Sunday, December 08, 2013

Sebuah Catatan, Lomba Cerpen DKR 2013

-- Gde Agung Lontar

SETELAH beberapa tahun sepi dari perhelatan lomba, maka pada  tahun ini, Dewan Kesenian Riau (DKR) kembali menaja Lomba Menulis  Cerpen DKR 2013 dan beberapa kegiatan kreatif lainnya. Kegiatan-kegiatan yang digelar DKR ini tentu menjadi torehan penting dalam kegiatan kebudayaan, khususnya kreativitas sastra di Riau. Namun, dalam beberapa hal diberi catatan, paling tidak dalam hal lomba cerpen.

Lomba Menulis Cerpen DKR kali ini menyertakan 23 cerpen, termasuk satu didiskualifikasi karena tidak memenuhi persyaratan jumlah halaman minimal. Jumlah ini terbilang sangat sedikit bila merujuk kualifikasi DKR dan Riau sendiri yang sejak lama ditabalkan sebagai ‘’Negeri Kata-kata’’ atau ‘’Negeri Sahibul Kitab’’ karena kegiatan kesusastraan yang begitu kuat mengakar.

Oleh karena itu dewan juri tak dapat menyembunyikkan rasa ‘’kecewa’’ sekaligus masygul atas kenyataan ini. Dewan juri kurang tahu secara pasti apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Apakah karena minat kesastraan, khususnya menulis cerpen, sudah mulai turun ke titik nadir di masyarakat kita? Ataukah pesan-pesan tentang adanya perlombaan ini yang kurang tersampaikan secara luas? Semoga ini menjadi pengetahuan dan pembelajaran bagi kita semua ke depannya, bila tetap ingin menjulang ‘’cita-cita’’ tentang ‘’Mazhab Riau’’ yang dikumandangkan di masa lalu.

Kegundahan dewan juri yang terdiri dari Fakhrunnas MA Jabbar, Abel Tasman dan Gde Agung Lontar tidak hanya sampai di situ. Mayoritas cerpen yang masuk, kualitas kebahasaannya tergolong payah. Hanya ada beberapa cerpen saja yang memenuhi kriteria kebahasaan sebagaimana penyakit dalam cerpen Indonesia yang disinyalir oleh Sutardji Calzoum Bachri (SCB) di dalam artikel ‘’Beberapa Penyakit dalam Cerpen Indonesia’’, dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir, 1983.

Bilamana Dewan Juri ingin menerapkan kriteria yang ketat tentang kebahasaaan saja -misalnya menggunakan dalil bahwa  bahasa adalah kendaraan utama sastra- maka bisa jadi tidak akan ada pemenang utama. Namun, Dewan Juri bersikap lain dengan mempertimbangkan beberapa hal agar perhelatan yang baru saja dihidupkan kembali ini dapat menjadi arena pendidikan sekaligus motivasi yang menggugah. Dalam konteks ini, Dewan Juri menyarankan apabila kelak naskah para pemenang ini naik cetak (dibukukan), maka mutlak perlu dilakukan penyuntingan bahasa agar dapat tampil sempurna. 

Setelah Dewan Juri menyimak seluruh naskah yang masuk dengan seksama dan sungguh-sungguh, yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan perdebatan, akhirnya Dewan Juri menetapkan cerpen berjudul ‘’Ilang Wayak Tanah Merah’’ sebagai peraih prediket Juara pertama. Sebagaimana beberapa cerpen pemenang lainnya, judul yang menarik yang disandang cerpen ini mendapat nilai plus; meski tentu bukan yang utama. Nilai lokalitas (local content) berupa unsur ke-melayu-an, yang menjadi salah satu ketentuan utama, muncul kuat di dalam cerpen ini. Cerpen ini mengisahkan tentang sebuah kelompok sandiwara Mak Yong di Tanah Merah, sebuah desa di Rokan Hilir. Gagasan mengangkat sandiwara tradisional sebagai local content memberikan nilai lebih tersendiri, yang kemudian dipadu dengan alur konflik persaingan, fitnah, perjuangan, dan pembelajaran. Meskipun menurut sebagian juri tema ini kurang terelaborasi secara optimal, namun penulis cukup mampu menyusun alur dengan konflik dan ending yang diharap dapat memberikan pencerahan.

Adapun cerpen Juara kedua, ‘’Selingkuh dan Kematian yang Ditunggu’’, sesungguhnya kuat dari segi kesastraan, namun sayang,  unsur ke-melayu-annya dirasakan tipis sekali. Cerpen ini cukup kaya dengan majas, frasa, dan kalimat yang menjunjung licentia poetica dan alur yang dibentang meskipun terasa bergerak perlahan, tetapi irama itu justru cukup mampu menonjolkan suasana konflik kebatinan dalam tema perselingkuhan, perasaan bersalah, serta bagaimana si tokoh mencoba mencari jalan keluar dari konflik yang merajam dirinya seperti bara dalam sekam itu. Dari segi kebahasaan pun cerpen ini termasuk mendekati keriteria ‘’baik dan benar’’ itu, sehingga dari nominasi yang ada, hal ini menjadi nilai tambah tersendiri.

Cerpen Juara ketiga berjudul ‘’Kompang Emak’’ yang mencoba mengangkat nilai tradisi melalui alat musik kompang sebagai local content dan alur cerita mengenai pembunuhan yang terkesan absurd. Cerpen ini cukup berhasil menelusuri beberapa detail, serta menyediakan regangan menjelang klimaks yang cukup mengejutkan sebagai ending; yang kalau salah-salah baca malah bisa dianggap sebagai tidak konsisten. Bahkan ending-nya terkesan menggantung, tidak ada jawaban yang pasti tentang apa dan kenapa hal itu terjadi sebagaiana ciri-ciri absurditas. Pilihan seperti ini tentu tidak terlarang, bahkan dapat menjadi nilai plus pada sebuah cerpen (terutama yang berbau detektif); namun tentu harus ada konsistensi yang kuat secara keseluruhan. Sayangnya opening cerpen ini agak kurang mendukung. Namun sebagai satu kesatuan, masih boleh dirasakan utuh.

Peringkat keempat Dewan Juri akhirnya memilih ‘’Pekasam dari Lubuk Tilan’’, sementara ‘’Nasi Sojuk’’ menempati urutan kelima. Kedua cerpen ini memang sempat menjadi perdebatan di antara dewan juri oleh karena secara penilaian kuantitatif memperoleh nilai  sama. Dewan juri akhirnya menempatkan ‘’Pekasam ....’’ lebih dulu daripada ‘’Nasi ....’’ dengan pertimbangan unsur ke-melayu-annya yang lebih kental hampir di sekujur tubuh cerpen. Kenyataan ini memunculkan segi negatifnya karena penggunaan kosakata-kosakata bahasa lokal yang terlalu dominan sehingga bakal sulit difahami oleh pembaca di luar wilayah budaya (sub-kultur) cerpen ini. Nilai plus lain pada cerpen ini cukup mampu mengangkat tema dongeng atau semacam cerita rakyat (folklore) ke dalam cerpen; barangkali sebuah keberanian yang patut dipuji. Suasana yang diinginkan penulis pun nampaknya cukup berhasil dibangun di dalam cerpen ini. Dalam pandangan salah seorang juri, kalau saja si penulis mampu menulis cerpen ini lebih baik lagi, bukan tidak mungkin cerpen ini akan menerobos tiga besar di atas.

Terakhir, di peringkat keenam adalah cerpen ‘’Mauradilam’’. Mauradilam di dalam cerpen itu adalah nama sebuah desa yang letaknya terpencil, yang konon hanya muncul ‘’di dalam peta’’ setiap lima tahun sekali ketika dilaksanakan perhelatan pemilu atau semacam itu. Dalam cerpen ini terlihat penulis kurang ketat dalam mengangkat tema, ada beberapa pencabangan yang kurang jelas, bahkan ending yang terasa seperti agak melenceng dari alur awal dan tengah. Alur cerita  terasa kurang padu. Inilah barangkali juga salah satu penyakit yang disampaikan SCB di atas, yaitu kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide-ide, hal-hal, peristiwa-peristiwa, dan kehidupan dalam sebuah cerpen. Seolah-olah cerpen adalah sebuah novel yang dipadatkan. Cerpen adalah jenis makhluk sastra tersendiri, yang bukan novel apalagi roman. Oleh karena bentuknya yang ringkas, cerpen perlu fokus, mencegah adanya pencabangan, dan tidak mubazir dengan kata-kata. Hal yang menjadikan kelebihan cerpen ini atas cerpen-cerpen tak terpilih lainnya adalah unsur ke-melayu-an yang muncul cukup menonjol, kebahasaan yang lumayan rapi dengan sedikit sentuhan kejenakaan, tema utama yang sebenarnya sudah cukup banyak diolah namun di sini dibentang cukup unik.

Keenam cerpen inilah yang akhirnya -dengan segala kelapangan  hati- telah dipilih oleh dewan juri untuk menjadi pemenang pada Lomba Menulis Cerpen DKR tahun ini. Cerpen-cerpen yang tidak terpilih, sebagian meskipun memiliki nilai kesastraan namun tidak terbaca unsur ke-melayu-an sama sekali, sebagian lagi lemah dalam paparan kebahasaan -apalagi kesastraan, dan sebagian besar lainnya kalau dibongkar dalam pola strukturalisme akan pecah berkeping-keping.

Terakhir, sebagai catatan penutup dari dewan juri, mengutip pembelajaran yang disampaikan oleh SCB lagi, dua lagi penyakit cerpen Indonesia menurutnya adalah: abstraksi dan kurangnya disiplin. Adanya kecenderungan sebagian penulis untuk menuliskan yang abstrak secara abstrak pula; sehingga nyaris menjadi pelajaran filsafat. Menurut SCB, cerpen yang baik adalah mengongkretkan yang abstrak. Ada beberapa cerpen dalam lomba ini yang mendekati kenyataan demikian. Kemudian, masalah kurangnya disiplin dalam menulis, agaknya menyerang hampir seluruh peserta kali ini. Dalam bidang apa pun, kedisiplinan adalah salah satu penyokong utama untuk mendapatkan keberhasilan. Dalam bidang seni sastra pun demikian.

Selamat kepada para pemenang semoga terus meningkatkan kualitas diri dalam menulis cerpen. Sedangkan bagi peserta yang belum berhasil meraih keberhasilan, jangan putus asa dan terus pula mengasah diri dengan berkarya sambil belajar dari cerpen-cerpen yang sudah mapan. n

Gde Agung Lontar, sastrawan Riau yang telah banyak menghasilkan karya, salah satunya novel. Baru-baru ini bersama dua sastrawan Riau lainnya, Fakhrunnas MA Jabbar serta Abel Tasman dipercaya sebagai dewan juri Lomba Cerpen DKR 2013.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 Desember 2013

No comments: