Sunday, October 12, 2008

Oase Budaya: Diponegoro

-- Arie MP Tamba

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)

Mengejutkan! Itulah yang saya rasakan ketika membaca puisi Diponegoro karya Chairil Anwar bertahun-tahun lalu. Bayangkan, pada tahun 1943, Chairil sudah menggunakan kata ‘pembangunan’ untuk menyampaikan gagasannya. Kata yang menjadi begitu terkenal, empat puluh tahun kemudian di Indonesia, ketika pemerintahan demi pemerintahan menjadikan ’pembangunan’ sebagai klaim programnya.

Berdasarkan tahun penciptaan puisi itu -- boleh jadi Chairillah yang pertama memanfaatkan kata 'pembangunan' ini. Bagi Chairil, 'pembangunan' tentu saja menyandang konotasi khas, serangkaian dengan berbagai diksi lain dalam. Tapi membayangkan bahwa Chairil sudah menggunakan (setelah menggali) sebuah kata Indonesia: bangun, dengan awalan pe dengan sisipan m, dan akhiran an – memperlihatkan pula secara langsung kesungguhan Chairil dalam mengolah diksi, sekaligus peran besarnya dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Namun yang tak kalah menariknya adalah, bagaimana Chairil memanfaatkan tokoh Diponegoro untuk mengekspresikan ide-ide perlawanan dan kemerdekaan dalam puisinya. Diponegoro dalam puisi Chairil, adalah sebuah gagasan yang coba dihidupkan kembali, dengan memberinya bobot sosial, politik, dan terutama warna moral yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Melalui figur Diponegoro sebagai tokoh sejarah Indonesia, Chairil juga ingin memberikan pemaknaan atas sosok pahlawan yang menyiapkan dirinya untuk berkorban. Seseorang yang diandaikan berjuang tanpa pamrih bagi masyarakatnya. Meski, dari sisi moralitas tanpa pamrih ini, diskusi bisa saja dilangsungkan. Sebagaimana pernah disinggung Goenawan Mohamad (1981), perihal motif pembangkangan Diponegoro ’memang tak jadi jelas betul’.

Syahdan, ketika daerah kekuasaannya di Tegalreja dijamah, dipatoki untuk dijadikan jalan raya, sang Pangeran tak bisa sabar lagi: saatnya tiba. Lalu perang Diponegoro yang berlangsung 5 tahun dan mengoyak Jawa Tengah itu pun pecah. Dan satu bukti yang tak bisa dipungkiri, pemberontakan Diponegoro diikuti ribuan rakyat. Artinya, kemarahan di tanah Jawa pada pertengahan abad ke-19 itu, bukanlah cuma kemarahan seorang pangeran yang disibukkan oleh pamrih.

Dengan kata lain, ada kondisi obyektif yang menggerakkan Diponegoro untuk berdiri Di depan sekali tuan menanti/Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali./Pedang di kanan, keris di kiri/Berselempang semangat yang tak bisa mati./MAJU. Sebagaimana disebutkan sebuah naskah T Roorda pada 1860, yang mencatat betapa buruknya keadaan Yogyakarta yang dipimpin seorang raja yang belum berumur 13 tahun, tapi sudah biasa dengan wanita, kendaraan mewah dan kesewenang-wenangan – dan akhirnya mati sebelum berumur 22 tahun.

Kepada raja remaja inilah Diponegoro mengabdi, bahkan diangkat sebagai walinya. Tapi sejarah kemudian mencatat, Diponegoro ternyata memilih berjuang bersama rakyat. Inilah yang coba digambarkan secara dramatik oleh Teguh Karya melalui November 1828. Sebuah film yang berhasil menyosokkan Diponegoro sebagai tokoh darah-daging, meski Teguh tak sekalipun memperlihatkan figur Diponegoro.

Teguh seperti diyakinkan, bahwa Diponegoro sudah begitu merasuk ke dalam benak setiap masyarakat Indonesia. Hingga, bila ia mencoba memfigurkannya, hal itu bisa saja menimbulkan distorsi pamrih, yang tentunya tidak akan produktif bagi pengayaan makna sang pahlawan.

Maka, adegan demi adegan November 1828 itu pun berlangsung intens, tegang, terangkai secara dramatik, dari awal sampai akhir film, semata-mata hanya untuk memperbesar pemaknaan kepahlawanan Diponegoro, tanpa kemunculannya sebagai sang tokoh darah-daging. Dengan begitu, tokoh Diponegoro yang digambarkan di buku-buku sejarah hingga kini, juga sebagai makhluk ide yang diformulasikan Chairil Anwar: Sekali berarti/Sudah itu mati – tetap aman, hidup dan berbiak dalam benak penonton.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 12 Oktober 2008

No comments: