Sunday, September 15, 2013

Terbengkalainya Museum Kita

 -- Ferdinand
Peraturan pemerintah sebagaimana dimandatkan UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya belum juga terbit.

NASKAH-NASKAH kuno itu teronggok, tertumpuk di gudang Museum Radya Pustaka, Surakarta, Jawa Tengah. Ia yang punya nilai sejarah teramat tinggi justru diperlakukan teramat rendah.

Naskah-naskah kuno koleksi Radya Pustaka menjadi referensi utama peneliti dalam negeri ataupun asing yang ingin mendalami sejarah Jawa. Namun, pengelola museum minim daya untuk menempatkannya secara terhormat.

"Kami masih mengalami kendala dalam pemeliharaan dan pengelolaan. Sebagian besar koleksi buku dan naskah hanya disimpan di gudang belakang, tetapi tahun depan akan mulai ditata," ucap Ketua Komite Museum Radya Pustaka Purnomo Subagyo, kemarin.

Sebagai museum tertua di Indonesia yang dibangun pada 28 Oktober 1890, Radya Pustaka terbilang merana. Tak cuma buruk dalam perawatan, benda koleksi juga rawan pencurian. Pada 2007 silam, misalnya, lima arca kuno raib digasak maling. Sejak itu pengamanan ditingkatkan antara lain dengan pemasangan 15 unit CCTV. "Setiap pintu juga dipasangi alarm, tetapi kami petugas jaga malam cuma dua orang," ucap Purnomo.

Lagi-lagi, optimalisasi pengelolaan Museum Radya Pustaka terkendala dana. Purnomo menjelaskan, dari penjualan tiket setiap bulan, rata-rata yang didapat hanya Rp3 juta. Padahal, biaya operasional Rp400 juta per bulan.

Museum Keraton Kasepuhan Cirebon segendang sepenarian. Benda-benda bernilai sejarah tinggi seperti kereta kencana, lukisan, keramik, senjata, dan gamelan yang dipakai Wali Songo untuk berdakwah terpajang ala kadarnya. Tidak ada keterangan lengkap tentang benda-benda itu.

Perawatannya pun terkesan asal-asalan. Kulit binatang pada alat musik rebana terlihat robek di sana-sini. Pengamanannya juga tak maksimal, bahkan beberapa tahun lalu sebuah keris hilang dan hingga kini belum ditemukan. "Sudah dilaporkan ke polisi," kata seorang pemandu.

Museum Radya Pustaka dan Museum Keraton Kasepuhan Cirebon hanyalah sedikit contoh korban dari minimnya kepedulian atas peninggalan sejarah. Minimnya kepedulian juga menyebabkan hilangnya empat koleksi emas abad ke-10 hingga ke-11 milik Museum Nasional, Jakarta, Rabu (11/9).

Tidak belajar

Menurut Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Johannes Marbun, pemerintah tidak pernah belajar dari kasus-kasus pencurian museum sebelumnya. Tak cuma di Museum Nasional yang sejak 1960 sudah lima kali dibobol maling, pencurian juga merambah Museum Radya Pustaka (2007 dan 2011), Kasepuhan Cirebon (2011), hingga yang terbesar di Museum Sonobudoyo (2010). Celakanya lagi, benda-benda bersejarah yang digondol penjahat itu belum ditemukan hingga kini.

Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap permuseuman, imbuh Johannes, kian sulit dibantah lantaran hingga kini peraturan pemerintah sebagaimana dimandatkan UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya belum juga terbit. "Padahal, seharusnya PP Permuseuman sudah disahkan selambat-lambatnya setahun setelah UU diundangkan, yaitu November 2010."

"Dari peristiwa kehilangan itu dapat disimpulkan pemerintah dan masyarakat belum memiliki kepedulian akan betapa pentingnya warisan budaya yang memiliki manfaat strategis bangsa," timpal pemerhati budaya yang juga Guru Besar Universitas Negeri Jember Ayu Sutarto.

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya perbaikan demi kemajuan museum di Indonesia. Untuk mengusut hilangnya koleksi Museum Nasional, Kacung mengatakan pihaknya masih melakukan investigasi internal dan bekerja sama dengan kepolisian dalam aspek pidana. (Uka/Bay/AT/X-8)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013

No comments: