-- Nezar Patria
HASAN Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.
Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.
Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.
Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.
Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.
Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.
Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: ... To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!
Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.
Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.
Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.
Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.
Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.
Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.
Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?
Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.
Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.
Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.
Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.
* Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment