Friday, December 05, 2008

Budaya Lokal: Pergelaran Kesenian yang Redup

-- Ambrosius Harto Manumoyoso

UANG amat penting untuk membiayai apa pun. Uang bisa untuk membeli kebutuhan pokok hidup, yaitu makanan, pakaian, dan rumah. Uang bisa dan jelas perlu untuk melaksanakan kegiatan, seperti pergelaran seni dan budaya.

Penyanyi dan pemusik tradisional dari Kutai Timur, Kalimantan Timur, saat membawakan lagu Long Kayan , Sabtu (15/11). (KOMPAS/AMBROSIUS HARTO / Kompas Images)

Dana yang cukup membuat panitia bisa berpromosi dan berkreasi agar pementasan menarik banyak orang hingga pelancong. Dana terbatas memang membatasi aktivitas, tetapi sebenarnya tidak sampai membunuh kreativitas.

Festival Kemilau Seni Budaya Benua Etam Kalimantan Timur (Kaltim) berlangsung di Samarinda, Sabtu (15/11). Pergelaran itu terlaksana dengan biaya Rp 300 juta. Mungkin ada yang menilai jumlah tersebut sedikit atau malah cukup.

Nah, yang jelas, acara itu melibatkan sekitar 500 orang. Mereka terdiri atas penari, pemusik, penyanyi asal 12 dari 14 kabupaten dan kota, kelompok seni dan budaya, dan perwakilan etnis di Kaltim.

Uang tadi habis untuk sewa pelataran Gedung Olahraga Segiri, peralatan dan perlengkapan panggung pergelaran, transportasi, akomodasi, dan konsumsi peserta. Oleh sebab itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kaltim meniadakan promosi.

Pemberitaan di media massa atau di situs Disbudpar Kaltim serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) nihil. Hajatan besar seni dan budaya Kaltim itu ternyata tidak masuk dalam kalender tahunan Depbudpar.

Keinginan mendatangkan wisatawan mancanegara jadi sekadar keinginan. Tema besar Melalui Festival Kemilau Seni Budaya Benua Etam Kalimantan Timur Ikut Menyukseskan Visit Indonesia Year 2008 seperti pepatah jauh panggang dari api.

”Dengan dana yang amat terbatas, kami tidak leluasa,” kata Kepala Disbudpar Kaltim Firminus Kunum. Namun, acara tetap berjalan, the show must go on. Festival itu merupakan program pemerintah provinsi setiap tahun sejak tahun 2006.

Tidak mengherankan ketika kalangan wartawan tahu acara itu dari suatu spanduk di pelataran. Mungkin juga kebetulan tempat nongkrong mereka di warung di samping lapangan sehingga tahu apa saja yang akan terjadi di Segiri.

”Kayak apa mau begaung (bergaung), wal (teman), wartawan saja kada (tidak) tahu,” kata seorang rekan.

Pernyataan itu boleh jadi enteng, tetapi bermakna dalam. Bila wartawan tahu lebih awal, mereka mungkin memberitakan akan ada suatu festival. Kedua belah pihak sebenarnya untung. Wartawan mendapat bahan berita dan panitia sudah berpromosi.

Namun, hal kecil itu tidak dilakukan. Untuk itu, panitia jelas tidak mampu mengerjakan hal besar, seperti beriklan di koran, televisi, radio, dan internet. Dana tambahan padahal bisa didapat dari sponsor, seperti agen perjalanan wisata atau perusahaan, tetapi memang perlu lobi intensif dan meyakinkan.

Sayangnya, semua hal tersebut mental sebab persiapan ternyata kurang dari satu bulan. Oleh sebab itu, dimaklumi sajalah ketika sejumlah materi acara tahun ini tidak tampil seperti dua festival sebelumnya.

Dulu meriah

Dana untuk pementasan tahun lalu Rp 500 juta. Pergelaran tahun lalu berlangsung hari Kamis-Minggu atau 8-11 November 2007.

Pergelaran pertama dua tahun lalu bahkan menelan biaya Rp 1,6 miliar. Acara berlangsung pada Jumat-Minggu atau 8-10 Desember 2006. Waktu itu panitia sukses menggaet sponsor dari perusahaan minyak dan gas bumi serta batu bara.

Pementasan tahun ini berlangsung satu hari. Acara dimulai pukul 10.00 Wita dan berakhir pukul 23.00 Wita.

Di dua festival lalu ada lomba mendayung perahu atau jukung, parade busana, dan permainan tradisional. Yang terakhir ialah gasing, menombak, menyumpit, dan belogo.

Belogo adalah permainan di mana peserta berlomba menjatuhkan sasaran dengan gundu. Sasaran dan gundu berupa keping segitiga dari batok kelapa.

Nah, semua kegiatan tersebut ditiadakan tahun ini sebab dana terbatas dan persiapan minim.

Bila dibandingkan dari materi acara, dua pergelaran sebelumnya jelas lebih meriah dan bervariasi. Penonton dimanjakan dengan banyaknya acara yang tahun ini lenyap.

Pagi sampai malam

Festival tahun ini dibuka sekitar pukul 10.00 Wita dengan marching band siswa Sekolah Menengah Negeri 4 Samarinda. Barisan murid lalu diikuti parade tari dan atraksi. Setiap kabupaten/kota, perwakilan etnis, atau kelompok seni dan budaya diberi 5-10 menit mempertunjukkan kebolehan pada Sabtu yang lumayan terik itu.

Parade itu rupanya menarik warga pengendara sepeda motor yang kebetulan melintasi Jalan Kesuma Bangsa. Mereka berbelok sejenak dari jalan itu ke lapangan guna menikmati tari-tarian dan pelbagai atraksi. Acara yang tidak diikuti peserta dari Kabupaten Malinau dan Tana Tidung itu berakhir sekitar pukul 13.00 Wita.

Parade itu pun sebenarnya mengandung kelemahan. Dengan 5-10 menit, sulit bagi perwakilan daerah untuk menampilkan daya tarik tari atau atraksi. Oleh sebab itu, tarian yang disuguhkan seperti kehilangan energi.

Padahal, orang Dayak atau sebutan generik bagi penduduk asli Kalimantan memandang tarian bagian upacara adat dan kehidupan sehari-hari. Tarian adalah ekspresi gerak dinamis kehidupan spiritual dan penghormatan terhadap roh leluhur.

Tarian bukan sekadar untaian gerak, melainkan ekspresi kegembiraan, penghormatan, mensyukuri hasil panen melimpah, tamu yang datang, atau permohonan dilindungi dari pelbagai bencana. Terkadang daya magis kental terasa dengan nuansa mantra-mantra di dalam suatu tarian.

Mungkin itulah mengapa tarian Dayak tetap dinamis meski ritme musik agak monoton sebab diiringi bunyi minor sampe (semacam kecapi), kulintang, suling, dan gong. Nah, itu semua jelas sulit divisualkan dalam 5-10 menit.

Biar bagaimanapun, waktu yang menang. Mungkin bagi penonton dan panitia waktu 5-10 menit untuk setiap perwakilan sudah cukup. Setelah parade selesai, acara dihentikan dan dimulai pukul 20.00 Wita sampai pukul 23.00 Wita dengan lomba lagu dan musik tradisional.

Acara malam hari ditonton lebih banyak daripada siang hari. Ada penjual makanan dan minuman, komunitas akrobat sepeda gunung atau motor, dan orang pacaran.

Orang yang datang pada malam itu lebih banyak daripada dua festival sebelumnya. Mungkin itu terkait tempat pelaksanaan. Dua pergelaran sebelumnya berada di Kompleks Stadion Madya Sempaja, agak di pinggir kota.

Segiri di tengah kota memang ajang kumpul kaum muda setiap Sabtu malam. Kompleks stadion itu berada di pusat kota yang ramai lalu lalang kendaraan. Yang terjadi di sana selalu menarik perhatian. Konser musik, misalnya, selalu dipentaskan di pelataran Segiri.

Nah, bolehlah dikatakan di sinilah letak keunggulan festival tahun ini. Entah sengaja atau kebetulan acara dilaksanakan di pusat kota dan di akhir pekan.

Dengan dilaksanakan di pusat kota, siapa pun yang melintasi Segiri seakan tergoda untuk sekadar mampir lalu melihat festival. Selain itu, karena Sabtu libur, penonton atau hadirin jadi punya waktu untuk datang.

”Ternyata bagus,” kata Rifki Suhardi (19), yang datang bersama pacarnya pada Sabtu malam itu. Mahasiswa semester satu itu mengaku terkesan dengan lomba lagu dan musik. Padahal, awalnya mereka datang untuk nongkrong.

Wisatawannya mana? Mungkin ada di antara penonton Sabtu malam itu.

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Desember 2008

No comments: