-- Dadan Suwarna*
TUMBUH dan matinya bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda, erat kaitannya dengan kesejagatan di satu sisi dan apresiasi penutur akan kelangsungan bahasa ibunya sendiri. Penilaian Ajip Rosidi yang melihat kedigdayaan bahasa global, terutama bahasa Inggris, menjelaskan fenomena "pemersatuan" jagat ini di tangan bahasa itu. Dalam beragam variasinya yang disesuaikan dengan di mana bahasa itu mencengkeramkan kakinya, di situlah ragam bahasa Inggris dengan versi Inggris Singapura, Malaysia, India, termasuk Indonesia tumbuh dan berkembang. Bahasa Inggris seakan-akan lebih bercita rasa tinggi, dipijakkan di bumi mana pun, mewakili ekspresi yang paling mendasar dibandingkan dengan kesadaran kita menggali potensi dan esensi bahasa Ibu.
Pengukuhannya sebagai bahasa internasional semakin memperkuat keberadaan bahasa Inggris di percaturan global, meminggirkan bahasa-bahasa lainnya ke wilayah geografi lokal menggeser kehidupan bahasa lokal yang pada saat bersamaan tengah "digempur" nasibnya oleh bahasa nasional beserta dialek Betawi yang "beruntung" secara sosiokultural karena peran sentral media elektronik pemasyarakatannya.
Nasib bahasa daerah yang formal (Sunda lemes) yang pemakaian terbatas di lingkup resmi tidaklah menguntungkan ketika disosialisasikan ke lingkup penutur yang lebih luas bila berbahasa bukan sekadar mengomunikasikan diri, tetapi mengekspresikan setotal mungkin perasaan dan identitas manusia akan keberadaan dirinya.
Selalu terasa ironis manakala kemasan yang bernilai lokal, justru tidak dipayungi dalam semangat kelokalan yang sama. Amatilah acara-acara "Riung Mungpulung", "Paturay Tineung", "Tepang Sono", misalnya, yang tidak dikemas dalam semangat kebahasaan yang juga nyunda dalam acaranya.
Perdebatan
Perdebatan kasar atau akrab yang dimiliki oleh ragam loma haruslah dianggap selesai dengan menganggap bahwa pelestarian kebahasaan lebih penting daripada memperdebatkan tata karma kebahasaan. Ini berarti hak hidup ragam kebahasaan apa pun lebih penting sebagai langkah pelestarian bahasa lokal, penghargaan akan kekhasan, dan penghormatan personalitas penutur sebagai pemilik sah bahasanya.
Andai konsep sosiolinguistik dipahami, terbuka kemungkinan ragam bahasa apa pun, termasuk ragam loma dipakai dalam komunikasi antarpenutur. Seperti diketahui, konsep sosiolingusitik bukan sekadar menyoal masalah bahasa, tetapi juga konteks sosial dan ruang waktu pemakaiannya yang kian menjelaskan bahwa ragam bahasa loma (akrab) lebih beroleh tempat. Dengan menekankan siapa yang berbicara, kapan ia berbicara, di mana, dan dalam situasi yang bagaimana menjelaskan betapa berbahasa adalah terlibatnya suasana hati dua pihak.
Boleh jadi, pada fungsi dokumentatif dan pilihan ketertiban berekspresilah yang tetap harus dipayungi kemauan politik pemerintah daerah ihwal pentingnya kehidupan berbahasa (bahasa lemes), pentingnya identitas manusia, serta pentingnya keberadaan etnisitas sebagai akar budaya tiap manusia.
Bahasa resmi (lemes) mengajarkan ketertiban struktur, pemaknaan, dan pilihan normatif dibandingkan dengan berbahasa itu sendiri. Citra penutur yang dibangun penguasaan bahasa resmi adalah terpelajar dan keberadaban. Citra kebahasaan sekaligus identitas kewilayahan terakomodasi sebagai elemen penting budaya (sikap, pemikiran) keindonesiaan. Di samping itu, bahasa menunjukkan bangsa menjelaskan lebih lanjut ihwal identitas kebangsaan di balik penguasaan bahasa resmi (lemes) tersebut.
Kenyamanan ekspresif
Pada tingkat tertentu mempelajari bahasa bukanlah sekadar ketaatasasan atau penyimpangan salah dan benar, tetapi kenyamanan mengekspresikan diri. Hal itulah yang gagal dipenuhi oleh bahasa resmi bahasa lokal mana pun.
Nyaris dalam suasana demikian yang dibutuhkan adalah bahasa loma (gaul) yang tidak membatasi ruang-gerak komunikasi serta tidak terlalu hierarkis menawarkan kosakata yang serbanormatif sekalipun bermakna halus. Lihatlah kemudian pemakaian bahasa dalam segala lingkup nonformal atau informal terjelaskan betapa mengekspresikan diri bisa dilakukan dengan menyoal tema apa pun. Kejujuran dan keterbukaan merupakan harga mahal nilai-nilai kemanusiaan yang kerap kali terselimuti kegagapan formalitas berbahasa.
Konsekuensi positifnya, bila penutur adalah idealitas yang kita bayangkan jumlahnya, takkan pernah terjadi matinya bahasa lokal karena ia tumbuh justru ketika bahasa loma dikomunikasikan, entah dari perspektif penilaian yang pasar atau kasar. Di sisi lain, regenerasi penutur tak terhindarkan karena sosialisasi kebahasaan mendapat tempat karena berimplikasi pada meningkatnya jumlah penutur bahasa Ibu, terlepas dari pilihan ekspresi apa yang paling memberinya kenyamanan itu.
Sudah menjadi pemandangan umum, tanpa harus mempelajariya secara formal sekalipun, tiap orang berkemungkinan menguasai bahasa loma terlepas dari respek dan responsnya manakala mengomunikasikan diri. Artinya, efek pemasyakaratan lebih beroleh tempat dibandingkan dengan ketatakramaan (undak-usuk basa) sebagai dasar pijakan ragam bahasa, terutama lemes. Seperti dimaklumi basa lemes adalah ragam bahasa Sunda (diksi) tingkat tinggi yang dipakai secara formalistis dengan berdasarkan pola aturan, struktur, dan norma tertentu, menyangkut kepantasan hubungan berbahasa antarpihak. Berkomunikasi dengan seseorang yang lebih tua akan berbeda pilihan katanya dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang seusia.
Basa loma sebagai ragam bahasa akrab memiliki peran sentral justru karena mewakili ekspresi paling optimal penuturnya. Selalu terbuka ruang personal yang inklusif yang melibatkan komunikasi kebahasaan loma di tengah perbincangan apa pun. Sekat-sekat psikologis teratasi justru ketika ekspresi berbahasa yang menjelaskan identitas tiap orang terwadahi tanpa "aturan" ketat dan mengikat. Aturan ketat dan mengikat berarti terlintasinya kegagapan tutur dan struktur dan diberinya keleluasan mengungkapkan apa pun dalam bahasa yang paling intens, dekat, dan "akrab". Betapa silaing, maneh, kumaha yeuh, hingga dewek hanya mungkin terlakoni karena kesetaraan hubungan horizontal antarpihak dan bukan karena ikatan formal berbahasa.
Masalahnya adalah, mampukah basa loma terikat dalam satu kesatuan tutur dan struktur? Ini menyangkut ragam ekspresi yang terdokumentasikan dalam ranah satu kesatuan bahasa.***
* Dadan Suwarna, Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment