-- Beni Setia
LAGU hit Iwan Fals Teman Kawanku berterus terang mendahului kenyataan zaman dengan mengidentifikasi fenomena kuliah asal-asalan, tetapi sukses menjadi sarjana?dengan membeli skripsi. Praktik yang kini terasa wajar cuma dengan PT papan nama, dengan sekadar embel-embel kampus filial yang hanya menyelenggarakan kuliah Sabtu-Minggu. Mirip satu perkemahan pramuka sehingga wajar kalau ditertibkan c.q. UU Sisdiknas, tidak lagi sekadar digarisbawahi (Iwan Fals) sebagai fenomena jual-beli skripsi, yang beredar sebagai gosip tentang ?si temannya teman dari kawanku?.
Barangkali ironi itu yang membuat hit Iwan Fals lainnya, Sarjana Muda, memiliki korelasi intertekstual?tidak ada makan pagi gratis. Kenyataan bila para sarjana kita tidak memiliki keterampilan kerja di satu sisi, sekaligus kompetensi karyawan berkeahlian itu cukup dengan pelatihan singkat. Fenomena yang secara gamblang diidentifikasi Rendra sebagai generasi yang tidak mampu memobilisasi kemungkinan di sekitar, yang sangat berlimpah?lihat Sajak Seonggok Jagung pada Potret Pembangunan dalam Puisi, LSP, Jakarta, 1980.
Tentu saja, prosesi belajar-mengajar yang tidak ditata dalam satuan kurikulum yang bisa mendorong siswa dan mahasiswa sadar akan bakat dan potensi diri, hingga punya kepekaan si wiraswasta inovatif yang kreatif mengeksploitasi kemungkinan di sekitar. Pada gilirannya, apa terkait fakta penghasilan guru minim?seperti dikeluhkan Iwan Fals melalui Oemar Bakri, dan Rendra dengan Sajak SLA?yang ironis sarkastik menempatkan guru sebagai objek pelecehan seksual dari si murid berduit?
Jawabannya ya, setidaknya buat saat itu. Kini, gaji guru relatif tinggi, sebab ada tunjangan profesi nan setara gaji pokok. Namun, apa pendapatan ekstra itu identik dengan level spirit pengabdian meningkat setara si Oemar Bakri? Atau malah?menurut cerita seorang kawan guru?sama sekali tidak berkaitan karena hanya menggugah semangat konsumsi ketimbang fokus mendidik. Mereka tetap abai, mengajar seperti biasanya?tanpa ada peningkatan kuantitas dan kualitas mengajar. ***
KADANG impulsif seperti seniman yang suka improvisasi. Seperti guru PPKN yang memanfaatkan dua jam pelajaran ulangan harian, dengan satu jam mendiktekan soal ulangan yang dicari-cari dan satu jam pelajaran lagi untuk siswa menjawab. Pola improvisasi yang berpindah-pindah kelas sehingga soal tidak pernah seragam dan sulit dikoreksi. Meskipun memang tidak pernah dikoreksi, atau dikoreksi tetapi diabaikan karena seluruh nilai ulangan harian, UAS, dan angka rapor disasar secara improvisatif dengan pengulangan ritmis di atas nilai standar kompetensi yang imajinatif.
Jadi, ide remedial untuk meningkatkan kompetensi siswa itu nonsens?tidak pernah dilakukan. Itu semua bermula dari teknik mengajar tanpa persiapan serta improvisastif?padahal guru harus tertib mempersiapkan apa yang akan diajarkannya via RPP per semester, dengan legalisasi KS.
Ketidakbertanggungjawaban?termin teknisnya: tidak profesional?memicu tindakan otoritarian berlebihan dalam proses belajar-mengajar. Sistem yang sengaja dipersiapkan agar siswa tidak banyak tanya dan protes itu kadang memuncak menjadi tindakan ringan tangan, pelit memberi nilai, atau obral nilai. Tindakan semau gue asal senang sendiri tanpa peduli kepentingan siswa, kualitas kompetensi.
Yang tergerak menjadi sikap tidak profesional, kondisi alumni yang pintar ya alhamdulillah, bodoh ya sudahlah! Hal yang dengan pedih ditulis almarhum I Asikin (guru, sastrawan Sunda) pada cerpen Sandiwara Kahirupan (Sandiwara Kehidupan)?Nu Tepung di Imah Dukun (Yang Bertemu di Rumah Dukun), Pustaka Dasentra, Bandung, 1983. Yang bercerita tentang seorang guru galak suka menempeleng siswa dan yang berkeyakinan laku fisik itu perlu karena sesuai dengan keyakinan: cara terakhir agar siswa yang melenceng bisa diluruskan.
Sekian tahun kemudian, setelah rapat dinas di ujung berung, bertemu Andreas, sang siswa nakal yang pernah dihajarnya, dalam angkot jurusan Cicalengka?Kebonkelapa. Di setengah perjalanan, di Cicadas, saat banyak kawan turun tiba-tiba disalami si Andreas sambil mencopet uangnya.
Ketika sampai di Kebonkelapa, sebelum terus ke Ciparay, Andreas mengajaknya makan di restoran, bahkan mengembalikan semua uang kembalian, yang sebenarnya sisa uang yang dicopetnya, sebagai hadiah. Si guru galak bangga, tetapi bingung ketika duit bekal yang merupakan hasil kasbon ke sekolah hilang dan mau atau tidak mau harus digantinya.
Kekurangajaran itu merupakan manifestasi sebagian?tidak semua?siswa ketika membalas dendam karena (pernah) diperlakukan tidak proporsional di sekolah, baik itu tindakan fisik sederhana atau berlebihan, mungkin juga pelecehan dengan kata-kata, dan tidak mustahil menjadi korban pelampiasan unlike nonmasalah pendidikan. Di titik itu saya teringat lagu Iwan Fals, yang bercerita tentang anak kecil yang menjajakan koran sore dalam gerimis sekitar Tugu Pancoran, Jakarta, mencari uang membiayai pendidikan?tetapi di sekolah dicemooh temannya dan dianggap siswa bermasalah oleh gurunya. ***
PENDIDIKAN tanpa kepekaan humanistik. Hasil pendidikan asal-asalan dari si guru yang mengajar asal-asalan, padahal orang tua siswa serta sebagian dari siswa itu sendiri?sebelum bebas SPP?harus jungkir balik mencari biaya untuk pendidikan. Pas seperti dikeluhkan Iwan Fals lewat lagu Sore Tugu Pancoran dan Engkau Tetap Temanku yang bercerita tentang seorang ayah kuli kelas sandal jepit berkelahi demi mendapat duit untuk biaya sekolah anaknya, membunuh dan dipenjara sehingga si anak tidak berijazah itu terpaksa mencari kerja, saat ditolak dan dilecehkan ia berubah menjadi preman yang gemar rusuh.
Salah kaprah pendidikan yang melahirkan pribadi yang berjeniskan ?TKW susu macan, lulusan SD pengalaman? dalam Nyanyian Preman-nya Katanta Takwa. Di titik ini kita kini bisa bertanya: apa yang salah saat itu bila identifikasi negatif ihwal masalah sosial dari pendidikan di dekade ?80-an dari Iwan Fals, Rendra, dan I Asikin itu melahirkan politikus muda yang gemar beromong kosong dan meraup gratifikasi? Tidak jauh berbeda dari ikon anggota Dewan pemalas yang hanya aktif ketika gajian, seperti yang dicatat secara sinis oleh Iwan Fals dalam lagu Surat buat Wakil Rakyat.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
LAGU hit Iwan Fals Teman Kawanku berterus terang mendahului kenyataan zaman dengan mengidentifikasi fenomena kuliah asal-asalan, tetapi sukses menjadi sarjana?dengan membeli skripsi. Praktik yang kini terasa wajar cuma dengan PT papan nama, dengan sekadar embel-embel kampus filial yang hanya menyelenggarakan kuliah Sabtu-Minggu. Mirip satu perkemahan pramuka sehingga wajar kalau ditertibkan c.q. UU Sisdiknas, tidak lagi sekadar digarisbawahi (Iwan Fals) sebagai fenomena jual-beli skripsi, yang beredar sebagai gosip tentang ?si temannya teman dari kawanku?.
Barangkali ironi itu yang membuat hit Iwan Fals lainnya, Sarjana Muda, memiliki korelasi intertekstual?tidak ada makan pagi gratis. Kenyataan bila para sarjana kita tidak memiliki keterampilan kerja di satu sisi, sekaligus kompetensi karyawan berkeahlian itu cukup dengan pelatihan singkat. Fenomena yang secara gamblang diidentifikasi Rendra sebagai generasi yang tidak mampu memobilisasi kemungkinan di sekitar, yang sangat berlimpah?lihat Sajak Seonggok Jagung pada Potret Pembangunan dalam Puisi, LSP, Jakarta, 1980.
Tentu saja, prosesi belajar-mengajar yang tidak ditata dalam satuan kurikulum yang bisa mendorong siswa dan mahasiswa sadar akan bakat dan potensi diri, hingga punya kepekaan si wiraswasta inovatif yang kreatif mengeksploitasi kemungkinan di sekitar. Pada gilirannya, apa terkait fakta penghasilan guru minim?seperti dikeluhkan Iwan Fals melalui Oemar Bakri, dan Rendra dengan Sajak SLA?yang ironis sarkastik menempatkan guru sebagai objek pelecehan seksual dari si murid berduit?
Jawabannya ya, setidaknya buat saat itu. Kini, gaji guru relatif tinggi, sebab ada tunjangan profesi nan setara gaji pokok. Namun, apa pendapatan ekstra itu identik dengan level spirit pengabdian meningkat setara si Oemar Bakri? Atau malah?menurut cerita seorang kawan guru?sama sekali tidak berkaitan karena hanya menggugah semangat konsumsi ketimbang fokus mendidik. Mereka tetap abai, mengajar seperti biasanya?tanpa ada peningkatan kuantitas dan kualitas mengajar. ***
KADANG impulsif seperti seniman yang suka improvisasi. Seperti guru PPKN yang memanfaatkan dua jam pelajaran ulangan harian, dengan satu jam mendiktekan soal ulangan yang dicari-cari dan satu jam pelajaran lagi untuk siswa menjawab. Pola improvisasi yang berpindah-pindah kelas sehingga soal tidak pernah seragam dan sulit dikoreksi. Meskipun memang tidak pernah dikoreksi, atau dikoreksi tetapi diabaikan karena seluruh nilai ulangan harian, UAS, dan angka rapor disasar secara improvisatif dengan pengulangan ritmis di atas nilai standar kompetensi yang imajinatif.
Jadi, ide remedial untuk meningkatkan kompetensi siswa itu nonsens?tidak pernah dilakukan. Itu semua bermula dari teknik mengajar tanpa persiapan serta improvisastif?padahal guru harus tertib mempersiapkan apa yang akan diajarkannya via RPP per semester, dengan legalisasi KS.
Ketidakbertanggungjawaban?termin teknisnya: tidak profesional?memicu tindakan otoritarian berlebihan dalam proses belajar-mengajar. Sistem yang sengaja dipersiapkan agar siswa tidak banyak tanya dan protes itu kadang memuncak menjadi tindakan ringan tangan, pelit memberi nilai, atau obral nilai. Tindakan semau gue asal senang sendiri tanpa peduli kepentingan siswa, kualitas kompetensi.
Yang tergerak menjadi sikap tidak profesional, kondisi alumni yang pintar ya alhamdulillah, bodoh ya sudahlah! Hal yang dengan pedih ditulis almarhum I Asikin (guru, sastrawan Sunda) pada cerpen Sandiwara Kahirupan (Sandiwara Kehidupan)?Nu Tepung di Imah Dukun (Yang Bertemu di Rumah Dukun), Pustaka Dasentra, Bandung, 1983. Yang bercerita tentang seorang guru galak suka menempeleng siswa dan yang berkeyakinan laku fisik itu perlu karena sesuai dengan keyakinan: cara terakhir agar siswa yang melenceng bisa diluruskan.
Sekian tahun kemudian, setelah rapat dinas di ujung berung, bertemu Andreas, sang siswa nakal yang pernah dihajarnya, dalam angkot jurusan Cicalengka?Kebonkelapa. Di setengah perjalanan, di Cicadas, saat banyak kawan turun tiba-tiba disalami si Andreas sambil mencopet uangnya.
Ketika sampai di Kebonkelapa, sebelum terus ke Ciparay, Andreas mengajaknya makan di restoran, bahkan mengembalikan semua uang kembalian, yang sebenarnya sisa uang yang dicopetnya, sebagai hadiah. Si guru galak bangga, tetapi bingung ketika duit bekal yang merupakan hasil kasbon ke sekolah hilang dan mau atau tidak mau harus digantinya.
Kekurangajaran itu merupakan manifestasi sebagian?tidak semua?siswa ketika membalas dendam karena (pernah) diperlakukan tidak proporsional di sekolah, baik itu tindakan fisik sederhana atau berlebihan, mungkin juga pelecehan dengan kata-kata, dan tidak mustahil menjadi korban pelampiasan unlike nonmasalah pendidikan. Di titik itu saya teringat lagu Iwan Fals, yang bercerita tentang anak kecil yang menjajakan koran sore dalam gerimis sekitar Tugu Pancoran, Jakarta, mencari uang membiayai pendidikan?tetapi di sekolah dicemooh temannya dan dianggap siswa bermasalah oleh gurunya. ***
PENDIDIKAN tanpa kepekaan humanistik. Hasil pendidikan asal-asalan dari si guru yang mengajar asal-asalan, padahal orang tua siswa serta sebagian dari siswa itu sendiri?sebelum bebas SPP?harus jungkir balik mencari biaya untuk pendidikan. Pas seperti dikeluhkan Iwan Fals lewat lagu Sore Tugu Pancoran dan Engkau Tetap Temanku yang bercerita tentang seorang ayah kuli kelas sandal jepit berkelahi demi mendapat duit untuk biaya sekolah anaknya, membunuh dan dipenjara sehingga si anak tidak berijazah itu terpaksa mencari kerja, saat ditolak dan dilecehkan ia berubah menjadi preman yang gemar rusuh.
Salah kaprah pendidikan yang melahirkan pribadi yang berjeniskan ?TKW susu macan, lulusan SD pengalaman? dalam Nyanyian Preman-nya Katanta Takwa. Di titik ini kita kini bisa bertanya: apa yang salah saat itu bila identifikasi negatif ihwal masalah sosial dari pendidikan di dekade ?80-an dari Iwan Fals, Rendra, dan I Asikin itu melahirkan politikus muda yang gemar beromong kosong dan meraup gratifikasi? Tidak jauh berbeda dari ikon anggota Dewan pemalas yang hanya aktif ketika gajian, seperti yang dicatat secara sinis oleh Iwan Fals dalam lagu Surat buat Wakil Rakyat.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment