Sunday, December 07, 2008

Pustaka: Membangun Melayu dengan Buku

-- Abdullah Khusairi

MALAM itu megah dan memukau. Sebuah pesta digelar. Enam buku karya anak negeri diluncurkan di hadapan seribuan hadirin. Mereka memang sedang membangun Melayu dengan buku.

Itulah malam Anugrah Sagang yang ditaja oleh Yayasan Sagang (Riau Pos Groups) di Ibis Hotel Pekanbaru, pertengahan bulan lalu. Acara rutin yang mempesona. Sebanyak 13 kategori anugrah diserahkan kepada lembaga dan persona yang layak menerimanya. Anugrah yang kini sangat tinggi marwahnya.

Tulisan ini tidak hendak melaporkan bagaimana acara rasa Melayu itu digelar, tetapi bagaimana bisa enam buku diluncurkan. Enam buku itu, Perjalanan Kelekatu (kumpulan sajak) karya Rida K Liamsi, Tamsil Syair Api (sajak pilihan Riau Pos 2008), Bulu Mata Susu (kumpulan puisi) karya Ramon Damora, Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Kumpulan Sajak Tempuling karya Rida K Liamsi, kritik sastra oleh UU Hamidy, Pipa Air Mata Kumpulan Cerpen Riau Pos 2008 dan Kampung Kusta (Kumpulan Karya Jurnalistik) Rida Award 2008. Semuanya diterbitkan oleh Yayasan Sagang. Yayasan yang didirikan Seniman Perdana Rida K Liamsi (CEO Riau Pos Groups).

Memang sulit melupakan sebuah pesta. Apalagi pesta dengan meluncurkan enam buku itu. Terasa ganjil. Banyak sekali buku diluncurkan, hal yang yang tentu saja teramat langka di negeri ini. Mengingat apa yang dikatakan Sastrawan Riau, Marhalim Zaini, negeri ini miskin ”pembaca serius”. Pembaca yang serius mencari makna dari apa yang dibacanya. Bukan sekedar makna harfiah Semata.

Seperti dikatakan Seno Gumira Ajidarma. Negeri kami, negeri orang yang membaca untuk tahu dimana tokoh sedang diskon, apa yang sedang trendy, apa yang harus demi sebuah gengsi? Agaknya, inilah kerja budaya yang sangat terpuji. Berani. Patut membuat iri.

Beberapa catatan dari peluncuran buku tersebut perlu diungkapkan. Pertama, semangat melayu terus berkobar dalam dada sebagai bentuk eksistensi budaya. Kedua, terbangunnya kesadaran akan pentingnya sebuah peradaban dan budaya dipertahankan di tengah gelombang globalitas yang terus mendera, mendekat, dan menyamun.

Ketiga, pengabdian kerja budaya tidak serta merta sebuah kesia-siaan, apalagi dicibirkan. Keempat, menghargai sastra adalah menghargai bahasa. Bahasalah yang menunjukkan bangsa. Kelima, berada di wilayah jiwa yang menyeimbangkan kehidupan yang terus mengagungkan logika oleh karenanya ia menjadi penting.

Adalah Yayasan Sagang yang menaungi penerbitan Majalah Budaya Bulanan Sagang, didirikan oleh Seniman Perdana Rida K Liamsi bersama sesepuh Budaya Melayu, Hasan Junus, kini kini diperhitungkan secara lokal dan nasional. Kecintaan terhadap sastra telah menggugah kemana mesti dibawa resam melayu yang sudah melahirkan bahasa Indonesia ini. Begitulah, akhirnya terungkap kemana perjalanan penerbitan dan kiprah dalam kerja budaya ini memiliki misi penting.

”Menuju sastra mazhab Riau," ungkap Rida K Liamsi dalam sambutannya malam itu. Tentu saja sebuah obsesi dari semangat: Hilang satu tumbuh seribu, tak kan hilang melayu di bumi.

Perjalanan Kelekatu

Ada tiga buku yang bisa dideahkan pada kesempatan ini. Yaitu, Perjalanan Kelekatu, Tamsil Syair Api dan Pipa Air Mata. Empat buku lain, pada lain kesempatan tentu akan dibahas pula.

Perjalanan Kelekatu melengkapi karya sebelumnya dari Rida K Liamsi, Kumpulan Sajak Tempuling dan Novel Bulang Cahaya. Dua karya selalu yang kental membawa darah melayu ke dalam dunia sastra. Kini ia menjadi melengkapi khazanah bacaan tentang dunia Melayu.

Pertanyaannya sederhana ada apa dengan hewan bernama kelekatu itu? Sebenarnya, Rida K Liamsi kembali meminjam kearifan alam. Setelah memakain personifikasi Tempuling, benda tajam yang menjadi senjata dalam berburu ikan. Kali ini ia memakai kelekatu. Sejenis serangga yang selalu mencari cahaya pada malam hari. Tetapi setelah beradu dengan cahaya lalu jatuh dan mati. Itulah kehidupan manusia.

Terdapat 28 sajak dengan beragam pesona dalam alam melayu. Namun dari beberapa sajak itu, salah satu sajak dengan tajuk Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari. Dimana ia setarikan napas dengan semangat kelekatu. Jika Kelekatu mencari dan mencari, sedangkan Kedidi pergi dan pergi. Berlari dan berlari. Ia burung kecil yang selalu cepat pergi. Dua puisi ini sangat seksi karena ia mewakili pemikiran tentang kehidupan dan universalitas. Hidup, mati, pertemuan dan perpisahan.

Tamsil Syair Api

Hari B Koriun, redaktur budaya Riau Pos dan editor dalam beberapa buku, memaparkan gairah penulisan di Riau dan serbuan dari daerah lain menandakan lahirnya generasi baru dalam dunia penulisan.

Namun ia resah, betapa banyak penulis yang membutuhkan kematangan. Proses panjang dan harus mau belajar terus menerus, jika hendak terus bergerak mencapai puncak penulisan.

Ada 19 penyair lintas generasi mengisi buku dengan tebal 110 halaman ini. Mereka berada di generasi baru ada Alvi Puspita dan Wetry Febrina. Sedangkan mereka yang sudah tunak makan asam dunia kepenulisan, Fakhrunnas MA Jabbar, Marhalim Zaini, Budi Utamy, Mila Duchlun. Lalu ada generasi perantara, M Badri, Sobirin Zaini, Isbedy Stiawan ZS, Pandappotan MT Siallagan, Dian Han rtati, Jefry al Malay, Murpasulian, Ramon Damora, Yose Rizal Zen, Esha Tegar Putra, Dhien Surindah.

Beragam gaya dan estetika dalam Tamsil Syair Api, merupakan hal yang lumrah tentunya. Dikatakan Hari B Koriun, inilah dinamika kepenyairan yang terbingkai sepanjang Oktober 2007-September 2008.

Pipa Air Mata

Meneruskan kehadiran kumpulan cerpen Keranda Jenazah Ayah (2007), Jalan Pulang (2006), Tafsir Luka (2005), kehadiran Pipa Air Mata kembali menempatkan karya-karya terpilih yang karya dari cerpenis-cerpenis ternama dengan lintas generasi yang makin sempit.

Ada Deddy Arsya dengan Kurir Peluru, Pil Kadal Edi Akhmad RM, Fakhrunnas MA Jabbar dengan Kiamat Kecil di Sempadan Pulau, Simpul oleh Fariz Ihsan Putra, Sejarah Sungai Sedarah, Gde Agung Lontar, Dikir oleh Joni Lis Efendi, Pipa Air Mata M Badri, Menjadi Kutu Moh Amin MS, Anggang dari Laut Pinto Anugrah, Jalan Sumur Mati Olyrinson, Hujan dan pertemuan Pandapotan MT Siallagan, Bakau Sungai Tanjung Sobirin Zaini, Lelaki itu Bernama Tirus Sultan Yohana dan Teman Kecil Yetti A KA.

Buku ini mengambil judul dari cerpen M Badri. Yang mengisahkan sangat kuat mengisahkan kaum kecil yang tergerus oleh kepentingan kapitalis. Dimana pemaksaan atas nama kekuasaan dan penganiayaan menjadi halal karena kerakusan orang-orang yang pyunya kekuatan lebih.

Sebuah ironi yang selalu datang ditulis dengan segala format katarsis. Tete air mata dari sebuah pipa sudah sangat mewakili perih kaum kecil. Begitulah tiga buku dari empat yang diluncurkan. Menjadi titik sejarah yang tak akan dilupakan bagi para penulis. Dimana Riau Pos Group, Majalah Budaya Bulanan Sagang, kini sudah menjadi panggung tempat tampilnya karya-karya terbaru dari para penulis. Tidak melulu harus menembus pengakuan media Jakarta yang angkuh di sana. Dan panggung ini tak perlu diragukan lagi marwahnya. [abdullah khusairi]

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 30 November 2008

No comments: