-- Achmad Bashori*
SEJAK 2006, pemerintah menggulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk SD hingga SMA. Kurikulum baru ini akan direalisasikan secara bertahap. Tahap awal akan dilaksanakan selama 3 tahun sampai 2009.Hadirnya KTSP sangat diharapkan bisa menyempurnakan dan mengukuhkan pelajaran sastra sebagaimana kurikulum 2004. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, nasib pelajaran sastra belum jelas. Berbagai rekomendasi dari berbagai forum sastra, seminar sastra, dan saran akademisi sastra serta para sastrawan agar pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran bahasa, bagai angin lalu saja.
Secara materi ajar, sastra memang mendapatkan porsi yang sama dengan aspek kebahasaan yang meliputi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Tetapi ada dua hal dalam KTSP yang justru mengaburkan posisi pelajaran sastra Indonesia.
Pertama, pelajaran sastra tidak secara ekplisit disebutkan dalam standar isi KTSP 2006. Sejak pertama membaca standar isi yang jelas terbaca adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan untuk penyebutan guru pun sudah tidak ada embel-embel guru sastra, yang ada adalah guru bahasa Indonesia. Padahal, dalam KBK 2004 secara jelas tercantum pelajaran (apresiasi) sastra, walaupun masih melekat pada pelajaran bahasa Indonesia.
Kedua, KTSP tidak memunculkan nilai sastra (dalam rapor) untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Dari berbagai pertemuan dengan para guru bahasa Indonesia hampir semuanya bingung untuk memberikan nilai evaluasi sastra. Karena nilai sastra menjadi satu (terintegrasi) dengan nilai bahasa Indonesia. Apalagi sampai saat ini belum ada panduan sistem penilaian dan evaluasi KTSP, sebagian besar masih mengacu pada KBK 2004.
Penghambat
Pergantian penguasa, kekuasaan, dan kurikulum tidak akan mengangkat sastra ke tempat yang lebih baik bila beberapa penghambat pengajaran sastra tidak mendapatkan solusi yang serius.
Pertama, masih melekatnya pelajaran sastra dengan bahasa Indonesia. Pelajaran sastra yang masih 'ikut' pelajaran bahasa Indonesia pada pelaksanaannya akan bergantung pada guru-guru bahasa. Kalau guru bahasa mempunyai apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapatkan perhatian yang lebih. Namun sebaliknya, jika guru tidak memiliki minat terhadap sastra atau apresiasi sastranya rendah, maka pembelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai tuntutan 'pemenuhan' kurikulum. Apalagi selama ini pelajaran sastra hanya menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai Bahasa Indonesia pada rapor, persentase nilai lainnya lebih banyak pada kebahasaan.
Kedua, rendahnya budaya baca di kalangan guru dan siswa. Faktor ini disebabkan banyak hal: terbatasnya kemampuan guru untuk membeli buku atau majalah sastra, budaya baca belum tercipta, dan arus konsumerisme akibat kapitalisme menjadikan buku sebagai kebutuhan yang kesekian kali. Salah satu indikasinya, banyaknya keluhan dari para sastrawan disebabkan enggannya penerbit mencetak buku-buku sastra karena tidak laku jual. Penelitian Taufiq Ismail tahun 1997 yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia yang membaca sastra 0% dibanding negara lain saat ini pun masih relevan. Bagaimana mungkin budaya baca tumbuh di kalangan siswa bila para gurunya juga enggan membaca?
Ketiga, minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Penyebabnya antara lain, masih kuatnya pola pengajaran lama walaupun tuntutan perubahan begitu kuat. Rutinitas membaca buku paket, menggarisbawahi apa yang disampaikan guru, membuat ringkasan, dan menghafal teori, nama sastrawan, dan karyanya dengan orientasi persiapan ulangan atau ujian.
Pelajaran apresiasi puisi mungkin salah satu materi ajar yang menarik. Namun dapat membosankan karena guru tidak memiliki wawasan yang luas, keterampilan yang memadai, dan fasilitator yang proporsional. Tidak seperti pengajaran teori sastra atau sejarah sastra yang lebih menekankan aspek kognitif. Apresiasi puisi membutuhkan persiapan khusus, karena semua pihak yaitu guru, siswa, dan puisi itu sendiri berposisi sebagai objek. Alur komunikasi dalam kegiatan tersebut tidak mungkin satu arah untuk mendapatkan pemahaman, tetapi melalui proses diskusi atau dialog.
Kurangnya kecintaan guru kepada sastra selain malasnya guru untuk membaca juga diperparah dengan tidak adanya pembinaan secara merata untuk meningkatkan kualitas guru dalam pengajaran sastra. Padahal, guru sastra profesional selalu berusaha melakukan berbagai improvisasi agar pelajaran sastra menyenangkan. Guru dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop) dengan pandangan mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai narasumber dan fasilitator.
Idealisme pada kurikulum 2004 dan KTSP 2006 yang memberikan ruang kreativitas kadang terkendala dengan target mengejar nilai (angka) ujian yang tinggi sehingga kreativitas sastra 'tergusur' demi tuntasnya materi pelajaran agar sesuai dengan SKL ujian. Bisa dilihat soal-soal dalam Ujian Nasional (UN) yang lebih mengedepankan sisi kognitif daripada apresiatif. Akibatnya, pelajaran sastra yang seharusnya memberi pencerahan bagi komunitas sosialnya, menjadikan siswa sebagai 'manusia' bagi dirinya.
Kesulitan juga muncul saat praktik penulisan sastra, karena para guru belum biasa terlibat dalam kegiatan tulis menulis. Memang pelajaran sastra di sekolah bukan untuk mencetak siswa menjadi sastrawan. Sastra diajarkan di sekolah dan dimasukkan kurikulum karena masih diyakini bahwa sastra memberi manfaat, mengasah kepekaan siswa terhadap berbagai masalah kehidupan beserta alternatif solusinya.
Keempat, kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dicermati dari langkanya perpustakaan sekolah yang menyediakan berbagai referensi yang up to date (novel, cerpen, puisi, naskah drama, dan penunjang apresiasi sastra), lebih banyak buku-buku lama. Kondisi hampir sama pun dialami perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah. Akses informasi untuk mencerahkan (majalah, intrnet, dan alat komunikasi) bagi guru terbatas. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak adanya tempat untuk berekspresi (sanggar sastra, gedung/aula teater) yang representatif. Bandingkan dengan pelajaran yang lain seperti sains yang mempunyai laboratorium cukup lengkap.
Kelima, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat. Penghargaan kepada sastrawan yang nyaris tidak terdengar. Justru penghargaan yang diperoleh sastrawan Indonesia bersal dari negara lain. Berbeda dengan profesi di bidang lain (olahraga, ekonomi, IPTEK, dan politik) yang begitu meriah, dielu-elukan, dan mendapat berbagai fasilitas. Jangan kaget apabila sebagian besar siswa di sekolah enggan menggeluti sastra sebagai profesi yang tidak begitu menjanjikan untuk jaminan masa depan.
Mencermati berbagai kondisi dan realitas saat ini sastra yang kurang mendapat tempat di masyarakat dan pemerintah, rasanya cukup sulit untuk mewujudkan bahasa dan khususnya Sastra Indonesia menjadi pelajaran yang menarik dan favorit. Kiranya perlu memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk mengangkat sastra ke tempat yang lebih terhormat. Jangan sampai ada anggapan bahwa belajar sastra membuang waktu sia-sia. Karena tidak satu dua rekan guru bahasa dan sastra Indonesia yang berkeluh kesah bahwa pelajaran sastra kurang menarik atau diminati para siswa.
* Achmad Bashori, Guru bahasa dan sastra Indonesia
Sumber: Republika, Minggu, 28 Desember 2008
No comments:
Post a Comment