SEMARANG, KOMPAS - Semakin sedikitnya masyarakat yang tidak membutuhkan sastra Melayu-Tionghoa atau yang juga dikenal dengan sastra Melayu Pasar membuat sastra ini ditinggalkan. Untuk itu, kalangan akademisi diharapkan melakukan penelitian untuk kembali menggeliatkan sastra yang berusia lebih dari 70 tahun itu.
Demikian diungkapkan sastrawan Ajip Rosidi seusai diskusi tentang dialek Melayu-Tionghoa di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, Selasa (28/10). Ajip mengatakan, lebih dari 30 tahun, yakni sejak 1960-an, sastra Melayu Tionghoa mulai ditinggalkan. Baru setelah tahun 1998 sastra ini kembali diperhatikan.
”Sebenarnya tidak ada larangan dari pemerintah atau dari siapa pun untuk menggunakan sastra ini. Hanya, seiring dengan berkembangnya kebudayaan, masyarakat penggunanya juga semakin berkurang,” kata Ajip.
Hingga tahun 1960, Ajip menyebutkan ada sekitar 3.005 judul karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa. Namun, setelah itu, bahasa tersebut kemudian tergerus dengan kebudayaan baru yang semakin lama semakin berkembang. ”Tetapi, sekarang, minat masyarakat mulai tumbuh kembali. Beberapa universitas mulai memasukkan sastra ini ke dalam mata kuliah meski hanya mata kuliah pilihan,” katanya.
Esais Jakob Sumardjo mengatakan, untuk menghidupkan kembali sastra ini, kebutuhan masyarakat sangat berperan. ”Artinya, kalau masyarakat tidak butuh, mereka tidak akan menggunakannya. Masalahnya, kebutuhan masyarakat sudah dipenuhi dengan sastra lain yang lebih kontemporer,” ujar Jakob.
Dalam hal ini, dunia pendidikan memiliki peran penting untuk melestarikan sastra Melayu Tionghoa. Ajip mengatakan, perguruan tinggi seharusnya melakukan penelitian terhadap 3.005 karya sastra yang ada pada masa lalu. ”Kalau bukan dari kalangan akademisi, sastra yang sudah hampir punah ini akan sulit untuk dihidupkan kembali,” tutur Ajip. (UTI)
Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment