-- Dwi Fitria
BUKU pertama Nala Arung. Tuangan kegelisahan, sekaligus cuplikan keseharian masyarakat.
Saripin adalah seorang pemuda di sebuah desa. Hidupnya seperti kebanyakan pemuda lainnya. Ia hidup di sebuah kampung di mana semua orang begitu mengidolakan artis molek bersuara merdu, Krisdayanti.
Suatu hari Saripin bermimpi naik ke ranjang bersama Krisdayanti. Saripin tak kuat menahan kisah ini sendiri. Ia pun berbagi kisah dengan teman yang benar-benar ia percayai, Dudung. Dudung kemudian menyampaikan cerita ini kepada istrinya, yang menceritakannya kepada orang lain, dan seterusnya, sehingga kemudian satu kampung itu mengetahui mimpi Saripin.
Saripin kemudian dibenci dan dijauhi. Ia dianggap orang aneh karena sudah berani-beraninya bermimpi tak senonoh mengenai artis pujaan seluruh masyarakat desa. Apa yang dilakukan Saripin dianggap aib, bahkan oleh kekasihnya, Titin, yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Cerita berjudul Balada Saripin & KD ini adalah satu dari sebelas cerita pendek dalam kumpulan cerpen berjudul sama karya Nala Arung. Ada sedikit penjelasan yang kurang dalam Balada Saripin & KD, karena sesuatu yang hanya mimpi bisa membuat Saripin dihujat orang satu kampungnya. Di bagian akhir cerita tokoh Saripin bahkan harus memberikan penjelasan kepada orang kampung untuk membela diri dan mimpinya yang tak pantas.
Nala Arung ingin menampilkan begitu luar biasanya efek pengkultusan terhadap seorang individu. Meskipun mungkin bukan sesuatu yang luar biasa bermimpi panas tentang Krisdayanti, karena pada masanya, kemolekan wajah dan kesempurnaan fisik adalah hal kelebihan yang ditonjolkan seorang Krisdayanti.
Tak ada tema spesifik yang menjalinkan kisah dalam kumpulan cerpen ini. Sebagian menampilkan realita kehidupan masyarakat yang dekat dengan kesehariannya, masyarakat Kutai. Namun, sebagian melompat jauh menampilkan gaya hidup yang sudah terbilang metropolis.
Semisal dalam Gunawan, Nama Kekasihku, yang mengisahkan keseharian hidup seorang laki-laki bernama Jim. Jim terhitung laki-laki yang sukses, berkelimpahan materi, perusahaan yang dikelolanya maju dengan cepat merambah hingga ke luar negeri. Hanya saja, Jim tak juga memiliki istri, dan ini menjadi pertanyaan orang-orang terdekatnya.
Padahal tak satu dua perempuan yang mendekatinya. Di belakang kisah terungkap juga bahwa Jim sebenarnya sudah memiliki kekasih, Gunawan namanya.
Di beberapa cerita, Nala Arung menampilkan potret masyarakat Kutai. Cerpen Sepatu misalnya bahkan dibuat dalam versi bahasa Indonesia dan bahasa Kutai. Sepatu bercerita tentang seorang laki-laki bernama Busu Haron (Busu berarti paman atau pakde dalam bahasa Kutai). Hari-hari Busu yang terbiasa menghabiskan hari dengan tidur sampai siang, terganggu saat anaknya meminta dibelikan sepatu baru. Sekolah anaknya mengharuskan tiap siswa memakai sepatu seragam.
Adegan beralih amat dramatis. Busu Haron naik pitam. Ia merasa bahwa peraturan ini terlalu mengada-ada. Busu Haron yang sekilas terlihat sebagai seorang karakter yang santai kemudian menggalang masa: para tetangga yang terkena imbas kebijakan yang sama, agar protes pada pihak sekolah. Busu Haron dan para tetangganya sudah bermimpi berdemonstrasi ala mahasiswa. Mereka akan membawa kasus ini hingga ke PBB jika perlu.
Puncak yang dramatis menurun dramatis juga. Sebab tanpa sebab yang jelas pihak sekolah membatalkan permintaan itu.
Nala Arung membuat kisah ini terlebih dahulu dalam bahasa Kutai, baru kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. “Tujuan utama saya sebenarnya hanya memperkenalkan bahasa Kutai kepada masyarakat Indonesia yang lebih luas. Kalau dicari di pasaran, orang akan dengan mudah menemukan kamus bahasa Jawa atau Melayu misalnya. Tapi tidak demikian halnya dengan bahasa Kutai,” ujar laki-laki kelahiran Tenggarong, 1977 itu. Nala menuliskan ini dengan kesadaran untuk tetap melestarikan bahasa daerah asalnya tersebut.
Beberapa kisah dalam buku ini, termasuk Sepatu, sengaja menyampaikan kondisi sehari-hari masyarakat Kutai Kertanegara. Sebuah bentuk keresahan Nala Arung melihat kecenderungan masyarakatnya sendiri.
“Masyarakat Kutai adalah orang-orang yang tak terlalu suka berkonfrontasi. Dan ada kecenderungan menjadi apatis. Tidak ada kompetisi, dan ini sesuatu yang meresahkan,” ujar laki-laki yang sebelumnya sempat berprofesi sebagai wartawan ini.
Protes masal adalah sesuatu yang amat berkebalikan dengan kecenderungan masyarakat Kutai yang tak suka konfrontasi. Kisah dalam Sepatu, misalnya, dimaksudkannya untuk menjadi semacam penggedor kesadaran pada masyarakat tempat ia bermukim itu.
Kisah-kisah dalam buku ini terkesan komikal karena dalam beberapa cerpen tindakan yang dipilih karakternya agak berlebihan.
Kumpulan cerpen ini adalah kumpulan cerpen pertama Nala Arung. Banyaknya cerpen yang sudah ia hasilkan mendorongnya untuk mengumpulkan cerpen-cerpen itu menjadi sebuah buku. Awalnya ia hendak menerbitkan buku itu hanya di Kutai Kertanegara saja. “Setelah diterbitkan mungkin dibagikan di sekolah-sekolah setempat,” ujar Nala.
Namun beberapa orang teman dari Jakarta mendorongnya untuk menerbitkan juga buku tersebut di Jakarta. Ia kemudian mengumpulkan sebelas cerpen yang pernah dimuat oleh media setempat. Dimulai bulan Juli, sebelas tulisan yang dibuat dalam jangka waktu antara 1997 hingga 2008 akhirnya terpilih untuk mejadi bagian kumpulan cerpen ini.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 Desember 2009
No comments:
Post a Comment