Banyumas, Kompas - Filsafat Jawa sampai saat ini masih berada dalam pencarian jati diri. Sebagai konsep atau pandangan hidup manusia, filsafat Jawa masih irasional dan cenderung bersifat mistis daripada sebagai sebuah filsafat yang utuh.
Demikian diungkapkan dosen Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Dr Selu Margaretha Kushendrawati BS SS M Hum, dalam Konferensi Internasional Kebudayaan Jawa (KIKJ) 2008 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (22/10).
”Kehidupan manusia Jawa senantiasa tak lepas dari pendekatan mistisisme. Hal ini seperti tecermin dari konsep-konsep seperti sangkan paraning dumadi ataupun manunggaling kawula gusti,” ujarnya.
Konsep-konsep tersebut, ungkap Selu, menunjukkan sikap hidup manusia Jawa yang selalu ingin merefleksikan tentang apa yang terdapat di balik segala wujud indrawi serta pencarian sebab akibatnya. Untuk itu, manusia harus menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan sesamanya. Pencarian hakikat hidup itu juga dilakukan dengan ilmu sejati dalam dirinya.
Dalam pandangan hidup manusia Jawa, pewayangan menempati tempat yang sangat penting. Pewayangan adalah dunia khas manusia Jawa. Wayang dengan segala tokohnya merupakan cerminan kehidupan serta norma-norma etis dengan seluruh multidimensi manusia Jawa.
Peran filsuf Jawa
Berbeda dengan Selu, pengamat kejawen dari Boyolali, M Sholikin, mengatakan bahwa filsafat Jawa sebenarnya sudah ada sejak lama. Filsafat ini tumbuh berkembang, yang terpadu dari berbagai nilai agama dan kepercayaan yang pernah ada di Jawa sejak zaman Hindu-Buddha.
Keberadaan filsafat Jawa tak lepas dari peran filsuf Jawa, seperti Syekh Siti Jenar, Mangkunegara I, hingga Ronggowarsito.
Ajaran filsafat, konsep, atau pandangan hidup manusia Jawa tersebut merupakan warisan nilai budaya adiluhung. Keberadaannya harus dilestarikan dan dijaga demi keutuhan bangsa. (HAN)
Sumber: Kompas, Kamis, 23 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment