Tuesday, October 14, 2008

Melayu Bisa Saring Intervensi Budaya Asing

Sungguminasa, Kompas - Seminar Internasional dan Dialog Budaya Kemelayuan di Indonesia Timur yang berlangsung di Makassar sejak Minggu (12/10) mengingatkan kembali pentingnya aktualisasi budaya Melayu untuk menyaring intervensi budaya asing agar jati diri bangsa tidak hilang.

Pa'sinrilik ternama Kabupaten Gowa, Daeng Tutu, mementaskan Sinrilik di Istana Tamalatea Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Senin (13/10). Sastra lisan tradisi Sulawesi Selatan yang melantunkan syair dibumbui interaksi dengan penonton sambil memainkan alat musik gesek sejenis rebab itu dipentaskan dalam rangkaian penutupan Seminar Internasional dan Dialog Budaya Kemelayuan di Indonesia Timur. (KOMPAS/Aryo Wisanggeni G/ Kompas Images)

”Budaya memang saling berinteraksi. Ada diaspora dan di situ ada pertemuan budaya-budaya,” kata Dr Edwar Polinggomang, sejarawan Universitas Hasanuddin, menjelang penutupan seminar tersebut di Istana Tamalatea Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulsel, Senin (13/10).

Pembicara lainnya yang tampil adalah budayawan Nunding Ram dan pengurus Organisasi Keturunan Melayu Sulsel Ahmad Nurjaya.

Sependapat dengan Polinggomang, Nunding Ram menyatakan penting bagi masyarakat Sulawesi Selatan untuk mencari inti dan moral dari budaya Melayu. ”Inilah benteng terhadap intervensi budaya asing. Mengenali inti budaya itu penting karena kebudayaan selalu bergeser,” katanya.

Ram mengingatkan bahwa setiap budaya memiliki tataran konsep ideal dan tataran realita. ”Konsep ’siri’, misalnya, telah bergeser. Dahulu jika mendatangi rumah gadis di malam hari, puluhan mata mengawasi. Sekarang, lelaki bisa mendatangi rumah gadis yang disukainya dengan lebih bebas. Makna ’siri’ telah bergeser,” kata Ram.

Dialog kebudayaan yang menyertai seminar itu diakhiri dengan pertunjukan sejumlah kesenian tradisional Sulawesi Selatan, antara lain Pa’surreq dari Kabupaten Gowa. Pa’surreq adalah sastra lisan menyanyikan syair epos La Galigo diiringi perkusi. La Galigo adalah epos besar asli Sulawesi Selatan yang terkenal karena alur cerita sastra lisan.

Pertunjukan yang juga ditampilkan adalah Sinrilik dari Kabupaten Gowa. Pa’sinrilik ternama Gowa, Daeng Tutu, menyanyikan sejumlah syair, dibumbui interaksi dengan penonton sambil memainkan alat musik gesek sejenis rebab. Para mahasiswa Universitas Hasanuddin yang tergabung dalam Serikat Pencinta Seni-sastra Indonesia (SpaSI) menampilkan Rampang Danrang (rampak gendang) dan sejumlah tarian lainnya. (ROW)

Sumber: Kompas, Selasa, 14 Oktober 2008

No comments: