Saturday, September 07, 2013

Mempertanyakan Pembinaan Kesenian di Jakarta (1)

-- Doddy Hidayatulah

BERANGKAT dari akar paling bawah masyarakat kita, sekelompok orang bergerak bersama menghimpun potensi diri. Kemudian menyatu bersama untuk melakukan serangkaian aktivitas sastra. Menyebutnya sekumpulan pegiat sastra. Itulah gambaran kecil sekelompok orang sastra membangun geliat sastra. Kemudian menyebut dirinya komunitas sastra. Dan lazim disebut sanggar, dapur atau bengkel, kelompok atau organisasi sastra, dan lain-lain penyebutan yang cukup banyak jumlah sebutan.

    Komunitas sastra tak lain sosok bentuk kebersamaan dengan mengusung sejumlah agenda kerja bakti kegiatan sastra.Dengan merangkak sekalipun menghimpun orang, mengumpulkan dana dari masyarakat, dan menyatukan ide agar dapat terwujud kegiatan sastra.

    Dilakukan bersama aktivitas melalui kelompok agar dapat lebih menyempurnakan kemampuan menerima dan menyampaikan hal-hal yang bersifat apresiatif, mampu mencapai luas jangkauan wawasan, serta mempertajam keterampilan teknik dalam menyelesaikan proses kreatif dan menawarkan capaian nilai-nilai estetik kepada masyarakat.

    Di situ individu-individu menangkap fenomena ide tentang sastra yang banyak bertebaran di atas permukaan masyarakat sastra. Komunitas sastra meletakkan dirinya menjadi bentuk kolektivitas, kemudian merupakan rumah tempat tinggal kreatif. Kesepakatan untuk selalu menjaga, dipelihara, dan dikembangkan sampai batas kemampuan untuk berkembang. Tentu dalam batas kemampuan mengumpulkan dan memiliki dana sebagai bagian sumber kekuatan energi.

    Seluruhnya dilakukannya dengan secara berdarah-darah. Sampai batas mana komunitas dapat diharapkan menjadi sebuah lahan persemaian menumbuhkan, dan mengembangkan kemampuan kreatif adalah sebuah renungan bagi siapa pun yang merasa sebagai peminat dan pegiat sastra. Sebuah perjuangan ! Sentuhan-sentuhan dialog kreatif itulah yang menggerakkan untuk sampai kepada capaian estetik dan sekaligus mengangkat karya-karya, internal dan external, kepada publiknya yang lebih luas.

    Agaknya telah menjadi suatu pemahaman meluas bahwa karya-karya sastra, termasuk kegiatan sastra itu sendiri, menghadirkan kembali paparan tentang manusia beserta lingkungan hidup persekitaran yang mengelilinginya. Sajian tentang masalah-masalah moral, etika, pendidikan, tradisi kultural, dan lain-lain yang merupakan rangkaian arus proses pembelajaran bagi kemanusiaan kita.

    Sastra dan nilai-nilai kemanusiaan selalu menghendaki perubahan dinamik sebagaimana capaian perubahan yang dikehendaki oleh proses perjalanan budaya masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai peradaban. Kalangan sastrawan maupun peminat sastra menyadari betapa pentingnya makna sastra bagi msyarakat luas terutama kalangan pelajar, mahasiswa, dan kalangan generasi muda bangsa serta kalangan pendidik.

    Sastrawan dari kalangan komunitas sastra yang tergabung dalam wadah kerja sama dan kemitraan antar komunitas/kelompok sastra telah berangkat ke berbagai sekolah/madrasah bergerilya untuk mengangkat posisi sastra yang nampak terabaikan. Menawarkan bentuk-bentuk apresisi, seperti: pelatihan pembacaan dan penulisan karya sastra, dialog kreatif sastra bersama guru kelas, dalam membantu meningkatkan penyelenggaraan extrakurrikuler di bidang sastra. Membangun suasana cinta dan minat baca, menuturkan kembali, kemudian menuliskannya berbagai fenomena yang telah tertangkap atas bacaan.

    Bukankah gambaran seperti di atas adalah latihan atau proses pembelajaran bagi siapa pun (tentu saja yang utama pelajar) untuk mencapai pencerdasan emosional dan intelektualitas ketika menangkap berbagai fenomena yang mengalir di persekitaran diri. Sekaligus mengexpresikan diri secara cerdas sebagai obyektivasi aktual (terutama ketika manusia bersentuhan antar manusia dan kelompok, dst).

    Bagaimana mungkin mengingkari pentingnya makna sastra dalam membangun kebudayaan dan peradaban masyarakat bangsa. Keberadaan komunitas sastra adalah sebuah keniscayaan di tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta dalam memberi pencerahan. Jakarta adalah kota urban yang sarat dengan berbagai ketegangan konflik pergeseran nilai-nilai atas berbagai perbedaan kepentingan dari kelompok maupun individual, bentuk-bentuk benturan dari premanisme yang banyak berkeliaran di masyarakat luas.

    Komunitas sastra beserta kelompok kesenian yang lain seharusnya memperoleh pembinaan yang benar wajar dan sangat layak. Mengapa tidak!Bukan sekedar retorika mainan kata-kata.

    Aktualisasi keberadaannya menyatakan, bahwa peran komunitas sastra dan kelompok kesenian yang lain itu pun telah memberikan kontribusinya dalam masyarakat. Dan sulit mengingkari atas kontribusinya dalam membangun dan mewujudkan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Wadah sastra (dan pewadahan kesenian lain) telah ditetapkan menjadi wadah kerjasama dan kemitraan antar sanggar/kelompok atau organisasi berkesenian.

    Memiliki SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai isyarat pengakuan dan sekaligus pembinaan atas beban tugas diletakkan ke pundaknya sebagai mitra kerja Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam rangka lebih "memanusiakan " warga Jakarta di tengah rimba ketegangan konflik yang ada di masyarakat.
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 7 September 2013

No comments: