Wednesday, December 17, 2008

Sosok: Ketut Ari Susila dan Manusia Purba Gilimanuk

-- Mawar Kusuma Wulan

MUSEUM Gilimanuk merupakan salah satu mata rantai penting dari perjalanan sejarah peradaban Pulau Bali. Minimnya informasi bagi pengunjung tentang keberadaan ratusan kerangka manusia purba yang ditemukan di sekitar areal museum membuat koordinator Museum Gilimanuk, I Gede Bagus Ketut Ari Susila, menjadi sosok berharga.

Pada Kamis (20/11), seorang rekan Susila menolak memberi keterangan tentang museum itu karena hanya Susila yang memahami seluk-beluk setiap benda koleksi yang dipajang. Pemahaman Susila tentang koleksi museum tak serta-merta diperoleh dari pengetahuan di bangku kuliah. Ia setiap hari bergaul akrab, bahkan menginap di museum.

Tidur berteman kerangka manusia purba, peti mati (sarkofagus), dan beragam bekal kubur tak menghilangkan senyum lelaki ini. Bahkan, situs Gilimanuk boleh dikata ibarat kuburan massal manusia purba. Dengan peluh membasahi baju bercorak tradisional Bali, Susila sesekali menengok catatan tentang museum yang tersimpan di memori telepon seluler layar hitam putih miliknya.

”Informasi yang diberikan harus lengkap dan tidak ngawur,” ungkapnya.

Sejak menginjakkan kaki di Museum Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali, sekitar 130 kilometer barat Kota Denpasar, terasa ada yang ganjil. Selain kerangka manusia purba dan beragam bekal kubur, di pintu museum juga tergeletak penanak nasi elektronik serta peralatan makan. Suasana sepi dan pintu utama yang tertutup rapat sering ”menipu” pengunjung yang mengira museum tutup.

Langka pengunjung

Kehadiran pengunjung di museum itu termasuk langka. Belum tentu setiap hari ada pengunjung datang ke museum. Mayoritas pengunjung adalah rombongan tur pelajar dari Bali. Museum beroperasi pada jam kerja dan tutup pada Sabtu dan Minggu.

Terletak di Teluk Gilimanuk, museum itu hampir selalu luput dari lirikan wisatawan yang biasa berkunjung pada akhir pekan. Apalagi papan nama museum tertancap di bagian belakang dan berukuran kecil. Hanya pintu samping yang terbuka. Sebuah lubang bekas ekskavasi dibiarkan menganga dan menjadi tempat sampah di halaman depannya.

Meski museum lengang, Susila dan dua rekannya, I Made Lilik Wijaya dan Abdul Hamid, selalu siap menunggu pengunjung. Mereka tetap berseragam baju khas Bali sepanjang hari kerja. Waktu luang di sela ketiadaan pengunjung mereka gunakan untuk merawat museum. Susila yang didaulat bekerja di bidang kebudayaan pun turut mengerjakan semua pekerjaan, termasuk membersihkan museum bersama dua rekannya.

Selama 14 tahun, Susila menjadi tulang punggung museum sebagai penutur sejarah museum. Sebelum diangkat sebagai pegawai tetap pada 2006, ia digaji dari Rp 54.000 hingga Rp 250.000 per bulan. Meski kini tak lagi menjadi pegawai honorer, setiap malam dia tetap menginap di museum mulai Senin hingga Jumat.

Pilihan tidur di museum menjadi satu-satunya alternatif bagi Susila. Lokasi museum yang menempati lahan bekas kompleks makam manusia purba ini harus ditempuh selama lebih dari tiga jam dari rumahnya di Denpasar.

Lagi pula, kehadirannya di museum sekaligus berfungsi sebagai penjaga malam aneka artefak yang dipajang. Jangan membayangkan kasur empuk dan ruangan berpendingin udara. Susila hanya beristirahat di sofa panjang.

”Banyak yang mengatakan areal museum ini angker, tetapi saya tak pernah merasakan sesuatu yang aneh-aneh,” kata Susila.

Membagi pengetahuan

Setelah Museum Gilimanuk dibangun tahun 1993, Susila mulai tinggal di museum. Dua rekan sekerjanya tidak sanggup memberikan keterangan tentang isi museum sebaik dia. Setiap hari bergaul erat dengan museum, lulusan Jurusan Antropologi Universitas Udayana, Denpasar, ini sangat menguasai seluk-beluk zona tinggalan arkeologi terbesar dan terbanyak di Bali itu.

Ia piawai menerangkan sejarah penemuan dan hasil penelitian 147 kerangka manusia purba yang ditemukan di situs seluas 20 hektar itu. Setelah lulus kuliah tahun 1991, ia bekerja pada perusahaan kosmetik selama dua tahun.

”Saya ingin mengabdikan ilmu yang saya peroleh dari universitas. Saya senang bisa membagikan pengetahuan lewat museum,” katanya.

Kehadiran Susila di Museum Gilimanuk menjadi pencerahan tersendiri. Ini terutama karena artefak-artefak di museum tiga lantai ini tidak dilengkapi informasi memadai tentang sejarah penemuan dan hasil penelitiannya. Keterangan yang tertulis pada tempelan kertas kecil sekadar bertuliskan nama barang temuan. Minimnya informasi itu menyebabkan benda-benda koleksi tersebut ibarat barang mati tanpa kisah.

Dari tutur mulut Susila-lah pengunjung museum mengetahui penggalan kisah unik manusia purba dari Gilimanuk. Menurut Susila, kerangka manusia purba ditemukan sejak 1963 oleh ahli prasejarah RP Soejono dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Kepala dan kaki kerangka itu tertekuk ke dada, dengan kepala terletak di selatan dan menghadap ke Gunung Prapat Agung yang dipercaya sebagai tempat suci.

Di lantai satu Museum Gilimanuk terdapat empat set kuburan manusia purba yang sudah teridentifikasi jenis kelamin, tinggi badan, dan umurnya. Selain itu, terdapat pula tujuh individu kerangka lain yang hingga kini belum diidentifikasi. Setiap kerangka yang termasuk ras Mongoloid ini disusun dengan posisi sama seperti ketika ditemukan. Sayangnya, sebagian dari kerangka yang dipajang telah remuk.

Sistem penguburan dari rangka manusia purba Gilimanuk cukup beragam. Sebagian kerangka dikubur menggunakan wadah kubur seperti tempayan dan sarkofagus. Namun, ada pula kerangka yang dikubur tanpa wadah. Kerangka manusia purba itu dikubur dalam posisi menyerupai bayi dalam kandungan.

Lokasi museum itu pada zamannya diduga merupakan perkampungan nelayan dari zaman perundagian (zaman perunggu) atau sekitar 600 tahun sebelum Masehi hingga 800 tahun Masehi.

Meski jumlah dan informasi benda yang dipajang relatif minim, Susila tetap bersemangat menjelaskan tentang aneka alat pertanian berupa tajak perunggu berbentuk jantung dan lonjong yang dipajang di lantai dua.

Tajak biasanya juga digunakan sebagai bekal kubur beserta manik-manik, gerabah, dan kapak. Berbagai perlengkapan dapur dan aksesori, seperti manik-manik dan anting, bisa disaksikan di lantai paling atas museum.

Untuk mengusir rasa sepi, biasanya Susila berjalan-jalan di Pantai Gilimanuk pada sore hari dan berbincang dengan nelayan. Ia juga mengajak dua anaknya menginap di museum kala liburan sekolah.

”Saya ingin menanamkan kecintaan mereka terhadap museum,” ujar Susila menegaskan.

Sumber: Kompas, Rabu, 17 Desember 2008

No comments: