Sunday, September 22, 2013

[Jeda] Meniti Kiblat Kopi Dunia

-- Ardi Teristi Hasrdi
Indonesia punya sederet model untuk menjadi kiblat kopi dunia, di antaranya beragam jenis kopi dan cara penyajian yang khas. Namun, produktivitas kopi Indonesia justru turun.

MEJA-MEJA yang memamerkan beragam biji kopi Nusantara memenuhi pendopo Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Sabtu (14/9). Kopi kintamani bersanding dengan kopi gayo arabika, kopi flores, kopi jawa, kopi lampung, hingga kopi toraja.

Hari itu memang sedang digelar Indonesia Coffee Festival (ICF) 2013. Penyelenggaraan kali ini merupakan yang kedua setelah tahun lalu digelar di Ubud, Bali.

Meski keragaman kopi tetap menjadi daya tarik utama, pengunjung diajak pula bernostalgia pada cara penyajian tradisional, yakni menyeduh bubuk kopi murni bersama dengan gula. Kopi dengan cara penyajian itu dikenal juga sebagai kopi tubruk.

Tuti Mochtar, pakar kopi yang juga pengurus Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, menuturkan bahwa kopi tubruk dikenal di hampir semua daerah di Indonesia. Sayang, seiring berjalannya waktu, gaya minum kopi tersebut digeser dengan keberadaan kopi instan (saset). Terlebih lagi, imbuhnya, kebanyakan orang mengidentikkan kopi tubruk dengan orang lanjut usia.

Padahal, cara minum kopi tersebut sesungguhnya memiliki nilai lebih. "Kopi tubruk lebih baik, lebih sehat karena berasal dari kopi asli, sedangkan kopi saset sudah ditambahi dengan flavour," ujar Tuti.

Untuk mengangkat kopi tubruk lagi, Tuti punya formula tersendiri. Ia ingin memperkenalkan meminum kopi tubruk dengan sedikit gula atau tanpa gula sama sekali, hanya kopi bubuk yang diseduh dengan air panas. Pengurangan penggunaan gula dalam kopi tubruk perlu dilakukan karena dalam makanan sehari-hari sudah mengandung gula.

Direktur Indonesia Coffee Festival Ellyanthi Tambunan juga sependapat tentang nilai lebih kopi tubruk. Menurutnya, mencintai kopi tubruk sesungguhnya bagian dari mencintai produk-produk kopi lokal.

Itu sejurus juga dengan pengakuan pelatih barista Randy Renaldhi. Sebagai seorang pecinta kopi, ia lebih menyukai menyeruput kopi tubruk. Dengan penyajian itu, kesegaran kopi-kopi lokal akan lebih terasa.

Ellyanthi pun berharap dengan diangkat dalam event tersebut, kopi tubruk tidak lagi terpinggirkan, bahkan menjadi gaya hidup masa kini. Dengan menghargai produk lokal, baik kopi maupun penyajiannya, ia berharap Indonesia bahkan bisa menjadi kiblat kopi dunia.

Revitalisasi tanaman kopi

Namun, menjadi kiblat kopi dunia tidak hanya cukup dengan dukungan masyarakat. Produksi dan kualitas kopi dalam negeri menjadi modal utama.

Suripmawardi, peneliti senior Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, menjelaskan bahwa secara kualitas Indonesia boleh berbangga karena memiliki banyak kopi spesial dengan harga di atas harga pasar.

Kopi arabika Indonesia, terangnya, hampir 80% diekspor dengan harga premium. Harga kopi robusta Indonesia juga berada di atas rata-rata harga kopi di pasar London, Inggris. “Secara mutu, kopi Indonesia cukup bagus,“ tukasnya.

Jenis kopi dari berbagai daerah juga terus dikembangkan. Surip mengatakan beberapa produk pengembangan yang sudah dihasilkan adalah Andongsari 1, Andongsari 2 K, Gayo 1 dan Gayo 2, dan Sigarar Utang. Pembinaan petani kopi pun terus dilakukan baik di Papua, Flores, Bali, Jawa Timur, Sumatra Utara, maupun Gayo (Aceh). Pembinaan itu penting karena teknik budi daya, misalnya memangkas kopi secara rutin, akan memengaruhi produktivitas.

Namun, meski banyak upaya telah dilakukan, produksi kopi Indonesia beberapa tahun ini merosot di posisi tiga dunia di bawah Brasil dan Vietnam.

Vietnam sebenarnya terhitung pendatang baru, tetapi bisa merangsek ke jajaran atas berkat umur tanaman yang cukup muda, yakni masih di bawah 10 tahun. Hal sebaliknya terjadi di dalam negeri. Produktivitas merosot karena tanaman yang sudah tua.

Surip mengungkapkan produksi kopi rata-rata nasional sekarang hanya sekitar 750 kilogram per hektare. Padahal, produksi kopi di Sumatra pada 1900-an pernah mencapai 3-4 ton per hektare.

Menurutnya, usia tanaman kopi jika dipelihara dengan baik bisa bertahan hingga 30 tahun. Namun, apabila pemeliharaannya tidak bagus, imbuhnya, tanaman kopi hanya berproduksi dengan baik hingga 15 tahun.

Selain usia tanaman, hasil produksi tanaman kopi dipengaruhi ketuaan tanah. Tanah di Indonesia sudah ditanami kopi selama 300-400 tahun lebih. Lahan pun semakin jenuh lantaran hanya dipakai perkebunan monokultur.

Mendesaknya revitalisasi tanaman kopi juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Eksportir Kopi Indonesia-Indonesia Coffee Exporters Association (GAEKI-ICEA) Hutama Sugandhi. Menurutnya, pertumbuhan konsumsi kopi di dunia lebih cepat jika dibandingkan dengan produksi kopi.

Tingginya pertumbuhan tersebut tidak lepas dari perubahan budaya pola minum kopi dari sistem konvensional ke pola modern (espresso). Dengan perubahan pola minum kopi tersebut, kebutuhan kopi meningkat dari 8 gram per cangkir menjadi 15 gram per cangkir.

Menurunnya produktivitas kopi Indonesia diakui Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan yang hadir dalam pembukaan festival. Mulai tahun ini, imbuhnya, pihaknya menyosialisasikan dan melaksanakan revitalisasi tanaman kopi.

Namun, merevitalisasi menyeluruh tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah. Dengan keterbatasan anggaran revitalisasi, ia mengaku mengandalkan perusahaan-perusahaan besar. (M-4)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

No comments: