Sunday, December 21, 2008

[Persona] Musdah Mulia: Saya Tidak Ingin Apa-apa

Ninuk Mardiana Pambudy/ Maria Hartiningsih

Ketika penghargaan Yap Thiam Hien diserahkan pada Rabu (10/12) malam lalu, Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA sebagai penerima masih berada di Tanah Suci untuk ibadah haji.

FOTO-FOTO: KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY / Kompas Images

Penggagas penghargaan tersebut, Todung Mulya Lubis, dalam sambutannya mengatakan, Musdah adalah sosok yang ”mau dan berani bersuara”, yang menjadikan Islam sebagai komunitas yang teduh, dialogis, dan inklusif.

”Untuk saya, hakikat penghargaan ini adalah untuk semua yang selama ini telah membangun komitmen untuk orang-orang yang terdiskriminasi dan termarjinalkan. Ini sekaligus mengingatkan untuk selalu bekerja bersama,” kata Musdah, Rabu (17/12) siang di kantornya di Indonesian Conference on Religion and Peace di kawasan Cempaka Putih, Jakarta.

Sebagai pemikir Islam dan aktivis sosial, Musdah selalu menggunakan cara berpikir kritis dan rasional dalam melihat berbagai persoalan, terutama ancaman terhadap keberagaman Indonesia. Dia juga gigih memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender, membela hak-hak kelompok minoritas, dan melakukan dialog antaragama.

Akibat kelantangannya, dia kerap ditegur petinggi di Departemen Agama, dikecam rekannya sesama dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan beberapa tokoh masyarakat ”menasihati” supaya dia tidak terlalu lantang karena masih muda dan kariernya masih panjang.

Karena keberaniannya menyuarakan pendapat itu, dia sering mendapat pesan singkat SMS dan berbagai cap.

”Ketika membicarakan homoseksual dalam Islam, ada yang menyebut saya lesbian. Kalaupun lesbian, selama tidak melakukan kekejian, tidak mengotori, tidak menipu, kan tidak apa-apa. Orientasi seksual adalah terberi,” kata ibu dua putra dari pernikahannya dengan Prof Dr Ahmad Thib Raya, MA, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah.

”Saya sudah tidak menginginkan apa-apa. Hidup saya hanya untuk kemanusiaan. Saya selalu minta kepada Tuhan supaya hidup saya tidak usah lama-lama, kalau bisa sampai 70 tahun saja, daripada hidup menderita,” papar Musdah yang baru Senin (15/12) malam lalu sampai di rumah kembali.

Karunia tersembunyi

Anda konsisten menyuarakan dan mempraktikkan pandangan Anda dalam kehidupan?

Tidak tahu ya.... Saya malah ingin menangis.... Soalnya beberapa tahun terakhir saya mengalami banyak sekali cobaan.

Saya diberhentikan dari posisi di Departemen Agama. Dikecam dosen-dosen di UIN Syarif Hidayatullah. Diteror dan diberi berbagai cap. Semua karena pemikiran saya. Termasuk penolakan saya kepada Undang-Undang Pornografi.

Meskipun saya kerap dicecar orang, tetapi tetap ada kesempatan di mana saya bisa muncul dan berbicara. Saya sering diundang dalam pertemuan di luar negeri. Saya punya kesempatan berbicara lagi, bersemangat lagi.

Melihat orang begitu menghargai saya, saya merasa masih ada orang yang tidak membenci saya. Saya sering tidak mengerti keadilan Tuhan.

Tentang counter legal draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam yang Anda susun bersama tim di Depag tahun 2004?

Sebetulnya itu adalah penugasan dari Departemen Agama. Posisi saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Jender Departemen Agama yang punya surat pengangkatan dari Menteri Agama.

Ketika muncul reaksi keras dari sebagian anggota masyarakat terhadap draf itu, saya sendirian menghadapi kelompok-kelompok yang memprotes meskipun sebetulnya pengkajian itu tugas institusi.

Ternyata ada blessing in disguise (karunia tersembunyi). Saya menjadi dikenal luas, walaupun saya sama sekali tidak punya pikiran menjadi terkenal.

CLD itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Dalam pertemuan para feminis sedunia di Barcelona, Spanyol, orang terperangah karena dalam draf itu banyak hal baru dan aspeknya luas.

Dari kejadian itu saya belajar orang harus bertanggung jawab, punya komitmen, pada yang dia lakukan. Tidak rugi punya prinsip dalam hidup. Tuhan tidak buta.

Dari mana keberanian Anda?

Saya sadar betul yang saya lakukan bukan untuk mendapatkan sesuatu.

Saya meyakini Islam sebagai nilai yang begitu luhur, tetapi mengapa tidak fungsional dalam kehidupan umatnya. Islam hanya berhenti sebagai ritual, simbolik. Sayang sekali karena seharusnya nilai-nilai yang begitu luhur dapat membangun kehidupan yang lebih adil, lebih egaliter, lebih demokratis.

Dukungan keluarga

Musdah menyebut, dukungan keluarga, dari suami dan anak-anaknya, dari ayah dan ibunya serta bapak dan ibu mertuanya, sangat penting.

Ibunya juga sering mendapat teror, seperti ketika Musdah membicarakan homoseksualitas serta menolak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah.

”Ibu saya sampai mengatakan, dia mau bersaksi siapa saya yang dia kenal benar,” kata Musdah

Suaminya, Ahmad Thib Raya yang ahli tafsir, menurut Musdah, mengakui bahwa dia tidak setegar istrinya dalam menghadapi kecaman orang.

”Suami saya bilang, kalau saya dibilang orang seperti orang- orang itu menyebut tentang kamu, pasti saya tidak bisa tidur.”

Musdah tidak mau mengeluh apa pun kepada siapa pun. ”Saya khawatir kalau mengeluh nanti dibilang berhenti saja.”

Meskipun begitu, Musdah mengaku tidak kehilangan kekonservatifannya karena dia besar dalam tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama.

Dia tetap menghargai orang di pesantren yang konservatif karena, menurut Musdah, mereka tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dan punya pengalaman luas seperti dia. Termasuk pengalamannya dengan jilbab ketika tahun 1994 terbang dari Madinah ke Kairo.

Di pesawat semua perempuan asli Madinah menutup rapat tubuhnya dengan burka. ”Waktu kami berhenti di Jeddah, sebagian dari burka dibuka. Begitu sampai Kairo semua penutup dibuka. Cara mereka berpakaian lebih dari orang Barat. Waktu saya tanya, mereka bilang, burka adalah bagian dari budaya yang tidak diperlukan di Kairo.”

Musdah juga pernah menjabat Ketua Divisi Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (2000-2005). ”Sebelum dan sesudah saya belum ada lagi perempuan yang menduduki posisi itu.”

Setiap minggu divisinya selalu menerima surat laporan dari masyarakat tentang kelompok yang meresahkan. ”Kami turunkan tim ke lapangan untuk mengecek dan biasanya laporan itu hanya karena kecemburuan ketika ada kelompok yang tiba-tiba terkenal, punya banyak pengikut,” kata Musdah.

Menurut Musdah, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam agama apa pun selalu muncul aliran-aliran baru yang memperlihatkan orang tidak terpuaskan secara spiritual dengan keberagamaan yang formal.

”Buat saya, manusia secara spiritual sering merasa tidak puas. Kita masing-masing lalu menciptakan cara kita sendiri dalam beribadah menghadap Tuhan, dengan menambah bacaan, misalnya.

”Apa kita boleh marah kepada orang yang tidak puas secara spiritual? Kalau dia tidak mengurangi atau menambah ajaran yang ada, apa tidak boleh? Itu kan sama dengan kita meracik makanan kita memakai bumbu yang sesuai kebutuhan kita,” kata Musdah.

Tiga persoalan dan solusi

Konservatisme dalam beragama menjadi kecenderungan pada berbagai agama dan di mana-mana?

Tiga faktor penyebabnya. Pertama, kekuatan global di mana kebijakan Amerika sangat timpang terhadap negara-negara Muslim sehingga menimbulkan kebencian.

Kedua, kegagalan pemerintahan sekuler menyejahterakan rakyat sehingga muncul alasan menggantikan negara sekuler dengan negara teokrasi.

Ketiga, pengaruh demokrasi. Dulu kelompok seperti ini tidak punya suara di Indonesia. Sekarang, dengan memakai jalur demokrasi mereka punya cara legal mengutarakan pikiran. Mereka memakai istilah demokrasi prosedural yang sebetulnya melanggar konstitusi karena demokrasi digunakan sebagai mekanisme yang hakikat dan tujuan akhirnya bukan demokrasi itu sendiri, tetapi teokrasi.

Mengapa ingin memisahkan agama dan negara?

Setiap kita bicara agama pasti ujungnya adalah interpretasi. Kalau negara memakai ideologi agama, lalu interpretasi siapa yang akan kita pakai? Setiap orang akan mempertahankan interpretasinya. Tercabik-cabiklah negara kita. Padahal, negara kita amat beragam.

Bagaimana mempertahankan keberagaman Indonesia?

Kalau membaca buku pemikiran Haji Agus Salim mengenai pilihan Indonesia bukan sebagai negara agama, alasannya adalah problem seperti tadi. Lebih enak memakai Pancasila karena konkret sekali.

Saya tetap optimistis kalau kelompok cendekiawan, akademisi, mau berpikir kritis dan menghibahkan sedikit dari dirinya untuk menjaga keberagaman Indonesia, saya optimistis Indonesia yang kita pertahankan.

Tentang Musdah Mulia

Nama: Prof Dr Musdah Mulia, MA
Tempat dan tanggal lahir: Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1959
Keluarga: Suami: Prof Dr Ahmad Thib Raya MA. Anak-anak: Albar (19) dan Ilham (17).

Pendidikan: SD di Surabaya (tamat 1969); Pesantren As'adiyah, Sengkang (1973); SMA Datumuseng, Makassar (1974); S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makassar (1982); S-2 bidang Sejarah Pemikiran Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992); S-3 bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah (1997).

Pekerjaan: Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (1997-sekarang); ”visiting professor” di EHESS Paris, Perancis (2006); staf ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2000-2001); tim ahli Menteri Tenaga Kerja (2000-2001); staf ahli Menteri Agama Bidang Pembinaan Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional (2001-2007).

Buku: Antara lain ”Perempuan dan Politik” (Gramedia, 2005), ”Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan” (Mizan, 2005), ”Islam and Violence Against Women” (LKAJ, 2006), ”Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender” (Kibar, 2007), ”Poligami: Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan” (Kibar, 2007).

Sumber: Kompas, Minggu, 21 Desember 2008

No comments: