Sunday, December 28, 2008

Sudah Saatnya Ada: Mubes Masyarakat Sastra di Minang

-- Fadlillah Malin Sutan Kayo*

PEMERINTAH Sumatera Barat jelas memempunyai peran besar di dalam politik kebudayaan dan politik pendidikan. Selayaknya pemerintah mengubah blue print, atau paradigma, mind set, bahasa Minangnya “aleh bakua” (istilah Wisran Hadi), yakni ale bakua yang mementingkan benda dari pada jiwa, mementingkan eksak dan teknologi daripada sastrabudaya, mementingkan tubuh daripada roh, bahasa ustadnya; mementingkan dunia daripada akhirat. Sudah selayaknya aleh bakua ini dirubah yakni sama-sama dipentingkan jiwa dengan tubuh. Perubahan ale bakua ini selayaknya dilakukan di segala bidang. Jangan anak tirikan juga sastra budaya.

Apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam hal ini, adalah dengan menghargai dunia sastra budaya sendiri. Sastra budaya bangsa sendiri hanya dapat hidup dengan dihargai. Adapun untuk “membunuh” dunia sastra sesungguhnya mudah saja; jangan hargai, hina, singkirkan, letakan pada nomor terakhir dalam dunia pembangunan, maka dunia sastra akan “hidup segan mati pun tak mau”.

Namun pemerintah terkesan sering hanya menghargai dunia sastra di mulut saja, lip service, padahal selayaknya penghargaan pemerintah itu berupa (1) merubah paradigma, mind set, (ale bakua) pembangunan di segala bidang menjadi memposisikan sastra budaya sama dengan seluruh bidang lain. (2) Setiap akhir tahun beri award pada sastrawan, novelis, cerpenis, penyair, kritikus, dan esais, serta dramawan, sehingga mereka terhormat di tengah masyarakat. (3) Berikan subsidi honor yang layak kepada sastrawan Minang yang menulis, mulai yang kecil sampai yang tua, paling tidak senilai 100 ribu rupiah untuk masa kini, sehingga mereka bergiat untuk berkarya. (4) Terima sarjana sastra untuk bekerja di bidang kebudayaan di pemerintah dan perlakukan mereka sama dengan sarjana lainnya. (5) Beri subsidi untuk penerbitan buku-buku sastra setiap tahun. (5) Terbitkan majalah sastra.

Sampai di sini hanya jadi pertanyaan. Masih dapatkah hanya dengan bergantung harap kepada pemerintah, sedangkan beban pemerintah sangatlah berat. Agaknya akan jauh lebih baik bergantung kepada diri sendiri, yakni masyarakat sastra itu sendiri. “Kasihan kita kepada pemerintah yang beban tugas sangatlah berat”.

Apakah benar peran masyarakat sastra di Minang begitu penting dan bagaimana selayaknya? Peranan masyarakat sastra sebenarnya jauh lebih penting daripada pemerintah dalam memajukan sastra. Karena maju atau mundur, mati atau hidup, berkembang atau tidak, tergantung kepada masyarakat sastra itu sendiri.

Karena perkembangan sastra sepenuhnya tidak tergantung kepada pemerintah, tetapi tergantung kepada masyarakat sastra itu sendiri. Di sini kita tentu harus menjelaskan, siapa masyarakat sastra itu?

Masyarakat sastra adalah terdiri dari satrawan itu sendiri, novelis, cerpenis, penyair, eseis, kritikus, penulis naskah drama/skenario serta para penikmat sastra.

Sebenarnya perkembangan sastra selama ini di Minang lebih banyak oleh kiprah atau kerja masyarakat sastra secara mandiri. Hanya sayang mereka belum terlembaga secara rapi dan menyeluruh.

Memang ada Dewan Kesenian Sumatera Barat, namun organisasi ini terlalu gendut dan banyak bidang seni yang dihimpun di dalamnya. Bahkan DKSB konon hanya berkegiatan kalau ada dana dari pemerintah (artinya sangat bergantung kepada pemerintah), itupun semua kerjanya bertentangan dengan namanya; dewan – legislatif -, sedangkan kerjanya –eksekutif - bersifat pemerintahan, jika tidak dikatakan sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Apalagi menurut sejarahnya Dewan Kesenian dibentuk pemerintah (kabarnya dari dunia militer sk-nya) untuk “mengendalikan dan mengontrol para seniman supaya tidak menggerakan kebudayaan yang idealis, supaya para seniman digiring untuk menjadi pengkhianat intelektual”. Ini kabarnya, dusta orang tentu kita tidak serta.

Dengan demikian sudah saatnya seluruh sastrawan dan kritikus sastra di Minang untuk independen, untuk melakukan mubes –musyawarah besar- membentuk Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM). Hal itu karena maju mundurnya sastra di Minangkabau berada di tangan mereka, berada pada ke-independen-annya, karena Dewan Kesenian Sumatera Barat juga terlalu gendut (banyak cabang) untuk mengurus mereka dan tidak independen.

Di samping itu juga ada HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia), maaf, dalam cerita negatif yang saya dengar, konon hanya terbatas untuk para sarjana sastra yang pegawai pemerintah, yang kata orang; kerjanya berseminar untuk mencari KUM. Akan tetapi di Minang sejak wafatnya kritikus Mursal Esten maka HISKI di Minang seakan sudah turut terkubur, tidak ada kabar beritanya. Namun, agaknya tidak seperti itu realitas HISKI itu sesungguhnya, karena HISKI pada sisi lain ia merupakan dunia kritikus, peneliti, akademikus dan pengamat sastra yang sangat dibutuhkan. Barangkali kondisi sekarang hanya merupakan pasang surut sebuah aktivitas

Dengan demikian bukankah sudah saatnya ada suatu institusi masyarakat sastra yang mengurus nasib perkembangan sastra di Minangkabau. Institusi yang bergerak dalam bidang yang konkret yakni ; (1) pengumpulan dana abadi, (2) subsidi honor yang memadai untuk tulisan sastra, (3) award setiap akhir tahun, (4) mengusahakan penerbitan buku-buku sastra, (5) menerbitkan majalah sastra, (6) lokakarya sastra, (7) diskusi dan seminar, (8) serta memberikan bantuan kepada sastrawan yang berpergian untuk kegiatan sastra, (9) serta sosial dan silaturrahmi.

Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM) selayaknya berdasarkan pada asas (1) egaliter, (2) kosmopolit, (3) menghargai kekayaan budaya tradisi dan (4) demokrat, (5) Independen. Memang selayaknya Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM) independent, tidak dibawah pemerintah, dengan demikian ia akan bergerak dengan mandiri tanpa tekanan apapun, dan tidak berhubungan dalam dunia politik praktis apalagi dengan partai politik.

Dalam hal ini tentu kita bertanya, siapa yang memungkinan untuk membentuk Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM). Jangan berharap pemerintah yang akan membangunnya. Pemerintah itu bebannya sudah banyak. Biasanya pemerintah bergerak karena ada “maunya”, yakni politik preaktis. Kemudian, hal ini tidak akan jalan kalau menyerahkan kerja kita kepada orang lain.

Harapan tertumpu, jelas pada masayarakat sastra itu sendiri. Ada tiga unsur yang memungkinkan untuk membentuknya di dalam tubuh masyarakat sastra itu sendiri. Pertama, adanya personal yang mau berkegiatan di bidang ini, kedua mungkin ada komunitas yang yang mau memprakarsainya, ketiga selayaknya juga pihak akademisi sastra yang menggerakannya. Hal ini sudah saya usulkan kepada Fakultas Sastra Unand, tidak ditanggapi (barangkali tidak ada apa-apanya menurut mereka). Kemudian saya usulkan kepada HMJ Sastra Indonesia FS. Unand, nampaknya ketuanya – Esha Tegar Putra– cukup bersemangat dan ingin mengajak berbagai pihak untuk kerja sama (semoga tidak angat-angat cirit ayam).

Pada akhirnya saya sadar, ide atau gagasan ini agaknya mustahil, di samping masyarakat sastra kita sepertinya juga dihinggapi penyakit “kehilangan trust”, kehilangan kepercayaan antar sesama, konon dari yang tua sampai kepada yang muda, kebenaranya saya tidak tahu.

Namun bila tidak ada Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM), maka yang terjadi dalam kehidupan bersastra di Minangkabau tentu hanya bergiat sendiri-sendiri saja, seperti selama ini masyarakat sastra hanya hidup dengan komunitas-komunitas sendiri, seperti sekarang; komunitas intro di Payakumbuh, Komunitas Penggiat Sastra Padang, Komunitas Ilalang Senja, Komunitas Daun, Komunitas Kadang Pedati, Komunitas Intro dan banyak lagi. Wallahualam.

Puruih Kabun, 11112008;22:50

* Fadlillah Malin Sutan Kayo, dosen dan peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 Desember 2008

No comments: