Friday, December 19, 2008

Sekadar "Upacara dan Pertunjukan"?

-- Putu Wijaya*

KONGRES Kebudayaan Indonesia 2008 diam-diam berlangsung di Bogor pada 10-12 Desember. Peristiwa yang dicanangkan berlangsung lima tahun sekali itu nyaris tanpa publikasi, baik sebelum maupun sesudahnya. Mungkin karena sudah begitu banyak hal sama-sama bergema sehingga kita semua sudah pekak dan kebal. Atau, peristiwa kebudayaan kembali terbukti bukan sesuatu yang penting di negeri ini.

Mengusung tema ”Kebudayaan untuk Kemajuan dan Perdamaian Menuju Kesejahteraan”, sekitar 500 peserta dari seluruh Indonesia berpartisipasi. Tercatat 102 makalah dengan pokok bahasan Kebijakan dan Strategi Kebudayaan, Identitas Budaya, Diplomasi Kebudayaan, Warisan Budaya, Pendidikan, Filantrophi Kebudayaan, Etika, Ekonomi Kreatif/Industri Budaya, Hak atas Kekayaan Intelektual, Film/Seni Media, Sastra, Bahasa dan Aksara, Seni Rupa, Media Massa, Seni Pertunjukan.

Rekomendasi yang dihasilkan mengingatkan pada rekomendasi Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi, lima tahun lalu. Para perumus dari unsur panitia pengarah, pemakalah, moderator, dan peserta mencatat empat pokok penting

Keenam pokok dimaksud adalah melanjutkan pengembangan kebudayaan nasional, menjawab tantangan industri budaya dan globalisasi, menggali dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk bersaing di dunia internasional, dan mengelola warisan budaya sebagai modal utama penguatan peradaban demi kesejahteraan bangsa. Sementara rekomendasi dijiwai upaya ”merevitalisasi lembaga, sarana, dan aktivitas kebudayaan” yang menyangkut pendidikan, kemitraan, peran pemerintah, kelembagaan, regulasi, otonomi daerah, kebijakan, dan filantropi.

Tanpa pembicara utama

Berbeda dengan Kongres Kebudayaan 1991 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, dan Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi, Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor tidak diawali dengan pembicara utama dalam sidang pleno. Setelah upacara pembukaan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, langsung menukik ke sidang-sidang kelompok yang berjalan serentak. Tak semua pemakalah bisa hadir karena penyelenggaraan kongres mengalami beberapa kali perubahan tanggal. Akan tetapi, sidang-sidang tetap berlangsung hangat.

Dalam kelompok Kebijakan dan Strategi Kebudayaan, enam pembicara (Budi Susilo Soepandji, Al Azhar, Luluk Sumioarso, Phillipus Tulle, Sutamat Aribowo, dan Yudi Latief) mengetengahkan pokok pikiran secara serentak. Eka Budianta yang menjadi moderator menjalankan tugasnya sambil berdiri sehingga sidang berlangsung seperti ”pertunjukan” yang mengasyikkan dan seru. Materi yang ditampilkan oleh para pembicara bervariasi dan menarik.

Yudi Latief, misalnya, memaparkan bahwa pembinaan karakter bangsa amat penting sebab langkah-langkah besar yang sesuai dengan karakter bangsa setempat—sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Amerika, Jepang, dan China—diyakini akan dapat membawa bangsa itu pada puncak pencapaiannya. Sementara kita (baca: Indonesia) kini lebih banyak mencari-cari dan bahkan mencoba meniru, melupakan apa sejatinya yang kita miliki. Rekomendasinya konkret, merujuk pada kebijakan dan strategi yang merujuk pada pengembangan budi pekerti yang kini nyaris terlupakan.

Politik dan strategi kebudayaan yang sesungguhnya menjadi tema pokok dalam Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi diusulkan untuk kembali dirumuskan dalam rekomendasi kongres kali ini. Demikian juga rekomendasi untuk membentuk Departemen Kebudayaan yang tidak digandeng atau diboncengi oleh urusan lain (sebelumnya oleh pendidikan kemudian pariwisata).

Pengulangan ini mungkin dimaknakan sebagai usaha penegasan kembali suara budaya yang tidak dihiraukan. Sesungguhnya bukan hanya kedua hal tersebut, tetapi juga belasan butir kebijakan Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi yang melibatkan 700 peserta dari seluruh Tanah Air memang seperti tidak pernah ada.

Ini sudah menjadi salah satu kematian budaya kita bersama. Kita seperti terdorong pada banyak aktivitas penggagasan, pencarian, perumusan, yang kemudian—malangnya—hanya berhenti sebagai upacara.

Kita bukan tidak memikirkan, kita sudah membahas, bahkan sudah sangat mengeluhkan segala ancaman itu. Tetapi, tindakan kita lebih pada usaha ”meramaikan” saja. Kita sibuk membuat peraturan, seakan dengan menimbun peraturan di sekitar, kita dengan sendirinya akan selamat.

Memang kita sudah muak oleh ”penyakit” memproduksi aturan itu, tetapi dengan sedih harus mengakui bahwa kita selalu kembali mengulanginya. Seperti pemain bola yang lihai menggoreng, tapi kita tak mampu menyarangkan bola. Kita bukan tak pandai membuat, kita hanya tak paham merawat dan melaksanakannya karena membuat, merawat, dan melaksanakan tak pernah diterima sebagai satu paket.

Yang muncul kemudian adalah sekadar ”pertunjukan”. Bila itu ada di panggung, tentu akan menjadi tontonan seru. Tetapi, ketika panggung tontonan adalah panggung kehidupan kita sehari-hari, kita kemudian hanya akan menjadi obyek hiburan, makanan, dan santapan alias ”berita” seru bagi orang lain.

Produk ”pelat merah”?

Sebenarnya ada pertanyaan liar sebelum kongres berlangsung. Apakah kongres kebudayaan sudah menjadi kongres kesenian? Yang disindir adalah cara penyelenggaraan dan materi pembahasannya. Banyak masalah aktual yang mengepung kehidupan kita kini, yang sumbernya adalah kemerosotan budaya. Mengapa rembukan akbar yang dapat dijadikan sebagai senjata pemungkas untuk menggempur seluruh persoalan itu tidak diproses (juga) secara spektakuler agar tidak mubazir?

Tetapi, suara-suara itu selalu akan terdengar dalam setiap kerepotan yang dicurigai sebagai produk ”pelat merah”. Itulah sebabnya ada semangat untuk kelak (dalam Kongres Kebudayaan Bukittinggi) menyerahkan hajat setingkat kongres kebudayaan ini kepada sebuah lembaga mandiri. Padahal, sebenarnya baik Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi maupun Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor, pihak pemerintah hanya pemberi fasilitas. Para budayawan dan cerdik pandai sudah dijemput untuk merancang dan menentukan sepenuhnya jiwa, langkah, dan agenda kongres.

Hanya saja jemputan itu gagal karena satu dan lain hal. ”Satu dan lain hal” itulah yang menjadi lingkaran setan yang menggagalkan banyak hal dalam seluruh sektor kehidup- an. Seakan-akan perlu dibuat kongres tentang kongres itu sendiri.

Lima tahun yang lalu, Kongres Kebudayaan di Bukittinggi juga sudah dibarengi harapan yang serupa tentang pascakongres. Jangan sampai mengulang kemubaziran kongres kebudayaan sebelumnya yang hanya menjadi arsip tua yang digerogoti tikus dalam gudang.

Akan tetapi, fakta menunjukkan, kerepotan yang dipersiapkan hampir satu tahun penuh dengan banyak pertemuan serta didahului oleh apa yang dinamakan ”prakongres” di beberapa wilayah akhirnya lenyap seperti air jatuh ke pasir. Bulir-bulir keputusan dan rekomendasi tak tersosialisasikan, tak juga menjadi apa-apa, karena tak memiliki kekuatan hukum.

Apakah hasil Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor ini akan mengalami nasib yang sama? Dapat diramalkan bila rumusannya tak ”diperjuangkan” sebelum pergantian pemerintahan, nasibnya akan setali tiga uang. Rugi sekali kalau hasil kongres hanya akan menjadi peristiwa seremonial temu budaya.

Jalan satu-satunya adalah segera menyerap temuan-temuan kongres kebudayaan dan kemudian mengaplikasikannya. Meskipun itu pasti sulit karena pemerintah kini sudah di akhir periode, sementara seluruh perhatian mulai tertuju pada pemilu. Akan tetapi, bila ada tekad, bukan tak mungkin.

* Putu Wijaya, Budayawan; Tinggal di Ciputat, Tangerang

Sumber: Kompas, Jumat, 19 Desember 2008

No comments: