Saturday, December 20, 2008

Ajip Rosidi, Penerima Anugerah HB IX: Bahasa Ibu Semakin Terpuruk

Yogyakarta - Sejak negara Republik Indonesia berdiri, pemerintah tidak mempunyai kebijaksanaan yang jelas tentang bahasa, terutama bahasa ibu. Ini karena para pendiri negara kita keliru mengambil sistem sekolah, yaitu sistem sekolah untuk kaum pribumi masa sebelum perang yang diterapkan di negara yang baru didirikan.

Demikian ditegaskan Prof Ajip Rosidi dalam pidatonya ketika menerima Anugerah Hamengku Buwono IX yang diberikan UGM dalam rangka merayakan Dies Natalis ke-59 yang berlangsung di Pagelaran Keraton Yogya, Jumat (19/12) malam.

“Maka sejak awal di sekolah-sekolah di Republik Indonesia, para anak didik tidak dihubungkan dengan sumber budayanya,” tegas Ajip yang pada 1981 diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Bahasa Asing Osaka.

Dalam uraiannya, Ajip menunjukkan betapa bahasa ibu (Ajip menegaskan lebih tepat menyebut bahasa ibu dibanding menyebut bahasa daerah) terus mengalami keterpurukan. Tahun 1953, kata Ajip, UU Pendidikan menetapkan bahwa sampai dengan kelas 3 di Sekolah Rakyat (Dasar) di daerah-daerah tertentu digunakan bahasa ibu setempat sebagai bahasa pengantar. Selanjutnya bahasa ibu hanya menjadi mata pelajaran pilihan dengan syarat “kalau ada gurunya.”

Ketika Kurikulum 1975 ditetapkan bahwa bahasa pengantar yang digunakan di SD sejak kelas 1 harus bahasa Indonesia, lanjut Ajip, maka keterpurukan bahasa ibu menjadi lengkap.

“Bagaimana tidak, mereka menyuruh anak didik yang di rumahnya menggunakan bahasa ibunya sendiri harus mempelajari bahasa ibunya itu dengan bahasa Indonesia yang tidak, atau paling tidak belum dikuasainya,” kata Ajip penerima Kun Santo Zui Ho Sho dari pemerintah Jepang tahun 1999.

Tak hanya itu, Ajip menunjukkan keterpurukan bahasa ibu. Dikatakannya, dalam kurun waktu yang lama pula kita terjebak oleh kesalahan dalam menghapalkan Sumpah Pemuda. Rumusan ketiga yang seharusnya berbunyi “Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” diubah menjadi “mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia.”

“Karena sumpah yang keliru itu maka timbullah pendapat tentang perkembangan bahasa nasional,” tutur Ajip, penerima hadiah sastra-budaya di bidang puisi tahun 1955-1956.

Pembenahan

Pada bagian lain, Ajip juga menunjukkan, keterpurukan bahasa ibu juga didorong adanya tingkat-tingkat bahasa, yakni seperti kalau di bahasa Jawa ada ngoko, kromo inggil dan sebagainya. Kata Ajip, penguasaan bahasa yang bertingkat-tingkat itu dianggap sebagai sarana untuk menilai apakah orang tersebut beradab atau tidak.

“Orang yang menggunakan perkataan yang tidak tepat menurut aturan tingkat-tingkat bahasa dalam bercakap-cakap akan dianggap tolol dan mendapat hukuman sosial dengan ditertawakan atau diejek,” ujar Ajip, kelahiran Jatiwangi Majalengka 31 Januari 1938.

Melihat kenyataan-kenyataan ini Ajip berharap pemerintah akan segera turun tangan membenahi masalah-masalah bahasa ibu yang kian terpuruk. “Perlu adanya kemauan politik pemerintah yang tegas, hal yang sama sekali tidak tercermin dalam konsep RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa,” tegas Ajip.

Yang tak kalah pentingnya pula, menurut Ajip, adanya kemauan para anggota masyarakat yang mempunyai bahasa ibu itu untuk mempergunakannya sehari-hari sebanyak dan sesering mungkin. Dengan melakukan langkah-langkah ini Ajip berharap keberadaan ratusan bahasa ibu yang ada di negara Indonesia bisa terselamatkan. (yuk)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Desember 2008

No comments: