Saturday, October 18, 2008

Indramayu, Miras, dan Sawer

-- Saptaguna*

DALAM rujukan budaya Indramayu, sulit rasanya menghubungkan "kota mangga" dengan minuman keras (miras). Bahkan, hampir seluruh ritus tradisi yang ada selalu menyimbolkan spiritualitas dan religiositas yang luhur. Ada kesadaran holistik lingkungan dalam nadran (pesta laut), ada spiritualitas kinerja petani dalam ngarot, ada transendensi yang kental dalam ngunjung, ada ikrar teologis dalam rasulan, dan lain-lain.

Jenis-jenis seni tradisi juga mengisyaratkan hal yang agung. Sintren mengajarkan nilai patriotik yang tinggi, topeng mengamanatkan wanda (karakter manusia) yang sejati, wayang golek cepak mengingatkan kita pada falsafah hidup dan panutan moral. Bahkan, pada seni tradisi brai gendang dan trebang (rebana besar) ditabuh untuk mengiringi kalimah toyibah dan kalam Ilahi.

Lalu apa yang menyebabkan puluhan orang dari Patrol, Kandanghaur, Eretan, Losarang, tewas dan ratusan orang lainnya terkapar di rumah sakit akibat minuman keras? Ironisnya, peristiwa itu terjadi pada bulan Puasa dan pada saat Idulfitri.

Dehumanisasi

Industrialisasi, modernisasi, ledakan jumlah penduduk, sumber daya manusia (yang lemah), dan sempitnya lapangan kerja mengakibatkan persoalan yang klasik, yakni dehumanisasi, erosi moral, dan runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan.

Tak terkecuali di Indramayu, problematika yang kompleks tadi juga mengakibatkan dehumanisasi dan kriminalitas (ingat kasus curanmor dan tawuran). Sempitnya lapangan kerja dan lemahnya SDM mengakibatkan angka trafficking kian marak. Studi yang dilakukan Forum Komunikasi Buruh Migran (FKBMI) Kabupaten Indramayu menyatakan bahwa 8 dari 10 TKW/TKI (buruh migran) asal Indramayu mengalami masalah. Permasalahan itu mulai dari gaji yang tidak dibayar, disiksa majikan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pengkhianatan profesi, hilang kontak, sampai dengan sakit jiwa dan pembunuhan.

Dari data kasar menunjukkan ada lebih dari empat puluh ribu penduduk dari Junti, Karangampel, Kedokan Bunder, Krangkeng, Cikedung, Sindang, Sliyeg, Balongan, Anjatan Arahan, Bangodua, dan lain-lain bekerja di Qatar, Oman, Madinah, Yordania, Bahrain, Taiwan, Korea, Malaysia, Fujerah, Sharja, Hong Kong, dan lain-lain.

Hampir setiap minggu koran lokal Indramayu dan Jawa Barat dihiasi dengan berita mengenai kiriman jenazah TKW atau TKI atau penyiksaan yang dilakukan majikan terhadap buruh migran.

Persoalan buruh migran tak berhenti sampai di situ. Komitmen yang rapuh dari sang suami yang ditinggal istrinya bekerja di luar negeri (duda araban) mengakibatkan disharmonisasi keluarga (perceraian). Alih-alih hasil jerih payah sang istri untuk membangun fondasi ekonomi keluarga justru digunakan untuk foya-foya.

Hampir setiap hari Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu dipadati ratusan pemohon cerai. Selanjutnya, disharmonisasi keluarga mengantarkan pada kecenderungan pelacuran.

Sepanjang jalur pantura hingga Subang marak warung nasi dan kafe-kafe kampung yang bertuliskan "RM". Tetapi, para sopir mempelesetkan singkatan RM itu bukan rumah makan, akan tetapi "rumah mesum". Begitu pula di daerah Cangkingan dan Karangampel. Warung remang-remang tampak berjejer. Apalagi tatkala proses pembangunan Pertamina di Mundu dan Exor di Balongan dilaksanakan.

Impitan kemiskinan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi persaingan hidup menyebabkan warga Indramayu melakukan urbanisasi dengan pekerjaan yang kasar, seperti menjadi tukang becak, tukang ojek, sopir bajaj, sopir taksi, dan sopir bus. Itu masih beruntung, ada satu desa di Indramayu yang penduduknya terpaksa banyak yang menjadi pemulung dan pengemis. Sementara para petani yang tidak mampu melakukan urban lebih memilih pekerjaan nggeprek (mengais sisa-sisa padi dari jerami di sawah).

Tumpukan problematika sosial inilah yang mengakibatkan warga Desa Patrol, Kandanghaur, Eretan, Losarang, dan lain-lain, menjadikan miras sebagai salah satu "solusi" mengatasi keruwetan masalah.

Kebiasaan menenggak miras sesungguhnya tak hanya terjadi pada nelayan. Namun, juga pada tukang ojek, sopir, pengangguran, tukang becak, petani, dan lain-lain. Akan tetapi, kebiasaan meminum minuman keras bagi nelayan relatif lebih banyak ketimbang petani, karena penghasilan nelayan relatif lebih "makmur".

Sekalipun demikian tidak semua nelayan hidup berkecukupan. Karena dalam nelayan ada kelas seperti kicli (pesuruh), bidak (anak buah kapal), juru mudi (penentu arah dan mekanik), penggolang (penanggung jawab perahu/kapal), dan juragan (pemilik kapal).

Waktu melaut mereka memang berbeda. Ada yang sehari melaut langsung pulang. Namun, ada yang 40 hari melaut, baru kemudian pulang. Ketika mereka berlabuh, mereka bisa melepas kepenatan hidup dengan cara pesta ikan bakar dan minum minuman keras.

Saat uang habis, para kicli, bidak, juru mudi, atau bahkan para penggolang berutang kepada juragan untuk perbekalan keluarga dan bekal melaut. Begitu datang melaut, penghasilan mereka dipotong juragan. Begitu seterusnya.

Problematika nelayan Indramayu juga bertambah tatkala tahun 2000 sekitar tiga ratusan nelayan asal Indramayu yang bermukim di Muara Angke (Kali Adem) Jakarta digusur. Mereka lalu berdemonstrasi. Pemerintah pun merelokasi mereka ke daerah Karangsong. Wilayah baru menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan lingkungan. Namun, yang gagal akhirnya memilih menjadi tukang becak, buruh di TPI (tempat pelelangan ikan), dan pengangguran.

Budaya instan

Pesta miras merupakan metodologi instan untuk meraih kepuasan dan kebahagiaan hidup. Problematika sosial dan ekonomi yang kompleks dengan kecerdasan spiritual yang rendah menjadikan kebiasaan mabuk sebagai alat pelepas seluruh persoalan kehidupan. Cara ini dianggap ampuh karena mampu meneguk kesenangan, kemerdekaan, dan kebanggaan dengan cara yang cepat dan murah meriah.

Pola-pola kebahagiaan ini kerap terjadi pada warga Indramayu yang gemar mengadakan hajatan (kenduri) dengan modal berjuta-juta untuk mendatangkan hiburan walau dari hasil utang.

Budaya instan juga diraih melalui tradisi sawer: popularitas dan prestise yang dibangun dengan cara foya-foya. Iman tak lagi bersemi di dada dan kepapaan menjadi realitas, pelacuran terpaksa menjadi hal yang biasa.

Hal yang cukup memprihatinkan adalah tradisi "mabuk" juga menjangkiti para politisi, birokrasi, bahkan kaum edukasi. Kaum politisi meneguk kekuasaan dengan cara mabuk menghalalkan segala cara untuk meraih simpati rakyat. Kaum birokrasi meneguk kedudukan dengan cara sawer kepada atasan. Kaum edukasi meneguk gelar dengan cara melacur intelektual : meraih gelar magister, doktor dengan tesis dan disertasi dibuatkan orang. Alhasil kebiasaan "mabuk" sedang menjangkiti (hampir) semua elemen masyarakat.

Akhirnya, tidak aneh bila dalam seluruh event budaya, nilai-nilai keluhuran itu nyaris sirna. Dalam nadran, misalnya, gaung ritus dan efek religius hanya menempati posisi yang simbolik. Pada substansinya diganti dengan hura-hura, pasar malam, dan pesta (miras).

Demikian pula pada ngarot dan ngunjung. Pada ritus ngunjung justru terjadi peristiwa yang paradoks. Ajang menghormati arwah leluhur itu kadang diganti dengan acara hiburan yang dilakukan di atas makam (kuburan).***

* Saptaguna, Pemerhati seni dan budaya Indramayu

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Oktober 2008

No comments: