Friday, December 12, 2008

Kongres Kebudayaan Indonesia 2008: Perkembangan Teknologi Pengaruhi Kebudayaan

[BOGOR] Perkembangan teknologi tak pelak juga memengaruhi kebudayaan. Kebudayaan dan industrinya tertuang antara lain melalui pasar maya. Sejak internet begitu mudah diakses, maka beberapa pelaku industri budaya memercayakan proses industri seperti produksi, promosi, distribusi, dan transaksi melalui jalur maya ini. Sesuatu yang disebut sebagai e-marketing.

Djenar Maesa Ayu (SP/Alex Suban)

Demikian, dikatakan Bambang Tri Rahadian S Sn (Beng Rahadian) dalam forum diskusi subtema Ekonomi Kreatif (Industri Budaya), sebagai bagian dari Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2008 yang berlangsung di Bogor, Jabar, Kamis (11/12).

Menurutnya, selain mudah dalam sistem operasional, kelebihan internet adalah kemampuannya berinteraksi dan menjangkau audiens yang luas, dalam biaya yang tidak besar.

"Namun, persoalannya adalah bagaimana internet sebagai medium yang ringkih, maya, dan cenderung anonim, dapat menopang industri kebudayaan yang konservatif terhadap identitas. Teknologi internet sangat rentan oleh kerusakan sistem peranti lunak seperti virus dan aksi hacking. Sementara itu, dalam pandangan budaya, internet juga rentan terhadap penguapan identitas. Padahal, identitas adalah satu-satunya kepentingan kebudayaan untuk bertahan dalam industri berbasis internet," paparnya.

Produk budaya yang menggunakan benda atau jasa internet ini, menurut Prof DR Edi Sedyawati, dalam kesempatan yang sama, merupakan bagian dari industri budaya. Permasalahan industri budaya ini antara lain berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual. "Karena melalui jasa peranti lunak, penggandaan atas suatu karya, bisa terjadi," katanya.

Menurutnya, terjadinya penggandaan atas suatu karya itu dikarenakan sebuah hasil budaya, yang biasanya berupa karya seni, peruntukannya memang untuk dinikmati secara estetik, bahan informasi dan pendukung atau pembujukan. Budaya dan teknologi, juga merupakan bagian dari pengaruh budaya global.

Invasi

Sedangkan pada forum diskusi tentang sastra yang juga bagian dari KKI, menurut penulis Djenar Maesa Ayu, kita tidak bisa membendung invasi kebudayaan global. Kebudayaan global, datang dan memengaruhi kebudayaan lokal kita, antara lain akibat dari kemajuan telekomunikasi dan asas pasar bebas. "Namun, yang patut kita sadari, pada awalnya semua kebudayaan adalah lokal," ucapnya.

Menurutnya, perkembangan sebuah budaya tak ubahnya perjalanan waktu. Tidak pernah berhenti walau dalam bentuk benih-benih lemah yang tak kuat melawan pergantian zaman. Budaya juga tumbuh dalam suatu komunitas. Dalih untuk melindungi kebudayaan, seharusnya tidak membuat kita kurang berani mengizin kebudayaan untuk mencari bentuk pembaruan. Karenanya, penulis novel itu melanjutkan, kita tidak perlu gentar menghadapi budaya global, justru kita harus merangkumnya.

Katanya, keberhasilan menghimpun keragaman budaya akan membangun sebuah visi keragaman budaya sebuah bangsa. Akan tetapi, memunculkan visi ini ke panggung kebudayaan dunia, dibutuhkan kerangka kerja yang konsisten dalam kurun waktu yang terjangka.

Sedangkan pada kesempatan forum diskusi lainnya yang membahas tentang Etika Budaya, Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ menyoroti bahwa budaya global yang merupakan bagian dari modernitas telah mengguncangkan norma-norma moral yang ada di dalam berbagai kelompok budaya. "Setiap kelompok budaya memiliki norma-norma moral yang berbeda. Perbedaan ini terkadang cukup besar meskipun dalam dasar moralitas, umat manusia bersatu pandangannya. Modernitas mengguncangkan itu dan secara keras merampungkan sebuah proses yang sebenarnya sudah dimulai oleh agama-agama besar, yaitu proses diferensiasi wilayah-wilayah publik. Karenanya, yang penting adalah pemisahan antara urusan privat dan publik," urainya.

Indonesia, katanya, sedang berada di tengah-tengah sebuah proses transformasi sosial yang amat radikal. Hanya dalam waktu beberapa tahun, suatu masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat modern. Modern yang dalam arti negatif, yakni rusaknya tatanan budaya tradisonal. [N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 12 Desember 2008

No comments: