-- Fathul A. Husein
DI tengah belantara kemanusiaan yang semakin tak terduga dan jungkir balik, paradoks besar humanisme pun menganga lebar: nyaris setiap kemunculan konsepsi humanisme dalam sejarahnya tidak sedikit menyertakan praktik-praktik kelam reruntuhan kemanusiaan (dehumanisasi). Lantas, masih perlukah humanisme tatkala iktikad kodratinya untuk lebih memanusiakan manusia kini relatif terjungkal ke dalam kubangan yang justru memerosokkan kemanusiaan?
Sebuah buku bunga rampai bertajuk Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan (Jalasutra, 2008), editor I. Bambang Sugiharto, berupaya keras menjawab tantangan humanisme dan karut-marut kemanusiaan dengan menelusuri dan membongkar sejak akar pertumbuhannya hingga kompleksitas persoalan dan kontradiksinya hingga saat ini. Konsepsi humanisme dipandang tetap perlu, "tidaklah bijak menafikan signifikansi humanisme yang telah sempat menggerakkan sejarah itu. Kendati air bekas mandi bayi mungkin memang kotor, kita tidak perlu membuangnya sekaligus dengan bayinya," cetus sang editor.
Buku yang terdiri dari 11 bab ini, dengan setiap babnya ditulis seorang dosen Fakultas Filsafat dan Lembaga Kajian Humaniora Unika Parahyangan, ditekankan sang editor sebagai upaya pelacakan kembali gerakan humanisme dari akar awalnya, sembari mencoba melukiskan ambiguitas perkembangannya dan memungkasnya dengan upaya memberinya tempat duduk yang masih relevan, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan bagi masa depan. Lantaran humanisme adalah kunci untuk mengartikulasikan humanitas secara mendasar, sebongkah kunci emas untuk tetap menjaga agar budaya, agama, politik, ilmu, dan teknologi, tetap "beradab". Tanpa itu segala sistem mudah menjadi bengis dan kejam. Demi kebenaran, tradisi, harga diri, kekuasaan, bahkan demi "moral" sekalipun, manusia mudah diperkosa dan dikorbankan.
Bab 1 (Samho) membahas akar humanisme dalam budaya dan sistem pendidikan Yunani Klasik dan lantas berlanjut pada Abad Pertengahan. Bab 2 (Djunatan) mendedah situasi kebangkitan atau konfigurasi baru humanisme dalam zaman Renaisans plus ringkasan pemikiran Erasmus, Thomas More, dan Francis Bacon. Bab 3 (Wisok) mengungkap perkembangan humanisme di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama membahas konsep "sekuler" sebagai poros utama. Bab 4 (Darius) membahas lebih lanjut kecenderungan ateistik sebagai konsekuensi dari perspektif sekuler. Bab 5 (Andreas) dengan fokus melulu pada sudut Eksistensialisme, justru menawarkan tendensi teistik yang sama kuatnya dengan tendensi ateistik pertengahan abad 20. Bab 6 (Endar) membongkar lebih eksplisit relevansi humanisme bagi kehidupan beragama. Bab 7 (Rm. Anton) mengupas lebih dalam lagi kemungkinan pergesekan antara humanisme dan agama dengan maksud untuk menjernihkan persoalan. Bab 8 (Kanis) menyuguhkan kritik-kritik mendasar terhadap tradisi humanisme dengan mengedepankan para pemikir postmodern yang mengusung lapis-lapis kontra pemikiran bertajuk "anti-humanisme". Bab 9 (Damian) mengungkap relevansi humanisme dalam peradaban global sebagai situasi mutakhir yang telah begitu nyata mengubah wajah kontemporer. Bab 10 (Rm. Tarpin) meneropong konsekuensi humanisme bagi perumusan ulang hakikat pendidikan. Bab 11 (Sugiharto) menyidik lebih rinci relevansi humanisme bagi pendidikan untuk masa depan.
Bobot buku ini terutama terletak pada kecermatan telaah pikir filosofis untuk membongkar, memaknai, dan meretas sengkarut relasional antara satu tema dan tema lainnya sehingga pada keseluruhannya menjadi terasa komprehensif. Komprehensif dalam arti menggumpalkan totalitas humanisme model Barat. Persoalan genting paling kemudian adalah apakah diskursus humanisme melulu milik historis Barat? Apakah karut-marut sejarah kemanusiaan, berikut dilema dan predikamen ke depan, hanya mungkin dimaknai melulu via konsepsi humanisme liberal-rasional ala Barat? Tidak mungkinkah model kearifan Timur digamit dan dimaknai sebagai alternatif yang mungkin untuk menjawab tantangan kemanusiaan ke depan?
Selepas hegemoni diskursus pemikiran Barat mengalami gegar perontokkan di sana-sini, terutama melalui kritik-kritik supertajam dari postmodernisme, barangkali ada baiknya dunia memeriksa kembali arah palingnya. Khusus menyangkut wacana humanisme, kearifan-kearifan model Confusius, Sidharta, Gandhi, Muhamad, para sufi, para seniman besar, sekadar menyebut beberapa, boleh jadi sanggup menawarkan entitas mendalam untuk menjelajah hakikat kemanusiaan. Paling tidak nilai ketimuran yang senantiasa dilumuri spirit komunal dan relasi lingkaran kosmologis (horizontal-vertikal), yang tubrukan dengan model relasi progresif liberal-individual Barat, pada level tertentu bisa disanding untuk berkontribusi terhadap jagat kemanusiaan. Konsep manusia sebagai khalifah ("wakil Tuhan") di bumi, yang menjadi akar fundamental dari humanisme Islam, misalnya, barangkali akan menambah daya pikat tersendiri andai dijadikan sandingan banding yang memperkaya cakrawala buku ini. Lantaran praksis humanisme dalam kerangka ketimuran, seperti Indonesia ini, sudah tentu merindukan sesuatu yang jauh lebih membumi ketimbang sekadar ortodoksi filosofis milik orang lain. Timur memang berutang banyak atas tradisi berpikir Barat. Namun kearifan Timur juga menyimpan magma kemanusiaan yang dalam untuk terus-menerus bisa menyemai benih-benih kejernihan humanitas. Selamat membaca buku ini!***
* Fathul A. Husein, Sutradara teater, mahasiswa program magister FSRD-ITB
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment