Data buku: Kala Agama Jadi Bencana Charles Kimball Mizan, Jakarta, 2013 471 hlm. |
SEPANJANG sejarah perjalanan hidup manusia, agama barangkali dapat dikatakan sebagai kekuatan paling dahsyat dan berpengaruh di muka bumi ini. Potensi kekuatan luar biasa itu mampu meruntuhkan egosentrisme manusia dengan menunjukan semangat pengorbanan diri, perdamaian dan cinta kasih antarsesama.
Tapi, secara bersamaan, spirit keagamaan pun terkadang menjadi pendorong untuk saling meniadakan. Dengan kata lain, karena agama, manusia bisa saling mencinta; dan karena agama pula, manusia kadang-kadang saling membinasakan.
Setiap agama sejatinya pasti mengemban misi mulia: menawarkan jalan keselamatan. Kisah perjuangan para nabi dalam membebaskan umat dari belenggu kejahiliahan atau aktivitas kemanusiaan yang dipelopori Mahatma Ghandi melalui ajaran ahimsa, misalnya, makin mengukuhkan bahwa agama memang jembatan untuk meraih kebahagiaan.
Tapi, di balik misi mulianya itu, agama turut pula menyuguhkan kekejian dan kekerasan. Konflik tiada akhir antara penganut Yahudi-Islam di Palestina, ketegangan yang kerap muncul antarpemeluk Kristen-Islam, atau konflik Sunni-Ahmadiyah dan, kasus yang paling mutakhir, Sunni-Syiah di Sampang Madura yang berujung pemberangusan serta pengusiran jemaahnya, misalnya, turut menegaskan bahwa agama pun tak selamanya menampilkan perangainya yang bersih dan suci.
Keprihatinan dan kekhawatiran akan disfungsi agama seperti di atas itulah yang menjadi titik berangkat Charles Kimball dalam menulis buku Kala Agama Menjadi Bencana ini. Melalui buku ini, Kimball secara menarik menyajikan dan mengulas lima potensi awal radikalisme yang dimiliki setiap agama.
Sembari, dalam waktu yang sama, ia pun tetap membangkitkan asa optimistis dengan menawarkan pelbagai perbaikan agar agama kembali kepada misi awalnya sebagai penebar benih kasih sayang.
Sebagai kajian awal dari lima tanda kerusakan agama, Charles Kimball menempatkan klaim kebenaran mutlak (truth claim) sebagai penyebab utama bencana kemanusiaan yang dilakukan atas nama agama. Klaim kebenaran ini, menurutnya, lahir dari pemahaman teks kitab suci yang ditafsirkan secara literal. Penafsiran teks secara literal biasanya dilakukan untuk memonopoli ayat-ayat sebagai sarana pembenaran atas paham yang dianutnya. Padahal ayat berupa klaim kebenaran mutlak, menurut Kimball, merupakan bentuk korupsi manusia terhadap kekayaan Tuhan. Sebab, kebenaran mutlak yang dimiliki Tuhan sejatinya mustahil mampu ditafsirkan secara sempurna oleh bahasa manusia yang relatif.
Kepatuhan dan ketaatan utuh (taklid buta) kepada pemimpin agama menjadi tanda kedua dari penyelewengan manusia atas kesucian agama. Menurut Kimball, doktrin utama gerakan ini adalah pembebasan umat dari kesengsaraan yang didasari oleh janji-janji keselamatan yang diumbar pemimpin karismatiknya dan biasanya dilanjutkan dengan mengisolasi diri serta membentuk komunitas yang eksklusif. Gerakan Aum Shinrikyo ala Asahara Shoko di Jepang dan People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, yang melakukan gerakan bunuh diri massal, merupakan contoh paling nyata atas taklid buta terhadap pemimpin agama.
Tanda ketiga penyimpang terhadap agama adalah kegandrungan dalam merindukan zaman ideal yang berorientasi pada kejayaan masa lalu. Paradigma keagamaan ini menggambarkan kecemasan zaman sekarang yang dianggap penuh dengan keterpurukan, kebobrokan dan kesia-siaan belaka.
Untuk membebaskan diri dari semua belenggu itu, paham ini bertekad mengembalikan kejayaan masa lalu dengan merealisasikannya ke zaman sekarang. Cita-cita mewujudkan zaman ideal ini, menurut Kimball, biasanya diimplementasikan dengan upaya menegakkan negara berbasis ketuhanan (teokrasi).
Tanda keempat tentang kerusakan agama adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Menurut Kimball, untuk memperteguh eksistensi sebuah komunitas religius, biasanya pemeluk agama membangun identitas seperti tempat-tempat sakral yang dianggap sebagai warisan agamanya. Tapi, yang menjadi masalah besar adalah ketika keinginan untuk membangun identitas tersebut ditempuh dengan membenarkan segala cara, termasuk meniadakan siapa pun yang dianggap menghalanginya. Bahkan, untuk mengejar tujuan itu, tak jarang dipekikkan juga perang suci atau jihad melawan kebatilan. Saat perang suci diteriakkan, menurut Kimball, itulah tanda kelima sebuah agama tengah mengobarkan bencana.
Oleh karena itu, untuk mewaspadai lima potensi destruktif agama tersebut, Kimball mengajak kita kembali kepada agama yang otentik dengan merayakan, apa yang ditunjuknya sebagai, ?pluralisme religius?. Sebab, menurut Guru Besar Universitas Oklahoma, Amerika Serikat, ini bencana kemanusiaan yang terjadi akibat malapraktik keagamaan sebenarnya tak hanya menjadi tanggung jawab satu agama semata. Semua (pemeluk) agama harus mawas diri dan bersama-sama mencari akar pemecahannya.
Akhirnya, buku Kala Agama Jadi Bencana ini setidaknya menggambarkan potret paling buram dalam sejarah perjalanan religius manusia, sekaligus dapat menjadi cermin bahwa wajah agama tak selamanya menampilkan perangai bersih dan suci seperti yang kita kira selama ini.
Oleh karena itu, pencarian akan kebenaran agama adalah proses yang berlangsung terus-menerus; dan setiap pemeluk agama wajib tak kenal henti mempelajari dan mengkaji ulang ajaran agamanya masing-masing.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
Tapi, secara bersamaan, spirit keagamaan pun terkadang menjadi pendorong untuk saling meniadakan. Dengan kata lain, karena agama, manusia bisa saling mencinta; dan karena agama pula, manusia kadang-kadang saling membinasakan.
Setiap agama sejatinya pasti mengemban misi mulia: menawarkan jalan keselamatan. Kisah perjuangan para nabi dalam membebaskan umat dari belenggu kejahiliahan atau aktivitas kemanusiaan yang dipelopori Mahatma Ghandi melalui ajaran ahimsa, misalnya, makin mengukuhkan bahwa agama memang jembatan untuk meraih kebahagiaan.
Tapi, di balik misi mulianya itu, agama turut pula menyuguhkan kekejian dan kekerasan. Konflik tiada akhir antara penganut Yahudi-Islam di Palestina, ketegangan yang kerap muncul antarpemeluk Kristen-Islam, atau konflik Sunni-Ahmadiyah dan, kasus yang paling mutakhir, Sunni-Syiah di Sampang Madura yang berujung pemberangusan serta pengusiran jemaahnya, misalnya, turut menegaskan bahwa agama pun tak selamanya menampilkan perangainya yang bersih dan suci.
Keprihatinan dan kekhawatiran akan disfungsi agama seperti di atas itulah yang menjadi titik berangkat Charles Kimball dalam menulis buku Kala Agama Menjadi Bencana ini. Melalui buku ini, Kimball secara menarik menyajikan dan mengulas lima potensi awal radikalisme yang dimiliki setiap agama.
Sembari, dalam waktu yang sama, ia pun tetap membangkitkan asa optimistis dengan menawarkan pelbagai perbaikan agar agama kembali kepada misi awalnya sebagai penebar benih kasih sayang.
Sebagai kajian awal dari lima tanda kerusakan agama, Charles Kimball menempatkan klaim kebenaran mutlak (truth claim) sebagai penyebab utama bencana kemanusiaan yang dilakukan atas nama agama. Klaim kebenaran ini, menurutnya, lahir dari pemahaman teks kitab suci yang ditafsirkan secara literal. Penafsiran teks secara literal biasanya dilakukan untuk memonopoli ayat-ayat sebagai sarana pembenaran atas paham yang dianutnya. Padahal ayat berupa klaim kebenaran mutlak, menurut Kimball, merupakan bentuk korupsi manusia terhadap kekayaan Tuhan. Sebab, kebenaran mutlak yang dimiliki Tuhan sejatinya mustahil mampu ditafsirkan secara sempurna oleh bahasa manusia yang relatif.
Kepatuhan dan ketaatan utuh (taklid buta) kepada pemimpin agama menjadi tanda kedua dari penyelewengan manusia atas kesucian agama. Menurut Kimball, doktrin utama gerakan ini adalah pembebasan umat dari kesengsaraan yang didasari oleh janji-janji keselamatan yang diumbar pemimpin karismatiknya dan biasanya dilanjutkan dengan mengisolasi diri serta membentuk komunitas yang eksklusif. Gerakan Aum Shinrikyo ala Asahara Shoko di Jepang dan People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, yang melakukan gerakan bunuh diri massal, merupakan contoh paling nyata atas taklid buta terhadap pemimpin agama.
Tanda ketiga penyimpang terhadap agama adalah kegandrungan dalam merindukan zaman ideal yang berorientasi pada kejayaan masa lalu. Paradigma keagamaan ini menggambarkan kecemasan zaman sekarang yang dianggap penuh dengan keterpurukan, kebobrokan dan kesia-siaan belaka.
Untuk membebaskan diri dari semua belenggu itu, paham ini bertekad mengembalikan kejayaan masa lalu dengan merealisasikannya ke zaman sekarang. Cita-cita mewujudkan zaman ideal ini, menurut Kimball, biasanya diimplementasikan dengan upaya menegakkan negara berbasis ketuhanan (teokrasi).
Tanda keempat tentang kerusakan agama adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Menurut Kimball, untuk memperteguh eksistensi sebuah komunitas religius, biasanya pemeluk agama membangun identitas seperti tempat-tempat sakral yang dianggap sebagai warisan agamanya. Tapi, yang menjadi masalah besar adalah ketika keinginan untuk membangun identitas tersebut ditempuh dengan membenarkan segala cara, termasuk meniadakan siapa pun yang dianggap menghalanginya. Bahkan, untuk mengejar tujuan itu, tak jarang dipekikkan juga perang suci atau jihad melawan kebatilan. Saat perang suci diteriakkan, menurut Kimball, itulah tanda kelima sebuah agama tengah mengobarkan bencana.
Oleh karena itu, untuk mewaspadai lima potensi destruktif agama tersebut, Kimball mengajak kita kembali kepada agama yang otentik dengan merayakan, apa yang ditunjuknya sebagai, ?pluralisme religius?. Sebab, menurut Guru Besar Universitas Oklahoma, Amerika Serikat, ini bencana kemanusiaan yang terjadi akibat malapraktik keagamaan sebenarnya tak hanya menjadi tanggung jawab satu agama semata. Semua (pemeluk) agama harus mawas diri dan bersama-sama mencari akar pemecahannya.
Akhirnya, buku Kala Agama Jadi Bencana ini setidaknya menggambarkan potret paling buram dalam sejarah perjalanan religius manusia, sekaligus dapat menjadi cermin bahwa wajah agama tak selamanya menampilkan perangai bersih dan suci seperti yang kita kira selama ini.
Oleh karena itu, pencarian akan kebenaran agama adalah proses yang berlangsung terus-menerus; dan setiap pemeluk agama wajib tak kenal henti mempelajari dan mengkaji ulang ajaran agamanya masing-masing.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment