-- SPN. Dantje S Moeis
DISADARI ataupun tidak, beban yang dipikul seniman (dalam kaitan dengan tulisan ini adalah seniman perupa) kian hari terasa kian berat. Betapa banyak persoalan yang kemudian terus-menerus bermunculan jauh di luar sudut pandang standard estetika yang tampil dari suatu karya, yang semula menjadi ukuran umum bagi penilaian kualitas dan kepiawaian seniman pengkarya.
Mungkin karena persoalan itulah, seorang teman saya yang semula hanya berprediket sebagai pelukis ‘sahaja’ dengan hasil karya-karyanya yang cukup mumpuni. Kemudian buat menambah wawasan katanya, ia nyambi? kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana (S1). Walhasil, bukanlah sebuah usaha yang sia-sia. Setelah menyandang gelar Sarjana Seni (SSn), karya-karya yang dihasilkan tampak banyak berubah. Tidak lagi menampakkan karya dengan hasil sederhana, yang muncul kemudian adalah karya senirupa sarat muatan, sarat pencarian, sarat pesan dan yang paling menonjol adalah munculnya sebuah identitas baru dalam perkembangan senirupa di negeri ini.
Namun persoalannya tak tamat hingga di situ. Di tengah booming dan hiruk-pikuk orang-orang yang membicarakan kemunculan karya-karyanya, baik yang jujur, dengan argumentasi berukuran maupun yang asal bicara dan berpretensi meruntuhkan. Hal ini cukup menjadi ganjalan kemulusan hubungannya dengan kolektor maupun pebisnis seni (art dealer) yang menjadi mitra utama sekaligus pelecut semangat berkreativitas. Persoalan yang membuat ia menjadi gagap, gugup dan gentar melakukan hujjah tangkisan ataupun counter attack.
Sigap dengan latar belakang mencintai seni ini, plus kemapanan ekonomi yang diraih dari keteguhannya dalam membuat pilihan profesi, serta keinginan untuk melanggengkan eksistensinya di dunia senirupa, teman saya ini berkeputusan melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Magister Seni (MSn). Langkah ini tampaknya pun berhasil dan sambil mengucapkan selamat, sekedar untuk mengingatkan, via telepon saya sampaikan bahwa, ‘’Semua itu ada batasnya dan yang pasti seperti yang disampaikan dalam ungkapan Melayu, ‘makhluk hidup tak-kanlah dapat menongkat langit’. Itu saja,’’ kata saya mengakhiri percakapan.
Penyelesaian yang bertolak belakang dari yang dibuat oleh teman saya. Ketika membaca sebuah cerita pendek yang dimuat di Koran Tempo, karya Patrick Suskind seorang penulis Jerman dan diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari teks berbahasa Inggris oleh: Peter Howarth, berjudul Racun Kritikus.
Baris-baris pembukanya saya kutipkan seperti ini:
Pada pembentangan karya seni rupa perdananya, seorang perempuan muda dari Stuttgart yang membuat sketsa dengan sempurna indah, mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud negatif, bahkan dengan jujur berniat untuk menyemangati si perupa perempuan muda itu. Sang kritikus berkata, ‘’Yang Anda lakukan pada karya sketsa anda cukup menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman.’’
Selanjutnya dalam cerita Patrick Suskind:
Perempuan muda itu tampak sama sekali tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan perkataannya itu sebagai angin lalu. Namun, selang dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Pada tulisannya kritikus itu menyatakan, ‘’Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman.’’
Si perempuan muda itu mulai menggangap komentar sang kritikus tak lagi seperti angin lalu, kini ia mulai memikirkan soal itu.
Selanjutnya pada suatu malam, ia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakan-akan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulang-ulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, ‘’Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman.’’
Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, ‘’Mengapa aku tak memiliki kedalaman?’’
Segala upaya ia lakukan, segala buku tentang senirupa ia lahap dan tak cukup hingga di situ, semua galery senirupa bergengsi ia sambangi, namun tetap ia tak mampu memahami makna kedalaman seperti yang dikatakan si kritikus terhadap karyanya.
Dia hanya berkurung di studionya dan tak juga mampu berkarya. Mulai ketagihan obat anti depressant. Ketika terasa lelah, dia tertidur di kursi, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia mulai kecanduan alkohol, terus merokok sepanjang malam dan tak lagi menggambar.
Ketika seorang pebisnis barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, ‘’Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!’’
Akhirnya, karena lama tak muncul, saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tanda-tanda keruntuhan tampak di mana-mana; sketsa-sketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan!
Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga!
Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, ‘’Sekali lagi kita menyaksikan setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan seorang muda yang berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak (pen.: penderita gangguan jiwa) yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif (mawas diri) yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak memiliki kedalaman yang berakhir secara fatal.’’
Dua tokoh di atas adalah dampak dari sebuah gambaran yang berlatar sama, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Dua cerita kejadian tersebut dapat saja terus berlanjut dan salah satu dari kedua pilihan berbeda yang diambil dua tokoh di atas saya yakini akan tetap berlanjut, sadar atau tak sadar. Namun seni rupa terus berkembang melepaskan diri dari yang pernah ada, terbang tanpa batas, dengan komentar, tanggapan dan pemaknaan yang juga terus berkembang. Dan Danto, kritikus yang setia menulis itu mengkaji perkembangan itu dalam bukunya After the End of Art (1997). Ia menduga bahwa diperlukan cara pandang berbeda pada dunia seni rupa dengan segala prasarananya ketika senirupa bukan lagi terutama diapresiasi lewat melihat, namun juga dirasakan selanjutnya dimaknai.
Sanento Yuliman (1941-1992) seorang kritikus senirupa, menulis dalam katalogus pameran Seni Rupa Baru Indonesia, bahwa tak mungkin lagi kita hanya menikmati kaya-karya yang disajikan lewat ritme garis, nuansa warna, dan beragam bentuk ketika karya seni rupa bukan lagi susunan liris unsur kesenirupaan saja. Dengan kata lain, karya senirupa pada perkembangan setelah senirupa modern sesungguhnya seperti hendak menggeser sang rupa ke samping dan di tempat itu ditaruhlah mungkin itu tema, cerita, wacana, dan lain sebagainya, dan itulah bahagian-bahagian dari ‘kedalaman’.
Di Riau, beberapa upaya yang dilakukan untuk pemuatan makna dan kedalaman pada hasil karya senirupa pernah dilakukan Dewan Kesenian Riau kala itu, seperti kegiatan yang diberi tajuk ‘’Eksplorasi Dunia Raja Suran’’. Sebuah maha-karya sejarah (legenda Melayu) yang menjadi ‘inspiring’ sekaligus sumber gagasan penciptan dengan tentu saja, membuahkan pemaknaan yang berbeda dengan kadar pendalaman yang berbeda pula pada setiap individu perupa. Selanjutnya, kegiatan berhasrat sama dan diberi tajuk ‘’Bedah Idiom Alam’’.
Entah siapa yang duluan memulai, Riau atau pusat, bukanlah menjadi persoalan. Di pusat sana, Agung Hujatnikajennong dan kemudian Wahyuddin menyodorkan gagasan, mengapa para senirupawan tak berkarya bertolak dari seni yang lain, dan yang dimaksudkanya adalah seni sastra. Sebelumnya, adalah penyair Sitok Srengenge menggagas pameran karya seni rupa yang diciptakan berdasarkan puisi-puisi yang dipilih, yang kemudian diwujudkan bersama Wahyuddin sebagai kurator. Tiga pameran yang lahir dari gagasan Jennong (‘’Magainin’’, Jakarta Art Distric, akhir Februari 2010), Wahyuddin (‘’Tansfiguration’’, Jakarta Art Distric, April 2010), dan Sitok (‘’Perang, Kata, dan Rupa’’, Galeri Salihara, Juli 2009) menggoda kita ketika beranjak dari karya ke karya di ruang pameran (kalau berminat atau dianggap perlu) untuk mencocokkan yang kita lihat dengan karya sastra yang menjadi sumber diciptakannya karya tersebut.
Sebagai baris-baris penutup tulisan ini, usul-saran saya sampaikan tertuju kepada organisasi atau institusi formal yang mengurusi seni jenis ini, agar tak mengabaikan perihal asah-mengasah agar lebih ‘tajam’ dalam hal konsep dan hasil akhir tentu-saja. Agar dapat sekedar tak berprediket ‘udik’ dari daerah yang tak memiliki sebuahpun sekolah senirupa dan tentu saja agar tak menjadi tokoh cerita pendeknya Patrick Suskind yang drug addicted lalu mati tragis. Karena tumbuh kembangnya senirupa atau seni apa-saja, tak hanya selesai dengan berpamer-pameran, dengan kadar seremonial yang lebih diutamakan, setelah itu selesailah tugas dan menunggu lagi di tahun depan dan seterusnya dan seterusnya. n
SPN. Dantje S Moeis, Kelahiran Rengat Indragiri Hulu Riau. Adalah seniman perupa, bersama Furqon LW mendirikan Sindikat Kartunis Riau (SiKaRi) dan sekarang pembina, penulis kreatif, redaktur majalah budaya Sagang, anggota pengurus harian Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad).
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 September 2013
DISADARI ataupun tidak, beban yang dipikul seniman (dalam kaitan dengan tulisan ini adalah seniman perupa) kian hari terasa kian berat. Betapa banyak persoalan yang kemudian terus-menerus bermunculan jauh di luar sudut pandang standard estetika yang tampil dari suatu karya, yang semula menjadi ukuran umum bagi penilaian kualitas dan kepiawaian seniman pengkarya.
Mungkin karena persoalan itulah, seorang teman saya yang semula hanya berprediket sebagai pelukis ‘sahaja’ dengan hasil karya-karyanya yang cukup mumpuni. Kemudian buat menambah wawasan katanya, ia nyambi? kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana (S1). Walhasil, bukanlah sebuah usaha yang sia-sia. Setelah menyandang gelar Sarjana Seni (SSn), karya-karya yang dihasilkan tampak banyak berubah. Tidak lagi menampakkan karya dengan hasil sederhana, yang muncul kemudian adalah karya senirupa sarat muatan, sarat pencarian, sarat pesan dan yang paling menonjol adalah munculnya sebuah identitas baru dalam perkembangan senirupa di negeri ini.
Namun persoalannya tak tamat hingga di situ. Di tengah booming dan hiruk-pikuk orang-orang yang membicarakan kemunculan karya-karyanya, baik yang jujur, dengan argumentasi berukuran maupun yang asal bicara dan berpretensi meruntuhkan. Hal ini cukup menjadi ganjalan kemulusan hubungannya dengan kolektor maupun pebisnis seni (art dealer) yang menjadi mitra utama sekaligus pelecut semangat berkreativitas. Persoalan yang membuat ia menjadi gagap, gugup dan gentar melakukan hujjah tangkisan ataupun counter attack.
Sigap dengan latar belakang mencintai seni ini, plus kemapanan ekonomi yang diraih dari keteguhannya dalam membuat pilihan profesi, serta keinginan untuk melanggengkan eksistensinya di dunia senirupa, teman saya ini berkeputusan melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Magister Seni (MSn). Langkah ini tampaknya pun berhasil dan sambil mengucapkan selamat, sekedar untuk mengingatkan, via telepon saya sampaikan bahwa, ‘’Semua itu ada batasnya dan yang pasti seperti yang disampaikan dalam ungkapan Melayu, ‘makhluk hidup tak-kanlah dapat menongkat langit’. Itu saja,’’ kata saya mengakhiri percakapan.
Penyelesaian yang bertolak belakang dari yang dibuat oleh teman saya. Ketika membaca sebuah cerita pendek yang dimuat di Koran Tempo, karya Patrick Suskind seorang penulis Jerman dan diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari teks berbahasa Inggris oleh: Peter Howarth, berjudul Racun Kritikus.
Baris-baris pembukanya saya kutipkan seperti ini:
Pada pembentangan karya seni rupa perdananya, seorang perempuan muda dari Stuttgart yang membuat sketsa dengan sempurna indah, mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud negatif, bahkan dengan jujur berniat untuk menyemangati si perupa perempuan muda itu. Sang kritikus berkata, ‘’Yang Anda lakukan pada karya sketsa anda cukup menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman.’’
Selanjutnya dalam cerita Patrick Suskind:
Perempuan muda itu tampak sama sekali tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan perkataannya itu sebagai angin lalu. Namun, selang dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Pada tulisannya kritikus itu menyatakan, ‘’Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman.’’
Si perempuan muda itu mulai menggangap komentar sang kritikus tak lagi seperti angin lalu, kini ia mulai memikirkan soal itu.
Selanjutnya pada suatu malam, ia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakan-akan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulang-ulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, ‘’Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman.’’
Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, ‘’Mengapa aku tak memiliki kedalaman?’’
Segala upaya ia lakukan, segala buku tentang senirupa ia lahap dan tak cukup hingga di situ, semua galery senirupa bergengsi ia sambangi, namun tetap ia tak mampu memahami makna kedalaman seperti yang dikatakan si kritikus terhadap karyanya.
Dia hanya berkurung di studionya dan tak juga mampu berkarya. Mulai ketagihan obat anti depressant. Ketika terasa lelah, dia tertidur di kursi, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia mulai kecanduan alkohol, terus merokok sepanjang malam dan tak lagi menggambar.
Ketika seorang pebisnis barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, ‘’Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!’’
Akhirnya, karena lama tak muncul, saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tanda-tanda keruntuhan tampak di mana-mana; sketsa-sketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan!
Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga!
Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, ‘’Sekali lagi kita menyaksikan setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan seorang muda yang berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak (pen.: penderita gangguan jiwa) yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif (mawas diri) yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak memiliki kedalaman yang berakhir secara fatal.’’
Dua tokoh di atas adalah dampak dari sebuah gambaran yang berlatar sama, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Dua cerita kejadian tersebut dapat saja terus berlanjut dan salah satu dari kedua pilihan berbeda yang diambil dua tokoh di atas saya yakini akan tetap berlanjut, sadar atau tak sadar. Namun seni rupa terus berkembang melepaskan diri dari yang pernah ada, terbang tanpa batas, dengan komentar, tanggapan dan pemaknaan yang juga terus berkembang. Dan Danto, kritikus yang setia menulis itu mengkaji perkembangan itu dalam bukunya After the End of Art (1997). Ia menduga bahwa diperlukan cara pandang berbeda pada dunia seni rupa dengan segala prasarananya ketika senirupa bukan lagi terutama diapresiasi lewat melihat, namun juga dirasakan selanjutnya dimaknai.
Sanento Yuliman (1941-1992) seorang kritikus senirupa, menulis dalam katalogus pameran Seni Rupa Baru Indonesia, bahwa tak mungkin lagi kita hanya menikmati kaya-karya yang disajikan lewat ritme garis, nuansa warna, dan beragam bentuk ketika karya seni rupa bukan lagi susunan liris unsur kesenirupaan saja. Dengan kata lain, karya senirupa pada perkembangan setelah senirupa modern sesungguhnya seperti hendak menggeser sang rupa ke samping dan di tempat itu ditaruhlah mungkin itu tema, cerita, wacana, dan lain sebagainya, dan itulah bahagian-bahagian dari ‘kedalaman’.
Di Riau, beberapa upaya yang dilakukan untuk pemuatan makna dan kedalaman pada hasil karya senirupa pernah dilakukan Dewan Kesenian Riau kala itu, seperti kegiatan yang diberi tajuk ‘’Eksplorasi Dunia Raja Suran’’. Sebuah maha-karya sejarah (legenda Melayu) yang menjadi ‘inspiring’ sekaligus sumber gagasan penciptan dengan tentu saja, membuahkan pemaknaan yang berbeda dengan kadar pendalaman yang berbeda pula pada setiap individu perupa. Selanjutnya, kegiatan berhasrat sama dan diberi tajuk ‘’Bedah Idiom Alam’’.
Entah siapa yang duluan memulai, Riau atau pusat, bukanlah menjadi persoalan. Di pusat sana, Agung Hujatnikajennong dan kemudian Wahyuddin menyodorkan gagasan, mengapa para senirupawan tak berkarya bertolak dari seni yang lain, dan yang dimaksudkanya adalah seni sastra. Sebelumnya, adalah penyair Sitok Srengenge menggagas pameran karya seni rupa yang diciptakan berdasarkan puisi-puisi yang dipilih, yang kemudian diwujudkan bersama Wahyuddin sebagai kurator. Tiga pameran yang lahir dari gagasan Jennong (‘’Magainin’’, Jakarta Art Distric, akhir Februari 2010), Wahyuddin (‘’Tansfiguration’’, Jakarta Art Distric, April 2010), dan Sitok (‘’Perang, Kata, dan Rupa’’, Galeri Salihara, Juli 2009) menggoda kita ketika beranjak dari karya ke karya di ruang pameran (kalau berminat atau dianggap perlu) untuk mencocokkan yang kita lihat dengan karya sastra yang menjadi sumber diciptakannya karya tersebut.
Sebagai baris-baris penutup tulisan ini, usul-saran saya sampaikan tertuju kepada organisasi atau institusi formal yang mengurusi seni jenis ini, agar tak mengabaikan perihal asah-mengasah agar lebih ‘tajam’ dalam hal konsep dan hasil akhir tentu-saja. Agar dapat sekedar tak berprediket ‘udik’ dari daerah yang tak memiliki sebuahpun sekolah senirupa dan tentu saja agar tak menjadi tokoh cerita pendeknya Patrick Suskind yang drug addicted lalu mati tragis. Karena tumbuh kembangnya senirupa atau seni apa-saja, tak hanya selesai dengan berpamer-pameran, dengan kadar seremonial yang lebih diutamakan, setelah itu selesailah tugas dan menunggu lagi di tahun depan dan seterusnya dan seterusnya. n
SPN. Dantje S Moeis, Kelahiran Rengat Indragiri Hulu Riau. Adalah seniman perupa, bersama Furqon LW mendirikan Sindikat Kartunis Riau (SiKaRi) dan sekarang pembina, penulis kreatif, redaktur majalah budaya Sagang, anggota pengurus harian Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad).
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 September 2013
No comments:
Post a Comment