* Kongres IX Bahasa Soroti Ketidakseragaman Istilah
JAKARTA, KOMPAS - Tidak semua media cetak mempunyai acuan dalam pembakuan kosakata dan istilah. Ketidakseragaman istilah dapat merusak bahasa Indonesia. Padahal, dalam fungsinya sebagai media pendidikan, media massa berkewajiban memasyarakatkan bahasa Indonesia yang benar.
Demikian benang merah diskusi kelompok tentang Bahasa Media Massa dalam Kongres IX Bahasa Indonesia, Kamis (30/10) di Jakarta. Topik ini menjadi pembahasan paling diminati peserta dibanding pembahasan topik lainnya. Tampil sebagai narasumber Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Hendry CH Bangun, Sastrawan dan Redaktur Harian Republika Ahmadun Yosi Herfanda, dan pakar teknologi informasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Roy Suryo.
Hendry mengatakan, di dalam organisasi media massa tidak selalu ada fungsi atau peran penyelaras bahasa. Apalagi setelah euforia reformasi, kedudukan penyelaras bahasa tidak lagi menjadi semacam kewajiban. Akibatnya, bahasa media massa sekarang ini boleh dikatakan memprihatinkan.
Menurut Hendry, mencermati data Biro Pusat Statistik (2005), penduduk usia 15-24 tahun sebanyak 40,2 juta jiwa, membuat pengelola media massa menjadikan remaja atau pemuda sebagai target pembaca dan konsumen iklan. Oleh karena itu, untuk memikat mereka, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan dunia mereka. Cenderung menjauh dari bahasa Indonesia yang baku. ”Misalnya istilah, ungkapan, kata yang digunakan pasti yang sedang ngetren,” katanya. ”Jadi, ada kesengajaan untuk menggunakan bahasa yang tidak baku agar sesuai dengan target pembaca muda,” tuturnya.
Hendry mengatakan, mengutip data Dewan Pers, pada tahun 2006, sekitar 70 persen dari 851 media massa yang ada, kondisinya kurang sehat dan tidak sehat. ”Karena itu, tantangan yang berat jika mengharapkan media massa untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ujarnya.
”Guru bahasa”
Senada dengan Hendry, Ahmadun mengatakan, bahasa jurnalistik sebenarnya hanya dipakai pada tulisan-tulisan yang masuk dalam kategori fakta. Akan tetapi, sistem pengejaannya juga diberlakukan pada kelompok opini dan fiksi melalui editing yang dilakukan oleh redakturnya.
”Posisi bahasa pers harus berinduk dan merujuk pada bahasa Indonesia standar atau baku. Media massa juga menjadi ’guru bahasa’ bagi masyarakat. Namun, bahasa pers juga bisa sebagai perusak bahasa Indonesia, karena keliaran pengingkarannya terhadap sistem pembakuan bahasa Indonesia,” katanya.
Ahmadun sempat menampilkan penelitiannya tentang sejumlah kata, yang di media masih belum seragam memakainya. Bahkan, kesalahan yang terjadi jumlahnya jutaan. Seperti kata ”salat” dipakai 270.000 kali, ”shalat” (1.380.000), ”sholat” (1.139.000). ”Ustaz” (2.470.000), ”ustad” (3.110.000), dan kata ”ustadz” (681.000). ”Wudu” (9.340), ”wudlu” (59.300), ”wudhu” (151.000). Ada juga kata ”gender” dan ”jender”, ”obyek” dan ”objek”, serta ”iven” (290.000), ”even” (6.650.000), dan ”event” digunakan 6.650.000 kali.
Menurut Ahmadun, terjadinya perbedaan penggunaan kata itu karena perbedaan pedoman pembentukan istilah atau penyerapan bahasa asing antara Pusat Bahasa dan kalangan pers. Perbedaan cita rasa yang hendak dilekatkan pada istilah asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Anggapan dari kalangan pers, Pusat Bahasa lamban dalam menyerap dan membakukan bahasa asing ke bahasa Indonesia sehingga kalangan pers melakukan pembakuan secepatnya dengan cara masing-masing.
Roy Suryo lebih mengkhawatirkan bahasa tulis di telepon seluler (SMS, EMS, MMN, 3G), yang penggunaannya di Indonesia jutaan orang. ”Telepon seluler luar biasa merusak bahasa Indonesia. Begitu juga pengguna internet, juga banyak yang merusak bahasa,” katanya.
Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono mengatakan, sebenarnya pembakuan istilah dan pengindonesiaan kata serta ungkapan asing sudah lama dilakukan oleh Pusat Bahasa, tetapi kalangan pers jarang menggunakannya. ”Ada 405.000 kata dan ungkapan asing dalam berbagai bidang ilmu yang sudah dibakukan dan ada 182.000 dalam proses penyelarasan,” ujarnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment