Thursday, December 11, 2008

Kongres Kebudayaan Indonesia 2008: Definisi tentang Film Tak Pernah Tercapai

[BOGOR] Pembahasan mengenai film Indonesia tidak pernah sampai pada definisi. Dari berbagai diskusi, seminar, dan semua bentuk pembahasan, definisi film yang baik seperti apa, tidak pernah tercapai.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie (kanan), bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik (kedua dari kiri), memukul gendang menandai pembukaan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 di Hotel Salak, Bogor, Rabu (10/12). (SP/Charles Ulag)

"Kita cenderung membicarakan dan mendiskusikan sesuatu hal tanpa sampai pada definisi. Tidak hanya tentang film, tetapi juga bidang-bidang lainnya," kata penulis dan praktisi perfilman Indonesia, Arswendo Atmowiloto.

Dia mengatakan hal itu dalam satu kelas diskusi yang merupakan bagian dari Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2008 di Bogor, Jabar, 10 hingga 12 Desember dan dibuka Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Dalam kelas diskusi itu, selain dirinya, juga hadir pembicara lainnya yang merupakan praktisi dan pemerhati perfilman Indonesia, yakni Jajang C. Noer, Johan Tjasmadi, dan Hj Titie Said dengan moderator Ratna Riantiarno. Tak pelak, kelas diskusi ini menjadi sesi paling ramai peserta dibandingkan beberapa kelas diskusi KKI yang digelar pada hari pertama.

Menurut Arswendo, kendati belum mendapatkan definisi film Indonesia yang baik itu seperti apa, tetapi industri film Indonesia mengenal tiga jenis film. Tiga jenis film itu, yakni pertama, film yang berorientasi pasar. Film berorientasi demikian, lanjutnya, selain biasanya memajang aktor dan aktris populer, juga memakai judul film yang "mengundang" dan "syur", seperti Mas Suka Masukin Saja Besar Kecil Its Ok, Anda Puas Saya Loyo, dan sebagainya. Jenis film ini memang mengejar komersial dibanding alasan lain.

Kedua, film dengan pendekatan prestasi. Orientasi prestasi ini menekankan pada penyampaian artistik mulai dari pemilihan tema cerita, artis, penggarapan, pengadegan, pemeranan, dan irama alur cerita. Contoh film jenis ini adalah yang sering disebut masyarakat sebagai film festival dan nama sutradaranya juga sering disebut-sebut sebagai pernah mengikuti festival film baik dalam dan luar negeri seperti misalnya, Garin Nugroho dan Riri Reza.

Jenis film ketiga adalah film yang menggunakan pendekatan pribadi yang unsur subjektivitasnya lebih menonjol. Karena menggunakan pendekatan yang sangat subjektif, tentu saja penggarapannya juga sesuai selera pembuatnya, dari pemilihan tema cerita, susunan pemain dan sebagainya. Contoh film jenis ini adalah film Mereka Bilang Saya Monyet, Djenar Maesa Ayu dan Cinta Setaman, Harry Dagoe S.

Arswendo juga menyoroti bahwa industri film di Indonesia, tidak pernah bisa memberi data valid berkaitan dengan jumlah penonton. "Kita tidak pernah tahu, berapa pastinya penonton film Indonesia. Padahal, yang namanya industri harus ada data-data valid yang bisa digunakan untuk membandingkan. Karena itu, antara lain, definisi film Indonesia yang baik yang seperti apa, tidak pernah tercapai," ujarnya.

Mengejar Komersial


Sementara itu, Jajang C. Noer mengatakan bahwa film-film Indonesia yang beredar sekarang, baik layar kaca maupun bioskop, banyak yang dibuat karena mengekor atau meniru dari film-film yang pernah laris dan mengumpulkan uang banyak. Hal-hal lain yang juga diacuhkan atas nama kepentingan mengejar komersial, adalah nalar dalam menggarap film dan memilih pemainnya.

Karena itu, menurutnya, harus ada keberanian untuk tidak menghiraukan apa yang dipikirkan pasar dan dinyatakan rating.

Sedangkan, Johan Tjasmadi mengatakan bahwa keunikan sebuah film adalah karena dilihat dalam dua sisi, yakni negatif dan positif. Kendati demikian, berdasarkan Undang-Undang Perfilman No.8 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1, film dinyatakan sebagai produk budaya bangsa. Menurutnya, sebagai produk budaya, sah juga kalau mempertimbangkan nilai komersial.

Produk budaya dan nilai komersial, juga diutarakan Jero Wacik saat membuka KKI 2008. KKI yang dihadiri 500-an budayawan Indonesia itu. Menurutnya, sudah saatnya menempatkan produk budaya sebagai mata uang baru untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia, yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya dan warisan budaya, serta lingkungan. [N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 11 Desember 2008

2 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Lapindo saja yang harusnya menjadi prioritas malah dihiraukan oleh pemerintah, apa lagi film?

cheers,
http://filmindonesia.blogsome.com/