Saturday, October 19, 2013

Wayang, Empati, serta Perfoming

-- Beni Setia

PENJUDULAN atas kumpulan cerpen Bagus Putu Parto (BPP) dengan Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo (Surabaya, SatuKata Book, Agstus 2013) termasuk unik. Setidaknya tidak diambil dari salah satu dari sepuluh cerpen yang dikumpulkan, tapi dari judul catatan epilog. Bisa jadi karena cerpen-cerpen itu tidak mutlak sebagai teks-meski bisa dibaca sebagai teks-, tapi lebih berupa acuan buat dihadirkan secara perfoming. Tidak heran BPP sediri menyebut epilog itu sebagai (teks) Paska Lakon-sedang Kata Pengantar editor, R Giryadi, diidentifikasikan sebagai (teks) Pra Lakon-, yang menunjukkan cerpen akan lebih menyapa saat dipentaskan dan tak pasif dibaca.

    Fakta sebagian besar cerpen-cerpen itu telah disipanggungkan dengan taat acuan perfoming art bisa dirunut dari tiga fakta. Pertama, secara kultural BPP itu dimomong tradisi pagelaran wayang serta dikondisikan suntuk membaca serial cerita wayang di majalah bahasa Jawa Penyebar Semangat. Bahkan nama pena nan Putu Parto itu juga berasal dari kata Jawa putu (= cucu) Parto (= Suparto Broto-sastrawan Jawa ternama, yang menulis di PS). Sekaligus menandaskan sejak kecil BPP diperkaya budaya lisan perfoming pagelaran wayang dan budaya tekstual cerita wayang. Kedua, BPP memilih pendidikan teater formal di ISI Yogyakarya, sehingga bisa memenej seniman-terlihat dari acara "Haul Bung Karno" atau "Drama Kolosal Pemberontakan Peta Blitar".

    Studi mendalam dan terpola formal itu menyebabkan paham akan kemungkinan pemanggungan, akan potensi perfoming art, sehingga membangun kesadaran tentang keseimbangan (budaya) oralitas kedua. Bahwa sesuatu itu tidak hadir secara lisan dan juga tidak tekstual murni, tapi kongkrit diperagakan. Semacam hadiran yang lebih dari sekedar sinetron, di mana cerita tak lagi bertumpu pada wacana dan tak mutlak melulu diwakili gambar. Jadi perfoming cerpen-seperti teaterisasi puisi. Bahkan ketika BPP menulis cerpen ia tak membayangkan cerita hadir tekstual, tapi dalam jalinan ekspresi panggung yang didukung aspek perfoming.

    SEMUA itu, ketiga, mengental ketika BPP tersilibat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Upaya menolak pemusatan sastra di Jakarta, usaha mengsialihkan model publikasi sastra tekstual di media masa cetak-yang melahirkan rubrik budaya koran dan majalah tertentu itu-ke model lisani-jadi ekspresi seni yang mutlak tunduk kaidah perfoming art. Karena itu, sejak paruh pertama dekade 1990-an, BPP menulis cerita yang tidak tekstual, tapi yang (menjadi) ekspresif kalau dihadirkan di panggung dengan memperhatikan acuan perfoming. Di titik itu, karena itu, kita bisa memahami keberadaan fantasi improvisasi liar BPP, yang tak bisa terlihat dalam teks karena amat situasional pementasan.

    Cerpen "Nyanyi Sunyi si Burung Merak"-ditulis dan dipentaskan pada Festival Seni Surabaya, 2003-, menghadirkan tokoh semi-riil Rendra sebagai si kakek berusia 100 tahun. Kangen kejayaan masa muda dengan memaksa ingin tampil membacakan puisi-puisi terbarunya secara kharismatik teateristik. Kesampaian, serta tersadar kalau ia manggung tanpa penonton. Ada pergeseran waktu, ada pergantian ikon, dan model ideal ekpresi senipun berubah. Apresiasi ikut trend! Atau

    "Aku Ingin Jadi Walikota"-ditulis dan dipentaskan di DPRD kota Blitar di acara menggali gagasan dan pendapat tentang walikota ideal-, yang bercerita tentang tukang becak yang ingin jadi walikota, diaksentuasi wartawan koran kuning, dan menjadi semacam pemimpin alternatif.

    Tapi apa sembarang orang bisa jadi sang walikota hanya dengan dipilih-tanpa si bersangkutan punya ilmu dan keahlian manajerial birokrasi. Ada tonjokan yang khas BPP. Pada "Kuku Bima", Bima mengamuk karena kuku Pancanakanya itu hilang dan jadi produk minuman suplemen.

    Pada "In Memoriam" si penulis menulis cerpen yang merupakan obituari bagi kematiannya sebagai sastrawan. Setelah obituari itu dimuat-aslinya JP dengan kesepakatan Arief Santosa-ia kebingungan menunggu kedatangan maut. Pada "Seusai Baratayuda" Destarata dan Gendaripun nglanggut saat menelusuri Kurusetra, menangisi fakta musnahnya (keluarga) Kurawa-yang tak diterima Gandari dan dihayati Destarata sebagai takdir. Lalu muncul Kartomarmo, yang tak ikut perang dan didorong Destarata agar berperang menunaikan takdir sebagai tumbal kebenaran.

    TAPI Baratayuda sudah berakhir. Kartomarmo mati setelah membunuh generasi kedua Pandawa-tahta Astina jatuh ke Parikesit, si generasi ketiga yang dikutuk mati, seperti diperlihatkan pada cerpen "Pak". Tapi aura terus berjuang mesti disitakdirkan kalah membuat BPP terpukau. Menjadikan metoda perjuangan gerilya Kartomarmo-pada Pandawa yang mutlak menang-sebagai cara melawan Jakarta, pusat sastra serta legitimasi kualitas dari teks. Semangat RSP itu rasanya tak terlihat pada diri Triyanto Triwikromo dan hanya samar pada Koesprihyanto Namma-sudah bergeser ke sastra serta teater bertenden, yang lebih dianggap sebagai sarana untuk membangun karakter aktor lewat nash-nash Qur'an.

    Itu menunjukkan BPP, pada dasarnya, masih tetap hidup dalam atmosfir RSP-terlihat jelas pada teks epilog yang dijadikan judul kumpulan cerpen, yang ditulis Juni 2013-, masih mengandaikan ada musuh di Jakarta. Dan aspek romantis itu pula yang menyebabkan BPP memberi judul kumpulan cerpennya Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo-dengan Kata Penutup mensidadar kenangan perjuangan RSP melawan Jakarta.

    Koesprihyanto Namma yang dirangkul Boemipoetra-bukan BPP yang tak luntur oleh waktu. Mungkin karena dalam rentang 20 tahun terakhir itu BPP sibuk dengan proyek melawan labilisasi ekonomi, melupakan sastra dan terserap putaran produksi serta distribusi Kalimasada Cookies. Memang!

Beni Setia, Pengarang
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 19 Oktober 2013

No comments: