Sunday, September 01, 2013

[Buku] Novel dan Nostalgia Asmara

KESUSASTRAAN modern di Indonesia bertumbuh bersama novel moncer, Sitti Nurbaya (1922). Marah Rusli (1889?1968) menulis novel itu merujuk ke biografi, nasib sebagai lelaki dalam belitan asmara dan adat istiadat. Marah Rusli hidup di zaman modern, menghirup modernitas dan memiliki jejak adat Minangkabau. Persoalan-persoalan pelik sulit ditanggulangi secara lugas, rawan menimbulkan polemik dan pertikaian.

Marah Rusli memilih novel, bentuk pengungkapan untuk kritik dan refleksi asmara berlatar adat istiadat, kolonialisme, modernitas, keindonesiaan.

Marah Rusli telah menjadi nama legendaris, tercatat di sejarah sastra Indonesia. Murid-murid di sekolah dan para pengarang selalu mengenal dan mengingat Marah Rusli, bermula dari sajian materi di buku pelajaran sampai ke soal-soal ujian. Marah Rusli memang pengarang kondang, mengajukan bacaan-bacaan mengesankan bagi publik sastra: Sitti Nurbaya (1922), La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956). Pamusuk Eneste dalam buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1990) mencatat tentang judul novel garapan Marah Rusli meski diberi keterangan belum diterbitkan: Memang Jodoh.

Keterangan mengejutkan kita dapati saat penerbitan novel berjudul Memang Jodoh (2013) oleh Qanita. Di sampul buku, penerbit memberi imbuhan keterangan: Novel terakhir dari penulis Sitti Nurbaya. Penerbitan novel ini mesti menunggu puluhan tahun untuk terbit menjadi buku. Marah Rusli merampungkan penulisan Memang Jodoh pada 1961. Penantian panjang, mengandung alasan-alasan pribadi. Rully Roesli, cucu Marah Rusli, menerangkan: ?Buku Memang Jodoh adalah cara beliau untuk memprotes anjuran poligami dari keluarga di Padang.? Buku ini bisa terbit bergantung wasiat Marah Rusli. Novel Memang Jodoh boleh diterbitkan setelah orang-orang di penceritaan dalam novel meninggal dunia. Marah Rusli tak ingin memberi sakit dan luka bagi keluarga dan orang-orang terdekat. Wasiat itu dipenuhi. Novel Memang Jodoh pun terbit, menjadi bacaan publik, mengingatkan nostalgia asmaranisme dan sentimentalitas mengacu ke novel Sitti Nurbaya.

Tokoh utama dalam novel bernama Marah Hamli. Pengarang sengaja menggunakan nama samaran, menghindari ketersinggungan atau konflik. Marah Rusli mengisahkan episode kehidupan di Padang, perantauan ke Jawa, asmara berbeda suku, pandangan politik, lakon pekerjaan, dunia keluarga. Penceritaan disajikan runtut, dari masa bocah sampai usia tua. Marah Hamli mengalami pelbagai cobaan dalam ikhtiar menggapai idealitas. Percampuran konflik keluarga, ketidakberesan studi, keterlenaan asmara diolah secara impresif, memunculkan renungan-renungan pelik.

Kehidupan di lingkungan adat sering menguak pertentangan diri dengan anutan publik. Resistensi bakal mendapati konsekuensi kebencian, pengasingan, permusuhan. Marah Hamli mafhum tentang biografi keluarga pecah akibat pelaksanaan adat istiadat, represi berdalih kesemuan harga diri. Perceraian ibu dan bapak mengakibatkan trauma, luka sulit tersembuhkan. Mereka dipisahkan oleh imperatif adat istiadat.

Marah Hamli tak ingin mengulangi, melawan poligami dengan pengharapan dan lara. Adegan-adegan kehidupan saat di Padang berlanjut ke Jawa untuk melanjutkan sekolah sering mengundang keharuan. Kita diajak menghampiri dunia batin para tokoh, merasakan gejolak emosionalitas.

Pengarang memberi keterangan: ??kutuliskan cerita Memang Jodoh ini, sebagai tanda mata bagi istriku terkasih, pada hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-50. Semoga menjadi kenang-kenangan bagi anak cucuku; karena cerita ini berisi seluruh kejadian kejadian dan peristiwa yang telah kami alami dan kami rasakan, selama setengah abad itu.? Pesan ini membuktikan keinginan Marah Rusli memberi warisan cerita, menurunkan hikmah hidup berbingkai asmara. Pernikahan dengan istri asal Sunda hendak dijadikan keteladanan agar anak dan cucu tak terkungkung adat di Minangkabau, menentang poligami meski menanggung derita dan lara. Pamrih mewariskan cerita mengesankan kejujuran bergelimang nasihat. Marah Rusli adalah penentang poligami berdalih adat, membahasakan perlawanan dengan menulis novel sebagai rujukan refleksi.

Perlawanan itu terjadi saat di Minangkabau masih menjalankan adat kuno. Marah Rusli mafhum perubahan zaman bakal turut mengubah anutan adat istiadat, memunculkan pengertian dan tindakan berbeda. Novel-novel Marah Rusli memang reaksi dari pemberlakuan adat, selama masa kolonial. Pengarang selalu berharapan poligami tak lagi diberlakukan, berbarengan perubahan situasi zaman. Novel-novel jadi dokumentasi masa lalu, bacaan untuk mengenang represi adat dan poligami. Penerbitan novel Sitti Nurbaya (1922) sampai perampungan penulisan novel Memang Jodoh (1961) tak dimaksudkan Marah Rusli untuk ?mencela, menghina, menempelak, atau menyesali kaumku sendiri.? Niat tulus Marah Rusli adalah mengingatkan tentang kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat istiadat di masa silam.

Kita mendapati novel Memang Jodoh di abad XXI. Zaman berubah! Pembacaan novel hampir biografis tentang adat istiadat Minangkau tentu menjadi refleksi historis-kultural. Kita bisa menilik masa silam, mengerti kejiwaan manusia saat meladeni dilema adat dan modernisasi. Novel ini tersajikan dengan nuansa bahasa lawas dan dramatisasi merujuk ke romantisme Balai Pustaka. Kita sulit memberi tuntutan berlebihan untuk kebermaknaan Memang Jodoh berlatar situasi sastra di Indonesia abad XXI.

Novel ini mengajak kita kembali ke masa lalu, membaca cerita berhikmah meski sulit mengelak dari klise dan repetisi. Warisan Marah Rusli ini menggenapi nostalgia kolektif kita, sejak mengenal dan mengenang novel Sitti Nurbaya. Marah Rusli tak enggan memberi cerita meski kita mesti menunggu kehadiran Memang Jodoh selama puluhan tahun. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 September 2013


No comments: