-- Bandung Mawardi*
RABINDRANATH Tagore dalam novel The Home and The World mengisahkan politik, cinta, nasionalisme, ideologi kelas, dan kolonialisme. Tagore dalam novel itu mengonstruksi rumah dengan pandangan liris dan menegangkan. Rumah menjadi metafor untuk manusia dan negeri India yang merumuskan diri pada awal abad XX dalam kuasa kolonialisme Inggris dan modernitas.
Rumah berbeda dengan dunia (luar rumah). Rumah identik dengan runag (kurungan) yang tidak memberi kebebasan. Dunia identik dengan kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicari dan ditemukan. Tokoh Bimala berada dalam tegangan untuk lari dari rumah dan hadir di dunia atau menghidupi rumah dengan kesetiaan dan pembebasan diri yang menganut konvensi. Bimala sebagai perempuan sadar tradisi dan sadar pandangan politik-intelektual yang membebaskan dengan risiko besar. Rumah dan dunia adalah tragedi.
Rumah dan dunia dalam novel Tagore adalah kisah kekacauan dan ketertiban, politik radikal dan politik moderat, modernitas dan tradisionalis, kesetiaan dan pengkhianatan, kejujuran dan kebohongan, cinta dan kebencian, kelemahan dan kekuatan. Novel The Home and The World adalah representasi kisah kolonialisme dan modernitas. Tagore melahirkan kisah rumah sebagai seorang India tulen.
Kisah rumah lain dikisahkan V.S. Naipul. Pengarang ini lahir di Trinidad dari keluarga imigran India. Rumah dalam pemahaman Naipul adalah sesuatu yang dipikirkan dalam pemikiran seorang bocah. Rumah adalah sesuatu yang naif, fantasi, ketakutan, kebebasan, siksa, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Rumah menjadi ruang untuk merumuskan identitas diri dan kultural.
Rumah adalah perkara gairah dan pertanyaan. Naipul mesti membedakan "rumah hidup" atau "rumah mati" dari sekian rumah yang pernah dihuni di sekian negeri. Naipul lalu mengisahkan rumah dalam teks-teks yang merepresentasikan identitas, sejarah, politik, geografi, dan peradaban. Teks penting dari Naipul mengenai rumah yakni novel A House for Mr Biswas. Naipul dalam novel itu mengisahkan rumah sebagai metafor untuk manusia yang merumuskan identitas.
Rumah adalah metafor yang kompleks untuk kisah manusia dan peradaban. Tagore dan Naipul sanggup mengisahkan rumah untuk pembaca di pelbagai negeri dalam realitas kultural yang berbeda. Bagaimana pengarang Indonesia mengisahkan rumah?
Asrul Sani lumayan intens dan representatif mengisahkan rumah dalam buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1971). Cerpen Beri Aku Rumah dengan satir mengisahkan seorang tokoh yang mencari rumah. Rumah adalah hidup dan ruang untuk biografi manusia yang lelah dalam perjalanan intelektual dan penggelandangan hidup. Tokoh dalam cerpen Asrul Sani melakukan migrasi epistemologis dan geografis tanpa ada kepastian bahwa migrasi berhenti karena ada rumah yang ditemukan. Tokoh itu merasa rumah adalah hak manusia. Pertanyaan yang muncul adalah hak itu belum tentu ada pemenuhan dalam bentuk pemberian atau pencarian.
Metafor rumah yang liris dikisahkan Asrul Sani dalam cerpen Perumahan bagi Fadjria Novari. Rumah adalah kisah manusia dan hidup yang mesti dijalani dengan nostalgia dan utopia. Rumah adalah kepergian dan kepulangan; awal dan akhir. Inilah alinea puitis dari Asrul Sani: "Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus cari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai."
Trisno Sumardjo mengisahkan rumah dalam novel kecil berjudul Rumah Raya (1973). Rumah adalah kisah keluarga, harga diri, status sosial, pertikaian, dosa, dendam, kematian, benci, dan modernitas. Rumah Raden Mas Sumonegoro didirikan dengan kelicikan dan keserakahan untuk merebut dan menguasai tanah yang bukan hak.
Rumah besar dengan arsitektur dan peniruan perilaku hidup Eropa. Rumah didirikan untuk menghadirkan kuasa, status sosial (priyayi), dan kemodernan. Rumah itu jadi cerita orang-orang kota dengan segala yang mencengangkan dan menegangkan. Konflik terus lahir dalam rumah dan berhembus ke luar untuk menjadi gosip dan berita umum. Rumah itu perlahan menjadi kisah sedih dan tragis.
Rumah adalah metafora untuk biografi keluarga yang pecah dan kisah modernitas yang tidak terealisasikan dengan sempurna. Rumah tak mungkin jadi acuan tunggal dari harga diri dan modernitas. Kepercayaan atas peran rumah niscaya terbatasi oleh etika, kondisi zaman, dan progresivitas kultural. Rumah adalah kisah kehidupan dan kematian manusia dengan pelbagai pamrih, impian, dan tragedi.
Kisah rumah dituliskan Y.B. Mangunwijaya dalam cerpen Rumah Bambu yang ditulis pada tahun 1980. Cerpen itu identik dengan laku hidup Mangunwijaya dalam melibatkan diri dengan kehidupan rakyat kecil. Tokoh Parji adalah seroang miskin yang hidup dengan Pinuk (isteri) dan seorang bayi dalam rumah bambu. Rumah itu didirikan dan dihidupi dengan keterbatasan uang dan bantuan orang lain. Parji menginginkan rumah itu jadi ruang hidup yang harmonis. Parji menyebut rumah itu sebagai "sarang yang biar sederhana, akan tetapi bagus dan terhormat".
Rumah bambu itu tak luput dari kisah pertikaian. Pinuk ingin rumah yang tidak sekadar itu, dan Parji tak mungkin bisa lekas menuruti. Pinuk memiliki argumen bahwa rumah itu tak baik untuk pertumbuhan bayi karena lantai yang bukan ubin. Argumen itu dibantah Parji, tapi tidak bisa berterima. Parji dan Pinuk terlanjur membuat pamrih dan pemaknaan berbeda untuk hidup bersama dalam rumah bambu. Rumah dalam cerpen Mangunwijaya adalah kisah kaum miskin berhadapan dengan sesuatu atau impian yang susah direalisasikan. Kebutuhan dan keinginan menjadi suatu keputusan dengan kompromi dan pilihan sadar. Rumah adalah penerimaan menjalani lakon hidup dengan keterbatasan-keterbatasan dan mimpi yang bisa diciptakan untuk penebus realitas atau mungkin menjadi perubahan mengejutkan.
Kisah-kisah rumah dalam teks sastra memberi keterbukaan untuk interpretasi dalam konteks sejarah, antropologi, geografi, arsitektur, sosiologi, politik, dan studi kebudayaan. Rumah menjadi referensi yang representatif untuk kisah manusia dan peradaban. Begitu.
* Bandung Mawardi, Kritikus sastra; peneliti Kabut Institut; redaktur buletin sastra Pawon (Solo)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment