Sunday, October 20, 2013

[Tifa] Asmaraloka Entang Wiharso

-- Iwan Kurniawan

SAMBIL membelakangi seorang perempuan bule berkebaya merah, lelaki berbaju hitam itu menatap datar sambil berdiri menyamping. Tangan kanannya memegang payung hitan, sedangkan tangan kiri menggenggam sebilah keris.

RECLAIM PARADISE: Pengunjung mengamati lukisan karya Entang Wiharso
berjudul Reclaim Paradise dalam pameran bertajuk Geo - Potrait #2 di
Geleri Salihara, Jakarta Selatan, Kamis (17/10). Pameran itu
menceritakan tentang titik tolak Entang Wiharso dalam menelusuri
perjalanan hidupnya. MI/IMMANUEL ANTONIUS
Ia seolah menjadi sosok misterius. Rambutnya menjulur hingga melilit ke tanah. Saking panjangnya, rambut itu menyatu dengan kemaluan lelaki lain yang sedang berbisik dengan perempuan lainnya.

Sementara itu, rambut perempuan bagur berkebaya merah tadi pun dikonde. Rambutnya pun menjulur hingga ke tanah dan menyatu dengan sepotong tangan--terlepas dari sesosok tubuh--lainnya.

Gambaran itu terlihat jelas dalam lukisan Reclaim Paradise (media campuran, 3x6 meter, 3 panel, 2013) karya Entang Wiharso, 46, yang dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta, pertengahan pekan ini. Karya yang terlihat besar itu cukup mencolok sehingga memikat mata pengunjung.

Secara keseluruhan, terdapat tujuh objek manusia dalam Reclaim Paradise. Setiap objek memberikan nuansa ekspresif sehingga membuat kita harus melihat betul mimik-mimik berbeda. Hanya ada satu objek lelaki yang sedang membelakangi.

Pameran tunggal Entang bertajuk Geo Potrait #2 itu berlangsung sejak Jumat (11/10) hingga Senin (11/11) mendatang. Dia menghadirkan sembilan karya yang dibuat dalam dua tahun terakhir. Karya-karya yang ada meliputi lukisan, patung, instalasi, dan foto--semuanya berurusan dengan isu-isu persepsi dan realitas.

Dalam Geo Potrait #2 Entang memang sengaja menggunakan narasi pribadi sebagai titik tolak untuk kembali menelusuri lebih jauh perjalanan hidupnya. Ia juga menghubungkan berbagai peristiwa dan tindakan kecil dengan sejarah dan perubahan bumi dan penghuninya yang tampaknya tidak kita ingat lagi.

Ayah dua anak itu seakan mencoba melacak pengalaman pribadi dan kolektif yang mengarah kepada kejadian tertentu, lalu mengeksplo­rasi bagaimana riwayat ide, tanah permukiman, migrasi, dan ekologi yang terkandung dalam tindakan manusia hari ini ke dalam karya.

“Cerita-cerita yang mengandung anekdot dan kait-mengait dengan narasi geopolitik yang lebih besar merupakan inti kekaryaan saya saat ini,” ujarnya dalam pengantar pameran.

Persepsi

Lewat karya-karyanya, Entang ingin mengedepankan ide-ide dalam banyak konteks untuk menguji persepsi kita yang sering dibentuk oleh informasi yang tak lengkap, propaganda, generalisasi, dan pra­sangka.

Karya lain yang cukup memberikan sebuah rona tersendiri bisa dilihat pada Crush Me (resin, bubuk grafit, pigmen warna, dan benang, 2012-2013). Ada pengelanaan sehingga membaut Entang menjadi sesosok pribadi yang matang.

Karya berbahan aluminium pun terpajang manis, di antaranya, Geo Family Potrait: Reclaim Landscaped #2 (aluminium, benang, resin, pigmen warna, 87x95 cm, 2013), After the Agreement: Borderless#2 (aluminium kuning, pigmen warna, benang: 108x125 cm, 2013), Geo Family Potrait: Reclaim Landscape#1, (85x70 cm, 2013), dan Fake and Real: Live Together Forever (grafit, pigmen warna, benang, resin, 130x95 cm, 2013).

Karya-karya yang dibuat tahun lalu juga dipamerkan. Ada The Fa­mily Potrait (foto boks lampu LED, 120x196 cm, 2012) dan Temple of Hope Hot by a Bus. (300x325x225 cm). Pada karya kuil (temple), misalnya, Entang menghadirkan rumah atau kuil.

Pameran ini cukup memberikan gambaran tentang imajinasi yang melampaui batas. Entang mampu berpikir liar sehingga dapat menggabungkan tradisi dan modernisasi lewat seni kontemporer.

Memang, banyak karya Entang yang sudah menjadi milik kolektor. Sebut saja pemerhati seni Melani W Setiawan. Di rumahnya di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, terdapat puluhan karya Entang, baik lukisan maupun instalasi. Semuanya ia pajang di ruangan keluarga, taman, hingga sebuah galeri kecil. "Entang punya gaya yang unik. Sebelum ia ke Amerika Serikat, saya sudah mengoleksi karya-karyanya, lo," cetus Melani, pengunjung, di tempat berbeda.

Dalam kariernya, lelaki kelahiran Tegal, Jawa Tengah, itu sudah sering berpameran, antara lain Love Me or Die (Jakarta, 2010), Untold Story (Berlin, Jerman, 2012), Crush Me (Shanghai, China, 2013), dan Geo Potrait (Lugana, Swiss, 2013).

Kurator Nirwan Dewanto menilai pameran kali ini ialah sebuah parodi terhadap budaya-budaya asli yang terselimuti oleh budaya massa global. Patok-patok yang menandai batas-batas imajiner sebuah lingkungan budaya niscayalah seperti jambangan-tabung-gas. Seni rupa kontemporer menjadi subversi-versi bawah tanah. ‘Geo Potrait Entang adalah cara merobek peta bumi kesadaran itu sendiri’, tulis Nirwan.

Terlepas dari karya-karya Entang yang elegan dan estetis, ia masih minim dalam pencarian identitas dan makna atas kemanusiannya. Itu terlihat jelas pada beberapa karya yang seakan hanya cocok dan pas jika dipajang sebagai dekorasi ruang­an tamu atau ruangan makan keluarga. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013

No comments: