-- Bayu Arsiadhi
PERKEMBANGAN ilmu musik yang kini marak menjadi pembicaraan di kalangan akademisi musik adalah usaha pengelompokan ulang suatu genre musik yang berkategori seni. Tiga puluh tahun lalu, para teoritikus beranggapan era Renaisans, Barok, Klasik, Romantik adalah zaman lahirnya musik-musik seni, secara kolektif dikenal dengan istilah ‘klasik’ oleh masyarakat awam. Dari aspek komposisi dan komposer, musik di era ini pun relatif didefinisikan dengan baik. Kini, repertoar (naskah) musik bukan satu-satu parameter yang dianggap relevan. Terutama berpijak pada posmodernisme, semua kategori sedang dalam perumusan ulang.
Praktis, kita bisa berbicara bahwa tango, rock, zapin, joget dan simfoni Beethoven semua sama. Hal ini memiliki sisi positif, karena menganggap semua jenis musik bertujuan sama, dan negatif, meskipun diteliti dengan cara yang berbeda akan menuai hasil yang sama.
Lebih dari sekedar parameter jenis atau genre bagi musik seni. Berbagai jenis musik menghasilkan fungsi dan pengalaman yang berbeda, secara umum dapat dipahami dan dibahas. Mengingat keterbatasan ruang, meski tak mencakup keseluruhan, namun, beberapa konsep berikut ini yang bisa memperjelas.
Mulai dari populer, etnis (zapin, langgam, keroncong, jazz, blues dsb) dipahami sebagai musik fungsional (ada transmisi sosial secara langsung). Sebaliknya, berbeda dengan tradisi musik seni Barat, tanpa terlalu risau apakah bobotnya sudah pantas untuk dijadikan produk jualan. Secara historis, musik fungsional berkomunikasi dengan audiens lebih gamblang dan membumi, sehingga pemikiran penciptanya dapat dijangkau oleh khalayak luas. Sementara musisi non-fungsional (umumnya di kalangan akademis) sering dipuja karena potensinya untuk menimbulkan reaksi kuat dalam khalayak- sarat dengan penolakan dan penerimaan oleh khalayak.
Selain perbedaan fungsi musik, ada beberapa konsep penting yang bisa dipertimbangkan- pengalaman dan respon yang ditimbulkan. Respon berbeda dapat dijelaskan ketika membaca novel karangan Michael Crichton atau Mickey Spillane dengan James Joyce atau Borges. Meskipun salah satu tidak selalu lebih baik dari yang lain, namun karya mereka memberi tanggapan yang berbeda. Karangan oleh dua penulis pertama termasuk cerita besar dan menyenangkan. Buku dari dua pengarang terakhir jauh lebih abstrak, membaca berulang-ulang diperlukan untuk menangkap semua rincian serta konsep abstrak yang disajikan, bagi sekelompok orang pengalaman ini menyenangkan.
Analogi yang sama dibuat ketika memeriksa seni visual. Respon yang timbul dari melihat lukisan pemandangan laut (representasional) dalam sapuan cat air oleh Carolyn Blish, tak sama saat melihat Guernica oleh Picasso. Cat air dapat menyenangkan mata atau bahkan mampu membuat kesan ‘hidup’ suatu ruangan. Pada Guernica, seseorang yang tak terlatih akan sulit menangkap citra abstrak dan penggambaran surealistik suatu peristiwa mengerikan. Melihat berulang kali sangat diperlukan untuk memahami secara rinci, yang mungkin menarik bagi seseorang dan tidak bagi yang lain. Seperti contoh di atas, pengalaman ini tidak lebih baik atau lebih buruk; namun cukup berbeda.
Kasus serupa jika dibuat dalam musik, tanggapan seseorang ketika mendengar musik dari Michael Jackson, Julio Iglesias, Madonna, tidak sama dengan respon mendengar Rite of Spring karya Stravinsky, Svara karya Abdul Sjukur, Symphonie Fantastique karya Berlioz. Kelompok pertama dapat membawa seseorang untuk bergerak dan menari, bernyanyi bersama, atau berbicara dengan teman di cafe, tidak begitu dengan kelompok kedua. Dari karya Stravinsky, Berlioz, Sjukur, seseorang mungkin dapat berasimilasi dan bereaksi setelah menaruh atensi penuh dalam mendengar, sementara ini mungkin tidak terjadi dengan contoh pertama. Sekali lagi, satu kelompok tidak lebih baik dari yang lain, melainkan tanggapan yang diberikan suatu karya dan pengalaman seseorang sangat berbeda.
Setiap contoh terakhir lebih abstrak dari yang pertama (umumnya dipinggirkan dalam realitas kehidupan). Lalu, apakah ini membuat satu pengalaman lebih baik dari yang lain? Saya rasa tidak, karena pengalaman yang lebih abstrak mungkin tampak lebih substantif, meskipun seringkali menimbulkan ketidaknyamanan. Dengan kata lain, aktivitas yang dapat mengundang atensi publik secara luas haruslah tidak biasa, memiliki kesan tidak dapat dilakukan oleh orang awam, dan fakta yang dipertunjukkan membuat kita tercengan. Pada saat yang sama, penerimaan oleh massa, tidak selalu ada sesuatu yang berharga. Banyak contoh di mana penerimaan oleh massa tersirat hal-hal yang mungkin dangkal dan minus nilai.
Apa implikasi dari pandangan ini? Pertama, gaya bukanlah faktor utama ketika mendefinisikan apakah musik seni atau tidak, alih-alih sampai batas tertentu fungsi musik. Sedangkan pengalaman dapat dikatakan realitas terdekat dari kehidupan kita. Maka, jika saya ditanya seseorang tentang jazz, jawabannya, siapa yang Anda maksud -John Coltrane atau Kenny G? Jenis pengalaman apa yang dihasilkan dari musik mereka? Hal yang sama untuk beberapa musisi rock dan pop, apa yang Anda maksud Michael Jackson atau Freedy Mercury? Bagaimana dengan musik fungsional Mozart, Haydn, Beethoven dkk? Apakah ini termasuk hal yang abu-abu? Tentu saja tidak, ada banyak masalah untuk terus dibahas. Beberapa genre dan karya akan sulit dijelaskan, tapi itulah yang menyebabkan berbicara musik begitu menarik.
Terakhir, sebuah kata singkat tentang label musik seni. Beberapa kalangan yang lebih sensitif beranggapan hal itu merendahkan musik lain, tersirat suatu seni lebih tinggi daripada lainnya. Perlu dicatat, pelabelan musik seni berasal dari beberapa lagu yang dikategorikan sebagai lagu seni pada abad ke-19 di Eropa, sebagai cara untuk membedakan lagu-lagu di era lainnya. Tidak berarti bahwa itu lebih unggul dari musik lainnya. Saya pribadi merasa tidak relevan bila musik klasik disebut sebagai musik seni. Bisa dikatakan akibat dari pemasaran massal, di mana istilah “musik klasik” adalah pilihan masyarakat, tak hirau apakah yang mereka bicarakan Bach (pada era Barok) atau Beethoven (pada era Romantik).
Apa yang saya usulkan dalam artikel singkat ini tidak dimaksudkan sebagai tes dan proper dalam upaya mengategorikan musik, melainkan strategi menghadapi fenomena yang menurut saya jelas ada. Hal ini juga, untuk memberikan beberapa konsep filosofis kepada musisi. The Truth is not out there, the truth is inside! jika kita hanya mau menerima kebenaran yang ditularkan dan dibudidayakan ; musik hanyalah rangkaian nada yang dapat membuat kita semua bergerak dan menari, bagaimana mungkin musik diyakini atau dijelaskan secara rasional dapat menyembuhkan orang sakit, menolak datangnya hujan, membangkitkan semangat serdadu yang sedang berperang hingga meruntuhkan suatu sistim kekuasaan politik.
Bayu Arsiadhi, pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau sedang melanjutkan studi di Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 September 2013
PERKEMBANGAN ilmu musik yang kini marak menjadi pembicaraan di kalangan akademisi musik adalah usaha pengelompokan ulang suatu genre musik yang berkategori seni. Tiga puluh tahun lalu, para teoritikus beranggapan era Renaisans, Barok, Klasik, Romantik adalah zaman lahirnya musik-musik seni, secara kolektif dikenal dengan istilah ‘klasik’ oleh masyarakat awam. Dari aspek komposisi dan komposer, musik di era ini pun relatif didefinisikan dengan baik. Kini, repertoar (naskah) musik bukan satu-satu parameter yang dianggap relevan. Terutama berpijak pada posmodernisme, semua kategori sedang dalam perumusan ulang.
Praktis, kita bisa berbicara bahwa tango, rock, zapin, joget dan simfoni Beethoven semua sama. Hal ini memiliki sisi positif, karena menganggap semua jenis musik bertujuan sama, dan negatif, meskipun diteliti dengan cara yang berbeda akan menuai hasil yang sama.
Lebih dari sekedar parameter jenis atau genre bagi musik seni. Berbagai jenis musik menghasilkan fungsi dan pengalaman yang berbeda, secara umum dapat dipahami dan dibahas. Mengingat keterbatasan ruang, meski tak mencakup keseluruhan, namun, beberapa konsep berikut ini yang bisa memperjelas.
Mulai dari populer, etnis (zapin, langgam, keroncong, jazz, blues dsb) dipahami sebagai musik fungsional (ada transmisi sosial secara langsung). Sebaliknya, berbeda dengan tradisi musik seni Barat, tanpa terlalu risau apakah bobotnya sudah pantas untuk dijadikan produk jualan. Secara historis, musik fungsional berkomunikasi dengan audiens lebih gamblang dan membumi, sehingga pemikiran penciptanya dapat dijangkau oleh khalayak luas. Sementara musisi non-fungsional (umumnya di kalangan akademis) sering dipuja karena potensinya untuk menimbulkan reaksi kuat dalam khalayak- sarat dengan penolakan dan penerimaan oleh khalayak.
Selain perbedaan fungsi musik, ada beberapa konsep penting yang bisa dipertimbangkan- pengalaman dan respon yang ditimbulkan. Respon berbeda dapat dijelaskan ketika membaca novel karangan Michael Crichton atau Mickey Spillane dengan James Joyce atau Borges. Meskipun salah satu tidak selalu lebih baik dari yang lain, namun karya mereka memberi tanggapan yang berbeda. Karangan oleh dua penulis pertama termasuk cerita besar dan menyenangkan. Buku dari dua pengarang terakhir jauh lebih abstrak, membaca berulang-ulang diperlukan untuk menangkap semua rincian serta konsep abstrak yang disajikan, bagi sekelompok orang pengalaman ini menyenangkan.
Analogi yang sama dibuat ketika memeriksa seni visual. Respon yang timbul dari melihat lukisan pemandangan laut (representasional) dalam sapuan cat air oleh Carolyn Blish, tak sama saat melihat Guernica oleh Picasso. Cat air dapat menyenangkan mata atau bahkan mampu membuat kesan ‘hidup’ suatu ruangan. Pada Guernica, seseorang yang tak terlatih akan sulit menangkap citra abstrak dan penggambaran surealistik suatu peristiwa mengerikan. Melihat berulang kali sangat diperlukan untuk memahami secara rinci, yang mungkin menarik bagi seseorang dan tidak bagi yang lain. Seperti contoh di atas, pengalaman ini tidak lebih baik atau lebih buruk; namun cukup berbeda.
Kasus serupa jika dibuat dalam musik, tanggapan seseorang ketika mendengar musik dari Michael Jackson, Julio Iglesias, Madonna, tidak sama dengan respon mendengar Rite of Spring karya Stravinsky, Svara karya Abdul Sjukur, Symphonie Fantastique karya Berlioz. Kelompok pertama dapat membawa seseorang untuk bergerak dan menari, bernyanyi bersama, atau berbicara dengan teman di cafe, tidak begitu dengan kelompok kedua. Dari karya Stravinsky, Berlioz, Sjukur, seseorang mungkin dapat berasimilasi dan bereaksi setelah menaruh atensi penuh dalam mendengar, sementara ini mungkin tidak terjadi dengan contoh pertama. Sekali lagi, satu kelompok tidak lebih baik dari yang lain, melainkan tanggapan yang diberikan suatu karya dan pengalaman seseorang sangat berbeda.
Setiap contoh terakhir lebih abstrak dari yang pertama (umumnya dipinggirkan dalam realitas kehidupan). Lalu, apakah ini membuat satu pengalaman lebih baik dari yang lain? Saya rasa tidak, karena pengalaman yang lebih abstrak mungkin tampak lebih substantif, meskipun seringkali menimbulkan ketidaknyamanan. Dengan kata lain, aktivitas yang dapat mengundang atensi publik secara luas haruslah tidak biasa, memiliki kesan tidak dapat dilakukan oleh orang awam, dan fakta yang dipertunjukkan membuat kita tercengan. Pada saat yang sama, penerimaan oleh massa, tidak selalu ada sesuatu yang berharga. Banyak contoh di mana penerimaan oleh massa tersirat hal-hal yang mungkin dangkal dan minus nilai.
Apa implikasi dari pandangan ini? Pertama, gaya bukanlah faktor utama ketika mendefinisikan apakah musik seni atau tidak, alih-alih sampai batas tertentu fungsi musik. Sedangkan pengalaman dapat dikatakan realitas terdekat dari kehidupan kita. Maka, jika saya ditanya seseorang tentang jazz, jawabannya, siapa yang Anda maksud -John Coltrane atau Kenny G? Jenis pengalaman apa yang dihasilkan dari musik mereka? Hal yang sama untuk beberapa musisi rock dan pop, apa yang Anda maksud Michael Jackson atau Freedy Mercury? Bagaimana dengan musik fungsional Mozart, Haydn, Beethoven dkk? Apakah ini termasuk hal yang abu-abu? Tentu saja tidak, ada banyak masalah untuk terus dibahas. Beberapa genre dan karya akan sulit dijelaskan, tapi itulah yang menyebabkan berbicara musik begitu menarik.
Terakhir, sebuah kata singkat tentang label musik seni. Beberapa kalangan yang lebih sensitif beranggapan hal itu merendahkan musik lain, tersirat suatu seni lebih tinggi daripada lainnya. Perlu dicatat, pelabelan musik seni berasal dari beberapa lagu yang dikategorikan sebagai lagu seni pada abad ke-19 di Eropa, sebagai cara untuk membedakan lagu-lagu di era lainnya. Tidak berarti bahwa itu lebih unggul dari musik lainnya. Saya pribadi merasa tidak relevan bila musik klasik disebut sebagai musik seni. Bisa dikatakan akibat dari pemasaran massal, di mana istilah “musik klasik” adalah pilihan masyarakat, tak hirau apakah yang mereka bicarakan Bach (pada era Barok) atau Beethoven (pada era Romantik).
Apa yang saya usulkan dalam artikel singkat ini tidak dimaksudkan sebagai tes dan proper dalam upaya mengategorikan musik, melainkan strategi menghadapi fenomena yang menurut saya jelas ada. Hal ini juga, untuk memberikan beberapa konsep filosofis kepada musisi. The Truth is not out there, the truth is inside! jika kita hanya mau menerima kebenaran yang ditularkan dan dibudidayakan ; musik hanyalah rangkaian nada yang dapat membuat kita semua bergerak dan menari, bagaimana mungkin musik diyakini atau dijelaskan secara rasional dapat menyembuhkan orang sakit, menolak datangnya hujan, membangkitkan semangat serdadu yang sedang berperang hingga meruntuhkan suatu sistim kekuasaan politik.
Bayu Arsiadhi, pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau sedang melanjutkan studi di Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 September 2013
No comments:
Post a Comment