BILA ditanyakan kepada Haidar Bagir apa arti bahagia, dia akan menjawab memberi sebanyak-banyaknya.
Ayah tiga putra dan satu putri ini mengaku terobsesi pada hadis Nabi Muhammad yang menyebutkan, ibadah untuk Allah adalah menyenangkan orang-orang yang hancur hatinya dengan memberi sebanyak-banyaknya kepada yang membutuhkan.
”Yang hancur hatinya bukan hanya orang miskin. Sudah pasti orang yang miskin hancur hatinya, tetapi zaman sekarang banyak juga orang yang depresi dan butuh ditemani. Orang kaya pun kadang-kadang bisa hancur hatinya, depresi,” kata Ketua Yayasan Manusia Indonesia (Yasmin) yang bergerak di bidang pemberdayaan pendidikan kaum duafa ini.
Dengan memberi, kata Haidar, orang akan menerima jauh lebih banyak sehingga dia menyebut memberi adalah tindakan paling mementingkan diri sendiri.
Sikap dan keyakinan kebahagiaan adalah memberi sebanyak-banyaknya itu dia terapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan di Lazuardi, mulai dari pra-TK hingga SMA.
Karena itu, tujuan Lazuardi bukan mendidik siswa mencapai nilai akademis setinggi-tingginya, tetapi anak menguasai kemampuan dasar akademis, menumbuhkan rasa cinta pada ilmu, terampil mengembangkan ilmunya, serta punya kemampuan komunikasi, rasa percaya diri, dan keprihatinan sosial tinggi. ”Itulah sumber kebahagiaan tertinggi,” kata Haidar.
”Kebahagiaan adalah latihan, dia ada di ambang pintu kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengucapkan selamat datang, tetapi kita sering tidak sadar dan tidak terampil untuk menyadari. Orang harus melatih diri untuk merasa bahagia, dengan bersyukur.
”Kita sekarang ikut tren yang di tempat asalnya tidak dipakai lagi, yaitu kalau sukses dan punya uang banyak kita akan bahagia. Padahal, kebahagiaan terbesar adalah memberi,” tambah Haidar.
Dengan keyakinan itu, Haidar meyakini yang pertama-tama harus dibangun adalah akhlak, baik pribadi maupun sosial.
Alasan dia, akidah seseorang hanya akan kuat bila akhlaknya baik. ”Bagi saya akidah, ibadah, itu ujungnya akhlak pribadi dan sosial, hubungan sesama manusia,” kata Haidar.
Akhlak yang pribadi, seperti tidak dengki dan tidak pamer dalam kebaikan, menurut Haidar, seharusnya menjadi inti pendidikan. Tetapi, dia mengakui, tidak mudah menjelaskan kepada orangtua murid yang kadang-kadang masih mengukur dari nilai akademis.
”Pelan-pelan kami yakinkan yang penting mengajarkan anak berbahagia, yaitu kalau akhlaknya baik dan suka memberi dan menolong orang. Ini saya belajar dari diri sendiri. Kadang saya merasa kehilangan makna hidup sehingga saya secara sengaja mencoba memberi makna pada hidup saya,” papar Haidar.
Itu dia lakukan dengan, misalnya, mengajak anak-anaknya pergi bersama untuk menguatkan hubungan ayah-anak.
”Saya bilang kepada istri, bukan karena saya baik, tetapi saya menggunakan anak-anak untuk memberi kebahagiaan, memberi makna, pada hidup saya,” tambah Haidar. ”Kalau tidak secara sengaja memberi makna pada hidup, repot juga zaman sekarang. Kesenangan itu betul-betul hanya singgah. Kita mengejar sesuatu, begitu dapat, lalu hilang.” (NMP/BRE)
Sumber: Kompas, Minggu, 12 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment