-- Rudy Polycarpus
GAZ 51 bermakna dalam bagi peraih Nobel Sastra 2012, Mo yan. Truk buatan Rusia itu melambangkan kecepatan, kekuatan, dan kekuasaan.
SETIAP orang memiliki artefak dalam hidupnya yang mampu membangkitkan suatu kenangan. Mo Yan, penulis asal China peraih Nobel Sastra 2012, mempunyai artefak dalam perjalanan hidupnya, yakni sebuah truk buatan Rusia, GAZ 51 (Gorkovsky Avtomobilny Zavod 51).
Dalam buku memoar berbentuk autobiografi yang berjudul Di Bawah Bendera Merah, Mo mengisahkan penggalan perjalanan hidupnya sejak 1969 hingga 2009. Dalam buku setebal 114 halaman itu, sosok truk GAZ 51 nan besar dan tangguh kerap hadir dalam setiap babnya.
Bagi Mo, GAZ 51 bermakna lebih dari sekadar sebuah truk militer. Ia sangat mengagumi truk yang dipakai pada Perang Dunia II itu. Ia pun melambangkannya sebagai representasi dari kecepatan, kekuatan, dan kekuasaan. Bahkan ia bercita-cita sederhana, yakni menjadi sopir GAZ 51. "GAZ 51 bagi Mo Yan memiliki peran yang sangat penting. Alegori berupa truk selalu hadir di setiap babnya. Di buku ini, GAZ 51 dianggap memiliki nyawa oleh Mo Yan. Truk ini adalah kekuatan utama buku ini," kata penulis Damhuri Muhammad dalam diskusi Opini Media Indonesia, pekan kemarin.
Buku itu menceritakan perjalanan masa kecilnya hingga menjadi seorang penulis tersohor. Berlatar belakang situasi politik di China yakni Revolusi Kebudayaan yang digagas Mao Tse Tung. Kisah dalam buku tersebut penuh dengan uraian mengenai kehidupan situasi Revolusi Kebudayaan di China yang mewakili kehidupan kaum jelata di negara tersebut.
Ia pun mengaitkan gejolak sosial tersebut ke dalam kehidupan personalnya. Selain GAZ 51, He Zhiwu, teman sekelasnya, ialah sosok lain yang paling Mo Yan kagumi. Kebetulan, mereka berdua memiliki obsesi yang sama terhadap GAZ 51. Truk itu kemudian dilambangkan Mo Yan sebagai obsesi He Zhiwu untuk mengejar kesuksesan dan merebut hati Lu Wenli. Lu Wenli merupakan sosok perempuan cantik, anak seorang pemilik GAZ 51.
Mengejar obsesi
Lahir pada 1955 sebagai anak petani, Mo Yan dibesarkan di Gaomi, Provinsi Shandong, di timur laut China. Pada masa itu, bertani ialah pekerjaan terendah dalam undakan tangga sosial di negeri komunis tersebut. Ia mengubah nasib serta mengejar obsesi dan cita-citanya mengendarai GAZ 51. Mo kemudian bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat. Di kesatuannya, Mo dianggap terlalu berbakat untuk sekadar menjadi sopir kendaraan militer. Ternyata kariernya di ketentaraan itulah yang mengantarnya menjadi seorang penulis.
Sebagai seorang penulis realis, Mo kerap memakai kalimat-kalimat menggelitik. Gaya bercerita seperti itu membuat Annisa Dwi Lestari terpikat pada buku tersebut. "Bahasanya ringan dan mengalir, membuat ingin terus dibaca. Kisah hidupnya juga inspiratif," kata Annisa.
Pendapat senada juga diungkapkan peserta diskusi lainnya, Budi Cahya Timur. Narasi yang sederhana berbalut dengan imajinasi-imajinasi yang memikat membuat Budi turut larut ke dalam alur cerita. "Sayang bagian akhirnya terkesan nanggung, seperti tergesa-gesa. Namun, lucu juga saat GAZ 51 disamakan dengan sosok Lu Wenli yang semakin berumur," ujarnya.
Ali Sobri mengatakan, selain sebuah autobiografi yang unik, Mo kerap bersembunyi di balik tokoh-tokoh lain untuk menggambarkan dirinya.
Mo ialah warga pertama China yang memenangi Nobel Sastra. Sastrawan Gao Xingjian pernah mendapat Nobel Sastra pada 2000, tetapi ia merupakan warga negara Prancis keturunan China. Penulis yang lahir dengan nama Guan Moye itu memilih Mo Yan sebagai nama pena, yang berarti 'tidak berbicara' dalam bahasa China.
Mo mulai dikenal dan diakui dunia internasional pada 1987 saat menerbitkan tulisan berjudul Red Sorghum: A Novel of China, yang kemudian dibuat menjadi sebuah film.
Annisa Dwi Lestari: "Bahasanya ringan dan mengalir, membuat ingin terus dibaca. Kisah hidupnya juga inspiratif."
Budi Cahya Timur: "Narasi yang sederhana berbalut dengan imajinasi-imajinasi yang memikat. Sayang bagian akhirnya terkesan nanggung, seperti tergesa-gesa. Namun lucu juga saat GAZ 51 disamakan dengan sosok Lu Wenli yang semakin berumur."
Ali Sobri: "Sebuah autobiografi yang unik, Mo kerap bersembunyi di balik tokoh-tokoh lain untuk menggambarkan dirinya."
Aan Widiatman: "Begitu banyak yang ingin disampaikan Mo Yan. Memoar ini menyadarkan, hidup lebih hidup jika kita punya kenangan yang menyuburkan cinta."
Windhi Swandhani: "Novel autobiografi ini membangkitkan motivasi bagi pembacanya untuk mengembangkan mimpi serta konsisten terhadap cita-citanya meski mungkin menghadapi kegagalan atau dihambat oleh keadaan." (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 September 2013
GAZ 51 bermakna dalam bagi peraih Nobel Sastra 2012, Mo yan. Truk buatan Rusia itu melambangkan kecepatan, kekuatan, dan kekuasaan.
Di bawah Bendera Merah karya Mo Yan. |
Dalam buku memoar berbentuk autobiografi yang berjudul Di Bawah Bendera Merah, Mo mengisahkan penggalan perjalanan hidupnya sejak 1969 hingga 2009. Dalam buku setebal 114 halaman itu, sosok truk GAZ 51 nan besar dan tangguh kerap hadir dalam setiap babnya.
Bagi Mo, GAZ 51 bermakna lebih dari sekadar sebuah truk militer. Ia sangat mengagumi truk yang dipakai pada Perang Dunia II itu. Ia pun melambangkannya sebagai representasi dari kecepatan, kekuatan, dan kekuasaan. Bahkan ia bercita-cita sederhana, yakni menjadi sopir GAZ 51. "GAZ 51 bagi Mo Yan memiliki peran yang sangat penting. Alegori berupa truk selalu hadir di setiap babnya. Di buku ini, GAZ 51 dianggap memiliki nyawa oleh Mo Yan. Truk ini adalah kekuatan utama buku ini," kata penulis Damhuri Muhammad dalam diskusi Opini Media Indonesia, pekan kemarin.
Buku itu menceritakan perjalanan masa kecilnya hingga menjadi seorang penulis tersohor. Berlatar belakang situasi politik di China yakni Revolusi Kebudayaan yang digagas Mao Tse Tung. Kisah dalam buku tersebut penuh dengan uraian mengenai kehidupan situasi Revolusi Kebudayaan di China yang mewakili kehidupan kaum jelata di negara tersebut.
Ia pun mengaitkan gejolak sosial tersebut ke dalam kehidupan personalnya. Selain GAZ 51, He Zhiwu, teman sekelasnya, ialah sosok lain yang paling Mo Yan kagumi. Kebetulan, mereka berdua memiliki obsesi yang sama terhadap GAZ 51. Truk itu kemudian dilambangkan Mo Yan sebagai obsesi He Zhiwu untuk mengejar kesuksesan dan merebut hati Lu Wenli. Lu Wenli merupakan sosok perempuan cantik, anak seorang pemilik GAZ 51.
Mengejar obsesi
Lahir pada 1955 sebagai anak petani, Mo Yan dibesarkan di Gaomi, Provinsi Shandong, di timur laut China. Pada masa itu, bertani ialah pekerjaan terendah dalam undakan tangga sosial di negeri komunis tersebut. Ia mengubah nasib serta mengejar obsesi dan cita-citanya mengendarai GAZ 51. Mo kemudian bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat. Di kesatuannya, Mo dianggap terlalu berbakat untuk sekadar menjadi sopir kendaraan militer. Ternyata kariernya di ketentaraan itulah yang mengantarnya menjadi seorang penulis.
Sebagai seorang penulis realis, Mo kerap memakai kalimat-kalimat menggelitik. Gaya bercerita seperti itu membuat Annisa Dwi Lestari terpikat pada buku tersebut. "Bahasanya ringan dan mengalir, membuat ingin terus dibaca. Kisah hidupnya juga inspiratif," kata Annisa.
Pendapat senada juga diungkapkan peserta diskusi lainnya, Budi Cahya Timur. Narasi yang sederhana berbalut dengan imajinasi-imajinasi yang memikat membuat Budi turut larut ke dalam alur cerita. "Sayang bagian akhirnya terkesan nanggung, seperti tergesa-gesa. Namun, lucu juga saat GAZ 51 disamakan dengan sosok Lu Wenli yang semakin berumur," ujarnya.
Ali Sobri mengatakan, selain sebuah autobiografi yang unik, Mo kerap bersembunyi di balik tokoh-tokoh lain untuk menggambarkan dirinya.
Mo ialah warga pertama China yang memenangi Nobel Sastra. Sastrawan Gao Xingjian pernah mendapat Nobel Sastra pada 2000, tetapi ia merupakan warga negara Prancis keturunan China. Penulis yang lahir dengan nama Guan Moye itu memilih Mo Yan sebagai nama pena, yang berarti 'tidak berbicara' dalam bahasa China.
Mo mulai dikenal dan diakui dunia internasional pada 1987 saat menerbitkan tulisan berjudul Red Sorghum: A Novel of China, yang kemudian dibuat menjadi sebuah film.
Annisa Dwi Lestari: "Bahasanya ringan dan mengalir, membuat ingin terus dibaca. Kisah hidupnya juga inspiratif."
Budi Cahya Timur: "Narasi yang sederhana berbalut dengan imajinasi-imajinasi yang memikat. Sayang bagian akhirnya terkesan nanggung, seperti tergesa-gesa. Namun lucu juga saat GAZ 51 disamakan dengan sosok Lu Wenli yang semakin berumur."
Ali Sobri: "Sebuah autobiografi yang unik, Mo kerap bersembunyi di balik tokoh-tokoh lain untuk menggambarkan dirinya."
Aan Widiatman: "Begitu banyak yang ingin disampaikan Mo Yan. Memoar ini menyadarkan, hidup lebih hidup jika kita punya kenangan yang menyuburkan cinta."
Windhi Swandhani: "Novel autobiografi ini membangkitkan motivasi bagi pembacanya untuk mengembangkan mimpi serta konsisten terhadap cita-citanya meski mungkin menghadapi kegagalan atau dihambat oleh keadaan." (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 September 2013
No comments:
Post a Comment