-- Kurnia JR*
APA yang kita dapati di Indonesia sekarang mungkin agak mirip abad yang dihayati Charles Dickens dulu. Kita masih menyaksikan anak-anak berkeliaran di jalan-jalan hingga larut malam. Mereka mengelap kaca mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, melompat ke dalam bus kota untuk mengamen, mengemis di jembatan penyeberangan, menjadi korban sodomi dan pemerkosaan, bergaul dengan pencopet, dan sebagainya. Tak sedikit anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja membantu orangtua atau diperdagangkan menjadi pelacur.
Kasus penyiksaan orangtua terhadap anak sering mengisi halaman surat kabar. Inilah sisi dunia rapuh anak-anak. Tampaknya kesusastraan kontemporer kita kurang menaruh perhatian pada kenyataan ini. Saya ingat sebuah cerita yang menarik tentang anak-anak jalanan: Burung-burung Kecil. Kisah ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina pada 1991. Pengarangnya lebih suka dikenal dengan nama Kembangmanggis. Dia melakukan riset dan menuangkan hasilnya dalam bentuk novelette tentang anak jalanan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kisah terbaru yang sedang digandrungi adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Betapapun, setiap orang mendambakan harapan atas dunia yang tak selalu memenuhi kebutuhan. Secara umum, Laskar Pelangi menanggapi harapan itu, menggugah kesadaran tentang perubahan yang bisa diupayakan.
Kenyataan boyak pada suatu generasi hanya bisa ditanggulangi oleh generasi yang bersangkutan dengan ketangguhan diri hasil pendidikan yang wajib disediakan oleh generasi pendahulu. Empati terbesar tentu dimiliki oleh yang terlibat.
Anak-anak yang beruntung di segala zaman menikmati pendidikan melalui kesusastraan. Para penutur dongeng, penulis, serta penyanyi lagu ninabobo dari masa ke masa menaruh perhatian besar pada anak-anak. Bahkan, bagi orang dewasa, kesusastraan menyapa lewat naluri kanak-kanak. Sastrawan menulis dan bertutur lewat imajinasi kanak-kanak yang bersemayam dalam jiwa mereka.
Contoh yang klasik adalah Alice in the Wonderland (1865) karya Lewis Carroll yang masyhur. Kisah itu sangat digemari anak-anak di berbagai negeri. Melintasi masa hampir satu setengah abad, kisah petualangan Alice terus diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan direproduksi ke dalam berbagai bentuk, dari prosa ke komik, terus ke film dan sebagainya. Lewis Carroll alias Charles Lutwidge Dodgson adalah seorang ahli matematika dan logika. Fakta ini menegaskan bahwa sastra bagi anak-anak menuntut integritas yang berdisiplin tinggi. Para redaktur majalah anak-anak pastilah memahami hal itu sehubungan dengan cerita-cerita yang mereka terbitkan. Selayaknya, kita pun patut menyadari konteks budaya dan ekonomi dari karya yang diciptakan di suatu tempat pada suatu masa.
Dunia anak-anak dari sudut pandang literer bukan miniatur dunia orang dewasa. Dunia mereka adalah wilayah otonom yang menuntut disiplin logika tersendiri. Wilayah anak-anak bukanlah tempat bagi penulis yang sembrono dan menganggap publiknya sekadar tong sampah tempat segala kebohongan ditumpahkan.
Sebagian penulis kadang-kadang terjerumus pada anggapan bahwa dongeng untuk anak-anak cukup berisi ajaran moral yang sumir: kejahatan dikalahkan kebaikan. Prinsip simpel semacam ini umumnya dianut oleh penulis komersial, yang memandang anak-anak sebagai target pasar semata. Mereka lupa bahwa pengolahan imajinasi adalah aspek yang tak boleh diabaikan, disertai aspek moral khas yang lentur. Keluwesan adalah fondasi penting supaya anak-anak tidak dipukau oleh jarak tak terjembatani antara apa yang mereka baca dan apa yang mereka saksikan di dunia nyata.
Dongeng-dongeng HC Andersen menjadi klasik bahkan bagi pembaca dewasa. Kisah-kisahnya tak sekadar menyajikan moral kebaikan dan ketabahan, tetapi juga keindahan yang menyentuh hati. Setelah menempuh perjuangan disertai kejujuran dan ketabahan, kisah ditutup dengan pola yang masyhur dan kita hafal: ”Mereka pun selanjutnya hidup bahagia selama-lamanya.” Dongeng-dongeng Andersen atau Jacob Grimm membuat masa kanak-kanak berjuta-juta orang terasa indah dalam kenangan. Pola cerita yang mereka terapkan tetap berlaku hingga sekarang. JK Rowling dan JRR Tolkien bertolak dari sistem moral yang baku dalam karya-karya mereka yang sukses besar secara komersial dan boleh dibilang menjadi dongeng abad ini. Tokoh baik mengalahkan tokoh jahat. Betapapun angker dan perkasa si tokoh jahat, ia pasti lebih lemah di hadapan tokoh baik. Kita tunggu, setangguh apa Harry Potter dan The Lords of the Ring menghadapi ujian waktu.
Andersen menulis dari lubuk hati dan empati karena ia kenal penderitaan sejak masa kecilnya. Ia tuturkan imajinasinya yang hebat dengan gaya yang memukau: tentang bunga lili yang tumbuh di atap rumah, dekat jendela kamar loteng, atau tentang anak miskin yang, karena ketabahan dan kejujuran, berhasil mempersunting putri raja. Dongeng-dongeng Andersen menanamkan pengertian ke dalam benak anak-anak bahwa hidup ini patut diperjuangkan dan karena itu indah. Hidup yang diisi dengan kebajikan pasti akan berbuah keberuntungan. Dalam dongengnya, dunia terasa mengharukan. Andersen seakan membawa misi mengungkap dunia lembut dan welas asih yang acap terbenam di bawah permukaan dunia keras.
Charles Dickens, pengarang Inggris abad ke-19, dengan karya-karyanya memupuk cinta dan dorongan untuk memperbaiki realitas sosial. David Copperfield, Oliver Twist, Dombey and Son, dan lain-lain melukiskan kehidupan yang keras, dangkal, tapi juga mengharukan. Perhatian utama Dickens adalah nasib anak-anak yang tragis sebagai dampak Revolusi Industri.
Dickens menjalani masa kanak-kanak yang menyedihkan. Hidup melarat dengan ayah dipenjara gara-gara utang. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-12, ia harus bekerja di pabrik Warren’s yang membuat dia menderita. Trauma itu membekaskan luka jiwa yang tak pernah sembuh seumur hidupnya. Pengalaman masa kecil yang pahit sangat berperan sepanjang kariernya sebagai sastrawan. Dickens melukiskan anak-anak Inggris pada abad ke-19 yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik hingga jauh malam dengan upah sangat rendah atau tanpa bayaran sama sekali, juga anak-anak jalanan dalam Oliver Twist.
Dari Amerika, pada paruh kedua abad ke-19 Mark Twain menghadiahkan kisah tentang dunia anak-anak yang polos, tetapi sarat dengan ajaran hidup. Tom Sawyer dan Huckleberry Finn layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Buku-buku itu menyuguhkan kisah petualangan yang seru dan jenaka sambil memperkenalkan kearifan hidup dalam konteks kemajemukan sosial.
Dari kesusastraan masa Balai Poestaka, ada kisah Si Jamin dan Si Johan karya Jan Smees yang disadur Merari Siregar. Buku itu menggambarkan nasib anak-anak yang pahit. Mereka yang pernah membaca buku itu selalu terkenang akan tragedi yang dilukiskan. Tentu saja, bukan hanya cerita sedih yang masuk catatan. Si Doel Anak Betawi karya Aman yang jenaka sekaligus mengharukan telah menjadi legenda dalam kesusastraan Indonesia.
Buku adalah satu hal, sedangkan sarana untuk mempertemukan sastra dengan anak-anak adalah hal lain. Di sinilah pemerintah dan orangtua berperan. Dalam kesusastraan, buku hanya salah satu media. Anak-anak di usia dini pastilah beruntung jika memiliki orangtua yang sudi mendongeng di ranjang mereka menjelang tidur, walau tidak setiap malam. Sementara itu, pemerintah selalu diharapkan mengatur harga kertas agar penerbit dapat menyediakan buku murah. Lebih dari semua itu, fondasi utama adalah pendidikan dasar: melek huruf, diiringi pemenuhan hak dasar hidup anak-anak selaku warga negara. Kita masih menanti pemerintah yang mampu menunaikan amanat konstitusi: anak telantar dipelihara oleh negara.
Sastra pun dapat diakses melalui internet. Di sinilah pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan orangtua secara bersama-sama dituntut berperan aktif membantu anak-anak sehingga mendapatkan apa yang patut bagi mereka. Yang diperlukan bukanlah blokade atau berbagai larangan sebab internet adalah fenomena dunia yang bocor. Cukuplah kita renungkan kutipan berikut ini dari Han Suyin (A Many-Splendoured Thing), ”Betapa senangnya menjadi anak Cina,” kata Pater Low. ”Mereka selalu diajak ke mana-mana. Mungkin itulah sebabnya mereka selalu mudah diurus dan tidak mempunyai banyak kesulitan. Mereka tidak dipisahkan dan dilindungi dari kehidupan nyata sehingga tidak shock saat terjun ke dunia nyata. Kami mendidik orang-orang yang keliru, tapi kalian mendidik pria-pria dan wanita-wanita untuk hidup di dunia orang dewasa. Anak-anak itu tidak ikut-ikutan berbicara atau meniru kelakuan orang dewasa sebab tak banyak yang disembunyikan dari mereka, dan mereka tak percaya orang dewasa lebih banyak tahu daripada mereka.”
* Kurnia JR, Pengarang
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Desember 2008
No comments:
Post a Comment