-- Arman A.Z.*
CERPEN menjadi medium promosi yang kuat bagi Korea. Bukan sebatas sastra, cerpen menjadi perantara yang mengenalkan budaya dan berbagai ranah kehidupan Negeri Ginseng. Bagaimana Indonesia?
PROMOSI budaya antarnegara melalui teks sastra bisa dibilang jarang. Sastra dunia yang masuk Indonesia didominasi wacana sastra yang telah dan sedang berkembang di Amerika Latin, India, Jepang, atau Eropa. Mungkin saya salah, tapi sepengetahuan saya belum pernah ada buku kumpulan cerpen terjemahan dari Korea beredar di Indonesia. Maka, saya agak terkejut memergoki kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu.
Beberapa tahun belakangan, Korea berhasil mempromosikan negaranya pada masyarakat Indonesia lewat ranah visual. Sinetron atau telenovela Korea menjadi tontonan favorit sebagian masyarakat Indonesia. Selain hafal luar kepala dengan judul-judul sinetron atau film itu, mereka pun familiar dengan beberapa tempat menarik di Korea yang menjadi setting. Bahkan, bukan satu dua sinetron dan film Indonesia yang mengadaptasi (jika bukan menjiplak) sinetron dan film Korea.
***
Perang adalah bagian hitam sejarah peradaban manusia. Tidak ada yang disisakan selain sia-sia dan air mata.
Korea sempat terbelah dua karena konflik ideologi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Korea Selatan yang berhaluan demokratik dan Korea Utara yang berhaluan komunis dipisah garis lintang 38 derajat lintang utara. Perang Korea meletus tahun 1950 ketika Korea Utara menyerang Korea Selatan dengan misi menyatukan Korea. Perang ini usai tahun 1953.
Jauh sebelumnya, Korea pun pernah berperang dengan Jepang. Sejarah mencatat, tahun 1910 Jepang menduduki Korea. Dalih pembangunan yang dilakukan Jepang di beberapa negara jajahannya kala itu (termasuk Indonesia), pada kenyataannya lebih mengeksploitasi rakyat Korea. Berbagai fasilitas yang dibangun hanya untuk memudahkan eksistensi Jepang. Akhirnya tahun 1945 Jepang menyerah pada Sekutu.
Cerpen pembuka dalam buku ini, Dua Generasi Teraniaya (Ha Geun Chan), membeberkan dampak tragis yang dialami tokoh bapak dan anak yang sama-sama korban perang. Si bapak yang lebih dulu merasakan kejamnya perang, mengasingkan diri dari kehidupan sosial dengan kondisi tubuh cacat. Dia ingin melihat anaknya pulang perang dalam keadaan sehat utuh. Harapannya sia-sia. Anaknya pun mengalami nasib serupa: Cacat.
Ending cerpen ini miris sekaligus kontemplatif: Bapak yang tangannya cacat memanggul anaknya yang cacat kaki saat menyeberangi kali.
***
Pendapat bahwa tak ada konsep tetap bagi sebuah kreativitas mungkin harus disepakati. Ini bisa ditemukan dalam cerpen Dini Hari ke Garis Depan (Bang Hyun Suk), yang panjang dan cenderung seminovelet. Cerpen ini menceritakan suka-duka para buruh pabrik wanita yang memperjuangkan berdirinya serikat buruh.
Kompleksitas problem antara buruh dan pemilik pabrik di negara berkembang sebenarnya normatif. Gaji rendah, dilarang mendirikan serikat buruh, mencurigai aktivis buruh yang kritis, sesama buruh di adu domba, buruh dipecat dengan alasan direkayasa. Dalam cerpen inilah kita bisa melihat bagaimana situasi dan kondisi dunia buruh Korea di masa industrialisasi dalam bingkai cerpen.
Cerpen Seoul Musim Dingin 1964 (Kim Seung Ok) mendedahkan bagaimana situasi revolusi Korea tahun 60-an. Di antara kemurungan dan kesedihan tokoh-tokoh di dalamnya, kita masih sempat menemukan semacam wisata imajiner di Korea. "Kalau musim arbei kami ke Suwon, kalau musim anggur kami mengunjungi Anyang, kalau musim panas kami melancong ke Daechon, kalau musim gugur kami melawat ke Kyongju..." (hal. 29).
Cerpen Jalan ke Sampho (Hwang Sok Yong) dan Bung Kim di Kampung Kami (Lee Moon Goo) memaparkan betapa industrialisasi, selain bermanfaat bagi kemajuan suatu bangsa, juga menyimpan dampak negatif besar. Secara implisit kita melihat bagaimana gugup dan gagapnya masyarakat Korea saat berhadapan dengan kemajuan zaman dan industri.
Jalan ke Sampho berkisah tentang Chung dan Young Dal yang ingin pulang ke Sampho, kampung halaman Chung yang letaknya terpencil. Di stasiun, menjelang berangkat, Chung dan Young Dal mendapat kabar anyar tentang Sampho dari seseorang. Chung yang sudah satu dekade tak mudik, terkejut saat mengetahui Sampho telah dan sedang mengalami perubahan drastis. Ingatan terakhir Chung tentang Sampho adalah "paling-paling mancing ikan dan menanam kentang" (hal. 71) ternyata telah berubah total. Desa itu sudah digusur, dipenuhi proyek pembangunan pasar dan hotel. Perahu sebagai sarana transportasi pun telah digantikan jalan raya. Bahkan "Sampho sudah menyatu dengan daratan. Di sana dibangun tanggul dan puluhan truk menimbun batu di sana" (hal. 71).
***
Cerpen sebagai dunia teks yang dibangun dari potongan-potongan peristiwa yang bisa saja berdasarkan fakta. Inilah yang ditemukan dalam kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu. Isinya fragmen-fragmen kemanusiaan berdasarkan latar belakang sejarah dan budaya. Kita akan menemukan berbagai paradoks juga ironi yang berujung pada tragisme. Tragisme yang tak semata berupa kemarahan namun juga kegetiran hidup.
Membaca antologi cerpen ini seperti memandang potret sosial Korea hasil jepretan imajinasi para penulis. Bagaimana mereka merepresentasikan perubahan sosiokultural berdasarkan historis-geografis akibat perubahan zaman dalam bangunan cerpen. Mereka merekam berbagai aspek kehidupan (sosial, politik, iptek, fakta sejarah, atau kejadian sehari-hari, dll.) yang mungkin melintasi pancaindera mereka, kemudian mengambil jarak dari semua aspek itu, sebelum menuangkannya ke dalam teks sastra (cerpen) dengan sudut pandang, pemaknaan, dan penafsiran berbeda.
Mayoritas cerpen Korea didominasi deskripsi yang memperhatikan detail tokoh atau peristiwa. Ini menjadi kekuatan mayoritas cerpen dalam buku Laut dan Kupu-kupu. Semua sisik melik tokoh, setting, dipaparkan dengan gamblang. Mayoritas alur ceritanya pun meliuk-liuk dan berlarat-larat.
Ada beberapa hal sepele namun cukup menggangu, semisal penggunaan sapaan "Mas" (hal. 48), panggilan khas masyarakat Jawa. Tidak adakah padanan dalam bahasa Korea untuk "Mas" atau orang ketiga tunggal?
Cerpen Korea pra dan pasca-90-an mulai terasa perubahan tematik dan lompatan ide meski masih menyisipkan trauma perang. Mulai dari Sungai Dalam Mengalir Jauh (Kim Yeong Hyeon), Kerja, Nasi, Kebebasan (Kim Nam Il), Kisah Singkat tentang Pekarangan (Shin Kyong Suk), Pewarisan (Eun Hee Kyung), hingga Laut dan Kupu-kupu (Kim In Suk).
Pada cerpen Laut dan Kupu-Kupu, kita akan memergoki bagaimana globalisasi dan kapitalisme pun merasuki Korea. Idiom-idiom global atau kapitalis seperti McDonald, hamburger, Coca-Cola, atau french fries memborbardir masyarakat modern Korea.
Di sisi lain, kita mungkin akan tersenyum miris melihat masyarakat Korea menyebut istilah-istilah itu dengan versi mereka sendiri. Laut dan Kupu-kupu di sini bisa ditafsirkan sebagai metafora, sesuatu yang jarang ditemukan dalam cerpen-cerpen Korea di dekade-dekade sebelumnya. Begitu juga cerpen Betulkah? Saya Jerapah (Park Min Kyu), yang mulai merambah wilayah absurditas atau surealitas. Pakem-pakem baru dari segi tematik mulai terasa dalam cerpen-cerpen kontemporer Korea.
Sayang, kita tidak menemukan cerpen yang merupakan hasil eksplorasi terhadap mitos atau legenda yang masih ada dan hidup dalam masyarakat Korea. Tentu akan mengasyikkan membaca bagaimana cerpenis Korea memberi interpretasi baru terhadap legenda atau mitos itu.
***
Jika sastra diyakini sebagian kalangan sebagai potret sosial yang mengangkat kebudayaan masyarakat, kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu bisa dijadikan salah satu bukti pendukung. Cerpen-cerpen dalam buku ini dipenuhi eksplorasi imajinasi penulis terhadap kondisi Korea dari satu dekade ke dekade lain. Merepresentasikan kegelisahan masyarakat Negeri Ginseng itu, juga bagaimana penerimaan dan sikap mereka terhadap modernitas.
Riwayat perang dengan negara lain dan perang saudara inilah yang menghiasi cerpen-cerpen dalam Laut dan Kupu-kupu. Mungkin, bisa jadi sebagian kalangan akan menafsirkan bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini adalah cerpen-cerpen ideologis. Atau bisa juga cerpen-cerpen dalam buku ini berusaha menarasikan Korea di masa silam yang penuh trauma perang dan Korea masa kini yang megapolitan.
Teks sastra bisa mempertemukan manusia dari berbagai belahan dunia dan beragam kompleksitas perbedaannya. Ini bisa kita temukan dalam cerpen Menyeberangi Perbatasan (Jeon Sun Tae): Berkisah tentang sepasang anak manusia yang berasal dari dua negara yang pernah berperang di masa lampau; Park dari Negeri Ginseng dan Naoko dari Negeri Sakura.
Cerpen ini mencoba memotret psikologis dua manusia modern itu plus pandangan mereka terhadap perang. Penulisnya cerdik memanfaatkan setting cerita dengan mempertemukan Park dan Naoko di tempat netral. Keduanya bertemu dalam perjalanan wisata di Thailand. Di Negeri Gajah Putih itulah keduanya merasa tealienasi dari dunia luar selain negara mereka, bagaimana rasa trauma (Park) terhadap perang, hingga perbatasan dimatanya identik dengan kematian.
Pendapat Park mungkin mewakili sekian banyak pendapat generasi muda Korea terhadap sejarah perang Korea-Jepang. "Soal anti-Jepang, generasi muda lebih bebas dibandingkan generasi tua. Tetapi, orang Korea tidak mungkin memikirkan Jepang tanpa melupakan penjajahan mereka" (hal. 341). Bahkan sentiman anti-Jepang dalam pandangan Park lebih ekstrem di kalimat-kalimat selanjutnya.
Sastra juga bisa mempertemukan beragam bidang seperti sains, sejarah, psikologi, filsafat, bahkan kuliner. Pembaca yang masih awam terhadap segala ihwal tentang Korea, akan menjumpai banyak idiom-idiom lokal Negeri Ginseng dalam buku ini. Idiom kuliner, misalnya, bertaburan hampir di setiap cerpen: Jajangmyon (sejenis mi goreng yang menggunakan kuah hitam dari daging), gugbabjip (rumah makan kecil yang menyajikan semacam soto), guk bab (salah satu bahan yang tertulis dalam cerpen itu adalah sawi putih, dan kuah), odeng (makanan dari beras dan tepung ikan), dan sop sayur wogoji.
Juga idiom lokal khas Korea lainnya seperti gaepeol (bagian pantai yang berlumpur pekat), binso (ruang khusus untuk sembahyang), hosang (meninggal usai menghayati kehidupan yang cukup lama), babsang (sejenis meja kecil lengkap dengan menunya, untuk santap malam), bunga jinjiwiye (dalam bahasa Korea "mekar bagai ratu"), ondol (sistem pemanas tradisional Korea di kolong rumah), annyeong haseyo (apa kabar), durumagi dan jungjeolmo (pakaian dan topi tradisional Korea), sonsuljip (warung yang menjual minuman keras dan makanan), dan yontanbul (perapian yang dibuat dari batu bara).
***
Kehadiran buku ini tak sekadar menjadi memorabilia sastra semata. Lebih dari itu, banyak poin penting dan positif terkandung di dalamnya.
Pertama, buku ini berupaya mengenalkan budaya atau lokalitas lain dari kampung dunia lewat translasi literal. Tegur sapa antarnegara lewat sastra sekaligus mengetuk kesadaran kita bahwa ada jendela sastra dunia yang cukup dekat dengan sastra Indonesia.
Kedua, buku ini merepresentasikan situasi sosial di Korea yang terus berubah selama lima dekade terakhir. Bukan melalui fakta (jurnalistik), namun dalam versi lain (cerpen). Masyarakat Indonesia yang aktif mengapresiasi sastra dunia, dapat menambah wawasan tentang ihwal Negeri Ginseng berikut dinamika sastranya.
Ketiga, buku ini membuktikan promosi budaya tak hanya bisa dilakukan secara visual, namun bisa juga secara tekstual (sastra). Apa yang telah dilakukan penggagas lahirnya buku ini adalah inovasi promosi budaya yang patut diapresiasi dan dihargai.
Kemajuan zaman menuntut strategi budaya yang cerdas. Kehadiran buku ini di Indonesia telah menjadi pemantik lain untuk mengenalkan Korea dan sastranya kepada Indonesia. Tentu masih banyak cerpen-cerpen menarik lainnya dari Korea yang belum diketahui penikmat sastra di Indonesia.
Ke depan, alangkah bagusnya bila kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu disusul dengan penerbitan karya sastra Korea lainnya, entah itu berupa kumpulan cerpen, puisi, atau novel. Semogalah ranah sastra Indonesia akan terus dihiasi dengan buku-buku terjemahan sastra Korea. ***
* Arman A.Z., Cerpenis, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment