-- Rohyati Sofjan*
SEBUAHsurat elektronik (surel) masuk ke dalam inbox saya. Surel yang ditujukan untuk beberapa orang selain disebarkan ke milis. Judulnya saja sudah provokatif: "Dunia Pengarang adalah Dunia yang Egois", apalagi isinya.
Rekan penulis surel itu dari Padang, Sayyid Madany Syani. Ia mengomentari acara temu-temuan atau pesta sastra yang menurutnya "mubazir". Ia justru membidik, katakanlah memaparkan secara argumentatif tentang peran pengarang/ sastrawan/penyair dalam mengakrabkan pendidikan sastra di tingkat dasar sampai menengah yang dianggapnya lengah.
Surel itu membuat saya selaku orang awam bingung, ada kebenaran dari peryataannya. Meski, sejujurnya saya merupakan orang pinggiran yang tak tahu menahu soal temu-temuan apalagi pesta-pestaan sastrawan.
Namun saya tertarik pada substansinya, tergerak untuk menanggapi secara everyone. Intinya, meski bingung, saya sepaham dengan Sayyid sebab sudah cukup kenyang dijejali kabar mengenai klik-klikan antarkubu pegiat sastra. Kesannya, sastra itu "menyeramkan". Membuat saya tidak tahu harus berada di posisi mana. Posisi kaum muda demi solidaritas antarkawan, posisi kaum tua karena menghargai proses tanpa niat melakukan kultus individu, atau posisi netral saja karena saya masih suka ke sana-kemari dan tak ingin memihak namun juga tak suka jika mandek di tempat.
Betul, kehidupan sesungguhnya tak melulu hitam-putih. Ada wilayah abu-abu yang lebih menantang. Daripada terlibat konflik, mending selaku orang awam yang ingin menikmati sastra namun tak mengasingkan diri dari pergaulan sekitar, baik tua-muda, sekuler-Islami; saya memilih tak berpihak pada pegiat sastra melainkan pada sastra itu sendiri. Dan itu bukan hal mudah sebab eksistensi sastra tak bisa dilepaskan dari pegiatnya. Namun haruskah klik-klikan itu menjadi sesuatu yang abadi dalam sejarah pergerakan sastra Indonesia?
Sebagai penanda bahwa sastra memang harus begitu, demi cemin kehidupan yang tak jauh beda? Bahwa klik-klikan atau acara temu-temuan itu hal biasa sebab telah mencontoh kaum pendahulu sebelumnya, sepanjang sejarah sastra yang kita ketahui dari angkatan Pujangga Lama, Pujangga Baru, sampai masa sekarang?
Sebagaimana halnya opini berbuah opini juga. Tanggapan saya ditanggapi seorang rekan penulis lain. Ia beranggapan secara pribadi dan didukung dua kawannya bahwa Sayyid terlalu menuntut banyak agar kaum sastrawan sesuai konsepsi ideal. Menurutnya, kaum sastrawan/pengarang/penulis banyak yang hidupnya kacau jadi jangan berharap terlalu banyak. Pun, sangat tidak adil jika kaum guru dipersalahkan dalam kegagalan sistem pendidikan bahasa Indonesia jika anak didiknya saja malas belajar dan meremehkan mapel itu. Belum lagi sistem pendidikan yang ada sekarang sangat tidak kondusif, sehingga wajar jika dalam UAN kemarin banyak siswa yang tidak lulus gara-gara nilai bahasa Indonesianya terjegal.
Baiklah, melihat gelagat semacam itu yang cuma bikin saya tambah bingung, bagaimana jika persoalan siapa yang jadi kambing hitamnya dialihkan pada hal lain. Daripada bangsa kita dianggap bangsa kambing karena suka saling tuding.
Saya mengandaikan agar mapel bahasa Indonesia dirombak total. Antara bahasa dan sastra merupakan dua mapel berbeda. Dan itu dilakukan sejak tingkat dasar. Dari SD sampai sekolah menengah. Agar sastra menjadi sesuatu yang akrab dalam kehidupan bangsa Indonesia. Begitu pun cakupan tata bahasa tidak diulang melulu. Padahal, sebagai miliser guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM), saya merasakan betapa dinamisnya ilmu tata bahasa itu.
Ya, andai saja pelajar kita sudah akrab dengan sastra sejak dini, mereka bisa lebih termotivasi menjalani kehidupan dan kaya imajinasi. Tentunya mapel sastra yang asyik bukan melulu hafalan atau pengajaran teks "asing" berulang-ulang tanpa pernah dibacanya. Semacam teori kosong yang cuma harus diingat tanpa dipahami benar intisarinya, apalagi bersentuhan dengan sumber aslinya.
Lalu tata bahasa, mengapa orang bisa berbahasa Indonesia tanpa paham kaidahnya (apalagi makna), malah sering menyalahi kaidah? Ada semacam kegagalan kurikulum, seolah-olah mapel tata bahasa merupakan perulangan membosankan. Hal yang sudah diajarkan sejak SD atau SMP malah diulang kala SMA. Kalau sudah demikian, bagaimana pelaku kebahasaan sendiri bisa menghargai bahasa yang dituturkan? Seolah-olah ilmu-tata-bahasa-itu-sempit-banget-dan-tak-asyik.
Sandra, anak tetangga sebelah yang baru lulus SMK, sependapat agar mapel sastra dan tata bahasa Indonesia dipisahkan saja. Gadis cantik itu memang cukup pintar dan tak mengalami kesulitan dalam UAN kemarin, mengingat perjuangan kedua orang tuanya yang harus banting tulang membiayai sekolah dua anak saja sudah cukup berat. Apalagi biaya sekolah Sandra sendiri, sudah jauh di kota kecamatan, mahal lagi.
Baginya materi tata bahasa itu membosankan daripada sastra sebab ia mengalami kebingungan dan perulangan yang tak perlu. Kalau sastra sebaliknya merangsang sayap-sayap imajinasi, meski Sandra sendiri mengalami kesulitan untuk hal tertentu yang dirasa asing dari sastra sendiri.
Paparan Sandra mengingatkan saya pada guru bahasa Indonesia yang mengajar kala kelas dua di SMP Muhammadiyah 8 Antapani Bandung. Pak Edi Sabarudin punya cara khas yang asyik, memisahkan sastra dan tata bahasa. Artinya, satu jam pelajaran dibagi dua bagian. 30 menit untuk tata bahasa, sisanya untuk sastra. Buku catatan pun terpisah. Alhasil, murid-murid menjadikannya sebagai mapel favorit. Belum lagi tugas-tugas sastra dalam bentuk paper dan makalah dengan tenggat waktu tertentu. Seperti membuat paper mengenai Chairil Anwar sebagai permulaan. Akibatnya, saya jadi suka sajak "Datang Dara, Hilang Dara" karena merasa terinspirasi untuk menemukan sesuatu dari puisi. Pelajaran tata bahasa pun tak dirasa sulit sebab catatan murid-murid sistematis. Itu membuat mereka cepat paham akan sesuatu bukan hafal semata - kecuali untuk murid tertentu dengan kasus tertentu. Selain itu, Pak Edi pun mewejang agar murid-muridnya mengikuti kaidah berbahasa secara benar (gramatikal dan leksikal).
Sayangnya, hanya Pak Edi saja yang mengajar cara demikian, cara yang penuh kecintaan. Guru selanjutnya ternyata tak seluwes apalagi sesistematis beliau. Tak heran, masa SMU adalah masa membosankan untuk mapel bahasa Indonesia. Sesungguhnya anak didik membutuhkan keteladanan dan inisiatif dari pengajar sendiri. Selain sarana pustaka yang memadai.
Jika pun pemerintah tak melakukan perubahan signifikan dalam dunia pendidikan, semoga ada banyak guru mapel bahasa Indonesia yang mendedikasikan ilmunya dengan semangat seperti Pak Edi Sabarudin. Meski 30 menit itu tak cukup untuk bahasa dan sastra.
Pun, soal idealisme Sayyid Madany Syani, saya menghargainya. Juga tetap menghargai opini dari rekannya. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana agar kita bisa tetap berbuat bagi sesama selain berkarya. Dengan atau tanpa pesta dan temu-temuan segala.***
* Rohyati Sofjan, pemerhati masalah kesusasteraan, tinggal di Limbangan, Garut.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment