Friday, December 05, 2008

Studi: Islam yang Semakin Menarik (Perhatian) di Australia

-- Agus Hermawan

ALUNAN merdu suara orang yang membaca tartil Al Quran terdengar samara-samar di ruangan swalayan kecil di sebuah sisi Jalan York, Sydney, Australia, awal November lalu.

Para ulama tokoh Majelis Imam Nasional Australia (ANIC) bergambar bersama di kantor pusatnya, (dari kiri ke kanan) Amin Hadi, Ketua Yayasan Studi dan Informasi Islam; Sekretaris Majelis Imam Nasional Australia Imam Shady Alsuleiman; Imam Ibrahim Abu Mohammad; serta Ketua ANIC Imam Fedaa Almajzoub. (Kompas/agus hermawan / Kompas Images)

Ketika dipastikan apakah itu suara orang mengaji, si lelaki pemilik toko yang juga merangkap warung internet itu tersenyum ramah. ”Ya, alhamdulillah itu suara mengaji dari masjid di bagian belakang toko ini,” katanya sambil menunjuk arah dimaksud. Lelaki yang mengaku keturunan dari Sudan itu bahkan menawarkan untuk menggunakan mushola tokonya kapan saja jika memerlukan tempat shalat.

Demikianlah, selanjutnya dia bercerita tidak ada masalah dengan agama yang dianutnya untuk hidup dan menjalankan ibadahnya di Australia.

Di tengah persepsi salah mengenai Islam, agama itu lambat laun mulai tumbuh di benua yang paling dekat dengan kita itu. Dia semakin berkembang sejalan juga dengan semakin bertambahnya masyarakat migran dari negara-negara Islam. ”Jumlah umat Islam di Australia kini sekitar 600.000 orang,” kata Sekretaris Majelis Imam Nasional Australia (The Australian National Imams Council/ANIC) Shady Alsulaeiman. Namun, menurut data resmi pemerintah, kata Shady, hanya tercatat 300.000 orang.

Mereka umumnya migran yang berasal dari negara-negara berpenduduk Muslim, seperti Lebanon, Turki, negara-negara Timur Tengah, Pakistan, Indonesia, serta termasuk para pengungsi dari Afganistan. Sekitar 36 persen dari jumlah penduduk Muslim Australia di antaranya lahir di Australia. Jumlah penduduk beragama Islam yang umumnya tinggal di sekitar Sydney dan Melbourne itu merupakan komunitas terbesar ketiga dari komunitas Kristen dan Buddha.

”Banyak umat Islam yang memilih tidak mengisi kolom agamanya,” ujar Amin. Di negara ”Kanguru” itu, kolom agama menjadi pilihan untuk bisa tidak diisi. Meski begitu, setiap bulan di masjid selalu saja ada orang yang mengikrarkan diri menjadi Muslim.

Pilihan tidak menerakan agama Islam dalam kartu identitas sejumlah warga Australia itu terutama terjadi sejak peristiwa teror 11 September 2001 di Amerika Serikat. Media Australia yang memberitakan aksi-aksi teror, termasuk peledakan bom di Bali ataupun eksekusi terhadap pelakunya beberapa waktu lalu, dipercaya membentuk persepsi yang salah mengenai Islam. Judul-judul headline dengan huruf-huruf besar serta gambar yang memenuhi halaman media Australia, awal November, saat eksekusi Amrozi dan kawan-kawan, misalnya, memperlihatkan jenazah atau tokoh-tokoh teroris dalam ”atribut” Islam.

Rasial

Masyarakat dunia juga mungkin tidak akan lupa terhadap kerusuhan rasial di Pantai Cronulla, Sydney, Desember tiga tahun lalu. Saat itu ribuan warga kulit putih memburu, mencaci maki, dan memukuli orang-orang yang berpenampilan ”keturunan Arab”. Aksi itu dipicu gara-gara sebuah geng anak muda keturunan Lebanon menyerang penjaga pantai Cronulla.

”Masyarakat Australia banyak yang mendapat pemahaman yang salah mengenai Islam. Untuk itu, misi organisasi kami adalah meluruskan dan memberikan informasi yang benar kepada mereka. Islam adalah agama perdamaian dan mengedepankan persaudaraan,” kata Amin Hadi, Ketua Yayasan Studi dan Informasi Islam (FISI). Menurut dia, warga Australia harus mendapat penjelasan dan pengertian yang benar mengenai Islam, terutama dari masyarakat Muslim Australia sendiri.

Menurut Amin, Pemerintah Australia semakin memberi perhatian lebih terhadap Islam. Hal itu ditandai dengan semakin dilibatkannya ulama-ulama Islam saat membicarakan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat Australia.

Majelis Imam Nasional Australia mendapat dukungan penuh dari pemerintah untuk mengembangkan agama Islam di negara itu. Sekolah-sekolah Islam juga mendapat dukungan dana dari pemerintah dan diberi kesempatan berkembang.

Menurut Shady Alsulaeiman, ANIC sendiri memfokuskan perhatian untuk membangun komunikasi di antara agama-agama yang ada di Australia, mewakili umat, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut isu masyarakat dengan pemerintah. ”Kami juga sedang mengupayakan membangun sebuah pusat studi Islam,” katanya.

Soal apakah ada diskriminasi terhadap kalangan Muslim di Australia, Amin Hadi mengatakan, apa yang terjadi di masyarakat sebenarnya lebih merupakan hal yang ”alamiah”. ”Misalnya, saat melamar pekerjaan, jika ada dua calon, katakanlah kulit putih atau hitam, mungkin si penerima lamaran akan memilih yang dia inginkan. Itu alami saja,” ujarnya. Sementara dalam kehidupan lainnya, dirasakan tidak ada diskriminasi. ”Bagaimanapun, semua penduduk Australia adalah pendatang. Penduduk asli hanyalah orang Aborigin,” katanya.

Studi keislaman

Menariknya Islam bagi Australia itu, antara lain, juga ditandai dengan—untuk pertama kalinya—pembukaan program studi atau kajian mengenai Islam di Universitas Western Sydney (UWS). Universitas ini memang dikenal sebagai universitas yang berada di lingkungan komunitas multikultural. Di kawasan kampus yang asri yang menempati gedung tertua di Australia itu bermukim sekitar 100 kebangsaan yang berdatangan dari berbagai belahan bumi ini. Tidak heran jika kemudian UWS memiliki mahasiswa Muslim terbanyak di antara universitas yang ada di Australia.

”Mulai 2008 ini kami menawarkan kelas yang memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk mempelajari Islam,” ujar Profesor John Ingeson, Deputi Vice Chancellor Academic & Enterprises UWS. Menurut dia, mahasiswa yang berminat mengikuti studi tersebut berasal dari latar belakang sosial yang beragam.

Menurut Dr Steven Drakeley, Senior Lectures Asian History and Politics School of Humanities and Languages, studi di UWS meliputi kajian-kajian mengenai keislaman serta hukum syariah. ”Pusat kajian ini merupakan yang pertama kalinya diadakan di Australia,” katanya. Sejumlah mata kuliah diajarkan untuk para mahasiswa, seperti perkembangan Islam, perekonomian menurut Islam, serta hukum Islam dalam masyarakat modern. Selain bisa mempelajari bahasa Arab, program yang diberikan sangat beragam, termasuk penerapan kaidah-kaidah Islam dalam kehidupan modern dan dunia yang berubah.

Untuk semakin mengembangkan fakultas dan pusat kajian Islam, UWS mengadakan kerja sama dengan Universitas Islam Negeri Jakarta serta Universitas Muhammadiyah di Jakarta dan Yogyakarta. ”Kami memiliki ikatan yang kuat dengan Indonesia,” ujar Steven yang beberapa kali mengunjungi Jakarta dan Yogyakarta. Secara berkala, perguruan tinggi Islam tersebut mengadakan program pertukaran pelajar dengan UWS.

Mengingat perkembangan Islam yang terus melaju, Australia juga mulai memerhatikan kehalalan makanan yang diproduksi untuk kebutuhan umat Islam. Tidak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, pencanangan ”Halal Australia” juga dimaksudkan untuk menangkap pasar makanan halal di dunia. Sebanyak 300.000-450.000 Muslim Australia menjadi pasar potensial bagi makanan halal. Sementara untuk pasar eks negara-negara Muslim, sejak 2001, ekspor produk halal—daging, susu, ataupun keju—Australia mencapai 3,7 miliar dollar AS dalam kurun waktu lima tahun.

Tim yang memberi sertifikasi halal tersebut terdiri dari orang-orang yang profesional di bidangnya, meliputi para ahli makanan, kimia, mikrobiologi, dan para ulama di bawah panduan Lembaga Syariah Halal Australia.

”Kami melakukan pemeriksaan dan prosedur yang sangat ketat mengenai halal-tidaknya sebuah produk. Kami melakukannya semata-mata karena amal, bukan untuk mendapatkan uang dari sertifikasi halal tersebut,” kata Ikebal Mohammad Adam Patel, Presiden Federasi Lembaga-lembaga Islam Australia, di Canberra. Secara gamblang, dia mengungkap adanya praktik sertifikasi halal yang bisa ”dibeli” di sebuah negara, yang menurut dia tidak patut dilakukan.

Mengingat akan semakin pentingnya produk dan kebutuhan halal itu pula, sebuah program politeknik untuk pemotongan daging halal mulai dibuka di South Western Sydney Institute.

Menurut Keith Ireland, pengajar di politeknik (Technical and Further Education/TAFE) tersebut, peminat yang ingin mempelajari dan mendapatkan ijazah dari program pemotongan daging halal selalu penuh. Dengan jumlah siswa 15 orang setiap grupnya, sejak dibukanya program ini dua tahun lalu, mereka sudah meluluskan sekitar 30 grup, dan 12 grup lainnya sedang menjalani pelatihan. ”Peluang untuk mendapatkan pekerjaan di bidang produk halal setelah lulus dari sini terbuka lebar,” kata Keith.

Mengenai minat terhadap dunia Islam di Australia, mungkin obrolan seorang rekan yang sedang studi di sebuah universitas di Australia menarik untuk disimak.

Menurut dia, kini begitu banyak para profesor atau pengamat yang bersedia memberikan bantuan kepadanya. ”Mungkin hal itu karena disertasi saya menyangkut gerakan Islam di Indonesia,” katanya sambil tertawa.

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Desember 2008

No comments: