-turis.
Belajar dari Prancis
Dalam hal pemeliharaan, pengemasan, dan pemasaran kita patut belajar dari rakyat Prancis yang sangat menghargai patrimoine (warisan budaya) mereka. Perhatian masyarakat Prancis yang besar terhadap warisan budaya tampak dalam perhelatan La nuit blanche (Malam Putih) yang pertama kali diadakan di Paris pada 2002. Dalam satu malam, pemerintah kota memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengunjungi bangunan bersejarah tanpa membayar tiket masuk. Acara itu bertujuan untuk membina kecintaan masyarakat Prancis terhadap warisan budayanya yang ada di kota tersebut sekaligus untuk memperkenalkan seni dan budaya Prancis ke dunia luas.
Festival yang diadakan setiap tahun itu melibatkan para seniman yang menunjukkan kemampuannya melalui pameran foto, seni instalasi, pertunjukan teater, dan pertunjukkan musik. Contohnya di kawasan yang terkenal dengan sebutan Quartier Latin. Pengunjung dapat menikmati seni instalasi yang dipamerkan di Gereja Saint-S�verin, Jardin du Luxembourg, hingga Masjid Raya Paris. Pada jam tertentu, La nuit blanche dapat pula dinikmati dari Menara Eiffel yang tersohor. Melalui festival tersebut, Pemerintah Kota Paris tidak hanya menunjukkan keseriusannya dalam menjaga situs bersejarah, tapi juga dalam memelihara apresiasi rakyatnya terhadap warisan budaya dan karya seni.
Pemeliharaan warisan budaya dilakukan pula di kota-kota lainnya di Prancis. Salah satunya adalah Saumur, sebuah kota kecil di region (wilayah administratif setingkat provinsi) Pays de la Loire. Sejumlah kastil yang dibangun berabad-abad lalu masih berdiri tegap di Saumur. Chateau de Saumur sebagai ciri khas kota tersebut memiliki sejarah panjang yang membuatnya diakui sebagai salah satu bangunan bersejarah oleh Kementerian Kebudayaan Prancis pada 1862. Kastil yang dibangun pada abad ke-10 ini sempat berada di bawah kepemimpinan Raja Philip II, Raja Henri IV, dan berubah fungsi menjadi penjara milik negara pada masa kejayaan Napoleon Bonaparte. Pada 1906, pemerintah Kota Saumur membelinya dari negara dan memanfaatkannya sebagai pusat pelestarian tradisi setempat. Selain menyimpan perabotan bernilai seni tinggi, Chateau de Saumur juga dijadikan museum perlengkapan berkuda. Pemerintah Kota sadar betul akan tradisi berkuda dan Cadre Noir (barisan penunggang kuda) yang menjadi ciri khas Saumur.
Pemerintah Kota Saumur menggelar program yang disebut dengan Les Lundis du Patrimoine untuk memelihara kepedulian masyarakat pada warisan budaya lokal. Melalui acara tersebut, setiap hari Senin Les Saumurois (penduduk setempat) dan para turis diundang untuk mempelajari sejarah di balik sebuah kastil, desa, dan kawasan-kawasan di sekitar Saumur. Cadre Noir juga menjadi bagian dari program pariwisata di Saumur sebagai bentuk usaha pemerintah memperkenalkan tradisi berkuda yang berkembang di kota ini kepada masyarakat luas.
Program yang diadakan di Paris maupun di Saumur didukung oleh strategi promosi yang baik. Kantor Pariwisata Saumur memiliki situs internet yang memuat sejarah berdirinya kastil-kastil di kota tersebut. Hal yang sama dilakukan penyelenggara La Nuit Blanche dengan memuat semua informasi mengenai program yang menjadi bagian dari festival itu di internet, yang dapat diunduh oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Brosur yang diunduh dilengkapi profil para seniman yang berpartisipasi dalam La Nuit Blanche dan peta yang akan memudahkan mereka ketika berada di lapangan. Pengemasannya pun menarik. Dengan ukuran file 700-4.000 kilobyte, brosur dengan foto-foto berwarna yang memanjakan mata dapat diperoleh. Intinya, semua yang bersifat informatif selalu digarap dengan serius. Inilah kelebihan Prancis dalam mengemas warisan budaya yang bernuansa kuno dengan teknologi masa kini.
Prancis juga tidak melupakan pentingnya pengembangan sumber daya manusia yang dapat mengaitkan konservasi warisan budaya dengan pariwisata. IMIS-ESTHUA Universite Angers memiliki bidang peminatan Culture et Patrimoine (Budaya dan Warisan Budaya). Khusus untuk bidang tersebut, kuliah diadakan di sebuah kastil dari abad ke-15 di Saumur. Pelajar Indonesia juga dapat mengikuti bidang peminatan Culture et Patrimoine di universitas tersebut dengan memanfaatkan Beasiswa Unggulan dari Kementerian Pendidikan Nasional. Salah satu sasaran dari bidang peminatan ini adalah untuk menyelaraskan perkembangan pariwisata dengan pemeliharaan warisan budaya.
Sekembalinya ke Indonesia, pelajar yang memproleh Beasiswa Unggulan untuk menempa pendidikan di universitas tersebut dapat menyusun langkah strategis demi tercapainya pemeliharaan warisan budaya di negara ini.
Penerapan Strategi Pariwisata
Dalam hal pemeliharaan warisan budaya, pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan pihak luar negeri untuk melakukan penelitian, pelestarian, rekonstruksi, dan peningkatan sumber daya manusia. Pada Agustus 2006, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama dengan NIHINDO, lembaga kerja sama Jepang dan Indonesia, mulai menggali potensi peninggalan budaya Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Pemerintah juga gencar mengadakan pameran seni dan budaya Indonesia di luar negeri. Selama bulan April 2010, pemerintah berusaha menarik wisatawan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya melalui pameran produk budaya Indonesia di pusat perbelanjaan Harrods di London. Peragaan busana, demo batik, dan festival makanan Indonesia menjadi bagian dari program tersebut.
Kerja sama semacam ini berpotensi meningkatkan kegiatan pariwisata di Indonesia dan mengangkat citra bangsa di luar negeri. Namun, kegiatan yang melibatkan masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan agar rasa saling memiliki di antara para pemegang identitas bangsa tetap terjaga.
Langkah yang dilakukan Pemerintah Kota Paris dan Saumur dapat diterapkan di Indonesia agar bangunan bersejarah tidak menjadi tempat yang hanya kita kunjungi sewaktu duduk di bangku sekolah. Kuncinya adalah kreativitas untuk memadukan sejarah masa lampau dengan sesuatu yang menjadi tren masa kini. Contohnya, kawasan Kota Tua dan Jakarta Pusat dengan sejumlah museum dan bangunan lamanya merupakan tempat yang menarik untuk mengadakan perhelatan semacam La Nuit Blanche. Di bagian dalam museum dapat diadakan pameran lukisan dan seni instalasi karya anak bangsa, pementasan teater, pemutaran film, hingga festival musik.
Program-program serupa bukannya tidak pernah diadakan di museum yang kita miliki. Akan tetapi, frekuensi dan promosi kegiatan tersebut perlu ditingkatkan. Sementara itu, buku acara, brosur, dan suvenir menjadi media yang tepat untuk menyampaikan informasi tentang museum atau bangunan tempat acara diadakan.
Kegiatan yang diselenggarakan hendaknya mengangkat ciri khas seni dan budaya setempat. Misalnya dengan mengundang pelajar dari sekolah-sekolah di Medan dan sekitarnya untuk belajar menenun Ulos di Museum Sumatera Utara. Ulos memiliki corak dan warna yang indah dan saat ini telah dimanfaatkan untuk membuat pakaian, tas, sandal, dan taplak meja. Produk yang terbuat dari Ulos bahkan memiliki nilai jual yang tinggi hingga di pasaran luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan generasi muda yang dapat meneruskan keahlian menenun agar kelak negara ini tidak kehilangan para perajin tenun Ulos. Kegiatan serupa dapat pula dikembangkan di kota lain seperti Palembang, Padang, dan Pekanbaru yang memiliki songket sebagai ciri khas daerahnya.
Mengadakan kegiatan seni dan budaya di situs bersejarah dan museum berarti mengundang masyarakat untuk mengenal lebih jauh warisan budayanya dalam suasana yang berbeda. Dengan begitu, kita tidak hanya melampiaskan kemarahan kosong ketika warisan budaya Indonesia diakui negara lain. Kita akan merasa lebih pantas untuk mengakui produk budaya Indonesia ketika memiliki pengetahuan yang cukup mengenai warisan budaya bangsa.
Pusat Warisan Budaya di Masa Depan
Kekayaan budaya yang berasal dari masa lalu ternyata tidak menjamin kekayaan Indonesia di masa kini jika warisan budaya tidak dirawat dan dipelihara. Melalui konsep imagined community, Benedict Anderson (1983) mengungkapkan bahwa masyarakat membutuhkan ciri khas yang akan terus mengikat dan menjadikan mereka sebagai satu kesatuan. Warisan budaya Indonesia merupakan salah satu aspek yang dapat dijadikan acuan untuk membina rasa saling memiliki.
Identitas bangsa dipelihara dengan memadukan konservasi budaya dan kegiatan yang lebih dekat dengan gaya hidup masa kini. Jangkauan distribusi informasi mengenai warisan budaya diperluas dengan memanfaatkan kecanggihan internet serta penyebaran booklet yang menarik dan informatif. Sementara itu, pengembangan sumber daya manusia dilakukan dengan mengadakan program studi pemeliharaan warisan budaya di universitas-universitas.
Penghargaan terhadap warisan budaya akan mengawali berbagai dampak positif bagi negara ini. Kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah serta kejelian dalam melihat potensi suatu daerah akan mendukung terbentuknya industri pariwisata yang berbasis warisan budaya. Dengan cara ini, Indonesia dapat menjadi pusat warisan budaya dunia di masa depan. n
* Maria Angela Gita Ayudya, Mahasiswa Sastra Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Juni 2010
No comments:
Post a Comment