Sunday, December 15, 2013

Mengaksarakan Emosi dan Perasaan

-- Junaidi Khab

SUATU emosi ataupun perasaan sangat sulit untuk kita kendalikan. Jika kita kalah dengan eksistensi emosi yang menguasai jiwa dan perasaan, maka kekalutan hidup akan datang silih-berganti dan tumpang-tindih. Sehingga rasa galau dan tak menantu menjalani hidup ini tak karuan. Memang banyak yang mencari solusi untuk meredam dan menaklukkan emosi atau perasaan  yang membara dalam jiwa seseorang. Namun dari sekian banyak cara dan metode belum maksimal juga belum menunjukkan angka keberhasilannya dalam membungkam emosi dan perasaan yang membuncah luar biasa.

Hal ini yang menjadi keprihatinan kita bersama. Dimana ketika emosi tak ada lagi tempat untuk menumpahkannya, maka berbagai perilaku dan tindakan yang menyimpang dan tak diinginkan akan datang. Itu tak lain demi membungkam emosi yang sudah meluap. Sehingga tak mengherankan jika banyak terjadi kekacauan seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, pencurian, dan berbagai macam kekerasan yang lainnya. Itu tak lain merupakan bentuk ungkapan perasaan yang membuncah menjadi emosi yang tidak bisa dikendalikan sehingga arahnya menuju pada hal-hal yang destruktif.

Melihat kejadian dan fenomena demikian, kita hanya saling tuding-menuding dan saling menyalahkan. Kita selalu memandang sebelah mata jika kejadian-kejadian yang tidak kita inginkan terjadi. Saling memojokkan dan membungkam pelaku. Sehingga keadaan semakin rumit dan lebih parah lagi. Hal-hal demikian membutuhkan solusi yang ampuh dan cara yang jitu untuk mengatasinya. Perilaku tersebut juga bisa disebut sebagai keambrukan nilai karakter dan menghilangnya moral akibat emosi yang meluap tak terkendalikan.

Sebenarnya banyak cara yang dapat kita lakukan guna mengendalikan emosi dan perasaan yang membuncah tinggi. Emosi yang membuncah bisa dikenadlikan dengan baik dengan melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan kemasyarakatan, dan berbuat baik dalam lingkungan sosial. Ada pula yang menyarankan agar memperbanyak membaca al-Quran dan mengingat nama Tuhan dengan cara berdzikir yang dianjurkan tokoh-tokoh tarekat dan ilmu kejiwaan. Selain itu yang sangat ampuh dengan berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari serta mengaksarakan perasaan dalam bentuk tulisan.

Sastra: Cerpen dan Puisi
Meredam emosi dan perasaan yang membuncah menjadi tujuan dan hasrat tiap-tiap jiwa yang mengalaminya. Namun tak ada daya, upaya untuk meredam emosi dan perasaan yang membuncah itu terkadang membawa kita pada bencana serta hal-hal yang menjadikan pikiran galau dan perasaan tidak menentu. Akibat emosi itu masyarkat tidak memiliki moral dan humanisme yang tinggi. Sehingga tak ayal emosi yang tak tersalurkan dengan baik menjadi biang kerok dari berbagai kerusuhan.

Sebenarnya untuk meredam emosi dan perasaan yang membuncah itu sangat mudah dan ringan. Tetapi juga butuh keseriusan dan usaha yang sungguh-sungguh. Karena kadang-kadang masyarakat ingin menepis emosi dan perasaan yang membuncah tapi tak ada usaha yang serius. Salah satu alternatif untuk menepis emosi dan perasaan yang membuncah yaitu dengan mengaksarakannya dalam bentuk tulisan. Baik berupa cerpen maupun puisi. Dalam hal ini, kita diajak sedikit melirik dunia sastra melalui cerpen dan puisi sebagai bentuk dari emosi dan perasaan yang sedang bergejolak.

William Henry Hudson (dalam Agus Wibowo, 2013:61) menyatakan dalam bukunya (Introduction to the Study of Literature, 1960) bahwa idealnya sastra senantiasa menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Hal ini lantaran anasir-anasir yang dicipta, bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan ruhani manusia. Menurut Henry, sastra lewat cara dan bentuknya menjelma memberi kenikmatan batiniah, melalui olah rasa, cipta, dan karya indah di dalam sanubari setiap insan. Sastra lewat kelembutan dan kehalusannya, mampu membangkitkan emosi lahir sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta terhadap keindahan.

Metode semacam ini sudah dilakukan oleh masyarakat terdahulu. Selain emosi dan perasaan bisa ditepis serta diarahkan pada hal-hal yang lebih bermakna positif, mengaksarakan emosi dan perasaan dalam bentuk tulisan yang berupa karya sastra juga memberikan nilai dan pesan kearifan yang mulia bagi penulis dan pembacanya. Segala bentuk emosi dan perasaan akan lenyap berbaur dengan tiap-tiap aksara yang dituangkan melalui karya sastra tersebut.

Untuk menepis emosi dan perasaan tidak hanya bisa ditepis dengan menulis atau mengaksarakannya dalam bentuk cerpen dan puisi saja. Akan tetapi, pada hakikatnya juga emosi dan perasaan bisa ditepis dengan mengaksarakannya pada selain cerpen dan puisi. Yaitu melalui berbagai perangkaian aksara dan huruf sesuai dengan apa yang dirasakan oleh yang bersangkutan. Begitu kiranya yang sering dilakukan oleh para penyair dan sastrawan terkemuka pada saat ini serta masa dahulu.

Maka dari itu, cara termudah dengan bekal pena, buku, laptop, koputer, atau hal-hal lainnya emosi akan segera reda dan perasaan akan kembali normal sebagaimana biasanya. Namun, mengaksarakan emosi dan perasaan harus benar-benar merupakan menjadi komitmen dan keinginan pribadi sendiri untuk menemukan kedamaian dan ketenteraman jiwa yang sedang rapuh. Keampuhan komitmen sangat dibutuhkan untuk mengikat aksara guna menyusun emosi dan merangkai perasaan agar kembali berjalan normal sebagaimana biasa.

Mari kita luapkan emosi dan perasaan lewat aksara-aksara yang berupa model karya sastra seperti cerpen dan puisi guna mencegah bentuk pelampiasan emosi dan perasaan yang mengarah pada hal-hal yang berbau negatif dan tidak humanis. Dengan mengaksarakan emosi dan perasaan ke dalam bentuk karya sastra yang berupa cerpen, puisi, atau sejenisnya akan memperhalus, mengelastiskan, dan melembutkan segala bentuk luapan emosi dan perasaan menjadi hal yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Junaidi Khab, bergiat di Komunitas Sastra UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 Desember 2013

No comments: