Wednesday, September 18, 2013

Pengkhianatan Cendekiawan

-- Paulus Mujiran

BANYAK kalangan terperangah, tidak percaya, dan kaget ketika Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap.

Rudi, selain seorang ilmuwan karena menyandang guru besar perminyakan dari Institut Teknologi Bandung juga sosok yang sederhana karena setiap pulang kampung ke Tasikmalaya selalu naik kereta ekonomi. Dugaan publik ternyata meleset. Yang menjadi pertanyaan, seorang akademisi bisa melakukan tindakan sehina itu bahkan dalam status seorang guru besar.

Di media jejaring sosial beredar pernyataan setengah tidak percaya bagaimana mungkin seorang guru besar menerima suap.

Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo ada perubahan besar dalam diri Rubiandini setelah menjadi penyelenggara negara. Ia pun tergelincir licinnya tender di sektor migas. Berkaca dari terjeratnya cendekiawan dalam kasus korupsi benar-benar memprihatinkan.

Mereka yang terjerat korupsi itu cendekiawan yang ahli dalam bidangnya. Padahal, secara etika dan moral kekuasaan berada pada posisi lebih rendah ketimbang martabat seorang cendekiawan.

Yang menarik tentu saja mendorong Rudi Rubiandini melakukan korupsi. Menurut informasi yang beredar, gaji Rudi sebagai kepala SKK Migas berkisar Rp300 juta dan dalam kapasitasnya sebagai komisaris Bank Mandiri gajinya Rp82 juta, belum gaji sebagai dosen dan guru besar di ITB.

Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan Rudi sengaja digaji besar agar tidak tergiur godaan korupsi. Kenyataan menunjukkan gaji besar tidak menjamin seseorang terbebas dari godaan berkorupsi.

Julian Benda yang menulis buku klasik Pengkhianatan Kaum Intelektual membagi masyarakat ke dalam dua bagian yang tidak berkaitan satu sama lain.

Pertama, cendekiawan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran utama. Cendekiawan ini mengembangkan diri dalam metode ilmiah dan mencari kebenaran. Karena itu, cendekiawan sosok asketisisme yang tidak mementingkan kekayaan dan manisnya kekuasaan. Hidup cendekiawan dihayati dalam kesederhanaan dan keprihatinan.

Kelompok kedua, yakni golongan kaum awam yang seluruh hidupnya terkait fungsi mengejar kepentingan material duniawi. Yang masuk dalam golongan ini para politikus, masyarakat biasa, dan pedagang. Oleh Benda, kaum awam ditempatkan dalam posisi lebih rendah dari cendekiawan.

Karena itu, intelektual yang mengabdi kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap sebagai pengkhianat. Mereka mengingkari tujuan hidupnya sekaligus kelasnya yang terhormat (Dhakidae, 2001).

Era reformasi membuat cendekiawan tidak berjarak dengan kekuasaan. Eksistensi kekuasaan (baca=pemerintahan) tidak mungkin bertahan tanpa keberadaan kaum cendekiawan. Cendekiawan tidak mungkin ada tanpa ada politik kekuasaan. Relasi kekuasaan dan cendekiawan selalu mengundang pro dan kontra.

Mazhab Benda ini berpendapat kaum cendekiawan harus berjarak dengan politik kekuasaan. Sementara mazhab Gramscian menyatakan kaum cendekiawan harus memihak dengan kelas atau kelompok tertentu.

Sejarah panjang orde baru tidak lepas dari pergulatan kaum cendekiawan yang tergabung dalam Center for Strategis and International Studies (CSIS) yang menjadi lembaga pemikir berpengaruh di zaman Soeharto berkuasa. Demikian juga dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pengujung orde baru dan peran B.J. Habibie. Belakangan berbondong-bondong cendekiawan memasuki kancah politik praktis untuk meraih kekuasaan.

Masuknya kaum cendekiawan ke politik kekuasaan dimaksudkan agar dapat membenahi sistem birokrasi yang korup. Namun, yang terjadi belakangan ini banyak akademisi gagal membenahi birokrasi dan sebagian di antaranya justru terjerat kasus korupsi. Kekuasaan turut menentukan hitam-putihnya seorang cendekiawan.

Seorang cendekiawan yang bersih sekalipun dapat terjerat korupsi ketika lingkungan dan sistem kerjanya memberi kesempatan untuknya. Institusi kekuasaan turut mempengaruhi kinerja seorang cendekiawan yang duduk dalam jajaran birokrasi.

Tentang cendekiawan yang terjerat korupsi, Dhakidae (2003) memberikan gambaran yang lebih sederhana. Cendekiawan lahir dari pola hubungan antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun seorang cendekiawan merupakan anak kandung kebudayaan, keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan.

Dalam alur pemikiran ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari kekuasaan mudah tergelincir menyalahgunakan jabatannya, termasuk melakukan tindak pidana korupsi (Danang Widoyoko, 2005).

Sosok Rudi Rubiandini yang digambarkan banyak kalangan sebagai ilmuwan cerdas, mahasiswa teladan, dosen teladan, bahkan guru besar, serta penampilan yang sederhana kerap menipu. Apalagi penampilan lebih sering sebagai ajang untuk pencitraan belaka. Keluguan tampak pada saat ditangkap KPK dengan menyatakan dirinya tidak korupsi hanya terjerat gratifikasi.

Rudi mungkin lupa pada sumpahnya akan seorang pejabat negara haram hukumnya menerima pemberian semacam itu yang dapat dikategorikan sebagai suap.

Dalam perspektif ini, tindakan Rudi dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan cendekiawan. Mestinya kaum cendekiawan mampu berperan sebagai penjaga moral sekaligus pejuang untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Korupsi merupakan salah satu masalah besar bangsa ini yang membawa bangsa ini terus berkubang dalam keterpurukan dan penderitaan. Jika benar hasil korupsi Rudi akan diberikan kepada partai politik tertentu, tindakan Rudi dapat dikategorikan sebagai cendekiawan yang tidak saja mengabdi tetapi budak kekuasaan.

Kehadiran cendekiawan dalam ranah politik untuk menggulirkan ide-ide perubahan, bukan sebaliknya justru diperbudak kekuasaan.

Kaum cendekiawan tidak akan luntur perannya manakala tetap mendudukkan diri sebagai resi atau begawan yang berani berjarak dengan peristwa sosial politik dan tidak perlu larut ke dalamnya. Ia harus berada di atas angin agar tidak mudah terkena semilir sejuk godaaan dolar dan kilauan mutiara berharga.

Karena itu, kasus yang menjerat Rudi Rubiandini bisa jadi bukan yang pertama dan terakhir. Seiring dengan berbondong-bondongnya kaum cendekiawan memasuki kancah politik dengan menjadi calon legislatif, pengurus partai politik, godaan itu kian besar.

Jika pada masa lalu politikus yang berlatar belakang cendekiawan begitu dipercaya karena kesucian dan kejujurannya, kini amatlah sulit membedakan mana politikus murni dan mana politikus yang berasal dari kalangan cendekiawan.

Daoed Joesoef (2001) menamakan zaman ini sebagai zaman edan. Pendidikan nasional tidak justru memberikan kontribusi pada pemecahan permasalahan bangsa. Kekuatan intelektual tidak mampu mempertahankan keintelektualitasnya, bahkan ikut larut dalam perkembangan yang ada.

Kaum intelektual gagal menyuarakan kebenaran, bahkan sebagian di antaranya larut dalam manisnya kue kekuasaan. Ada pepatah untuk apa garam kalau sudah tidak mampu mengasinkan. Tidak ada gunanya lagi selain dibuang ke laut.

Cendekiawan ibarat garam dan pelita. Kalau garam tidak mampu mengasinkan, tidak lagi berguna. Begitu juga dengan pelita kalau tidak mampu menerangi tak lebih sebagai rongsokan barang loakan. Manisnya kekuasaan memang menarik. Kekuasaan itu menggiurkan, tetapi dalam sekejap dapat menjatuhkan manusia ke dalam jurang kenistaan, kepongahan, dan kerakusan.

Paulus Mujiran, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 September 2013


No comments: