-- Iwan Kurniawan
Malam puncak perayaan Hari Puisi Indonesia versi Sutardji dkk yang bertepatan dengan hari kelahiran Chairil Anwar menjadi sebuah babak baru literatur di Tanah Air. Benarkah?
Berselang 10 detik, suara tawa seratusan audiens menggelepar liar.
Gerak-gerik lelaki paruh baya yang sibuk bermain ponsel di atas panggung ternyata mengundang sebuah lelucon. Apalagi, ia mengoceh banyak sebelum membacakan sebuah sajak miliknya berjudul Wahai Pemuda, Mana Telurmu?.
Kehadiran Tardji, sapaan Sutardji, malam itu menjadi penting. Ia hadir untuk menyukseskan Malam Anugerah Pekan Hari Puisi Indonesia di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal pekan ini. Setelah membuka aplikasi, ia pun lantang membaca sebuah sajak. Suaranya terdengar sedikit sengau dan serak. Apa gunanya merdekakalau tak bertelurapa gunanya bebaskalau tak menetas?wahai bangsakuwahai pemudamana telurmu...para pemudabertelur emasmenetas kaudalam sumpah mereka.
Perayaan hari puisi itu penting karena menjadi sebuah babak baru literatur di Indonesia. Meski demikian, terasa naif bila kita memuji secara berlebihan. Apalagi, penetapan hari kelahiran Chairil itu masih kontroversial.
“Kita merayakan puisi untuk memuliakan kata-kata, memuliakan puisi karena puisi memuliakan kita, manusia. Kita memuliakan puisi karena ia bukan sembarang kata-kata,” tutur Tardji dalam acara tersebut.
Pada pidato kebudayaan, ia tampak santai. Pemilik buku terbaru Atau Ngit Cari Agar itu membacakan kalimat-kalimat yang ia susun selayaknya membacakan puisi. Bila kita tengok ke belakang, pada 1928 teks Sumpah Pemuda telah menjadi sebuah ‘puisi’ yang dianggap sah, berbobot, dan bermakna.
Puisi Sumpah Pemuda yang dibuat secara kolektif oleh para pemuda saat itu telah menciptakan sebuah pandangan baru tentang keindonesiaan. Merampungkan semua pemuda dalam satu identitas.
Tardji pun membacakan tulisan yang telah ia siapkan. Ia tampak membolak-balikkan kertas. Gayanya langsung membuat audiens kembali tertawa. “Saya sengaja tak mau pakai Ipad karena kata-katanya liar. Saya bisa terjebak,” cetusnya, santai seraya ikut tertawa.
Pada malam itu, ada tiga pemenang untuk tiga kategori lomba yang diadakan dalam rangka HPI. Penyair Acep Zam-Zam Noor (Jawa Barat) meraih juara untuk kategori buku kumpulan puisi berjudul Bagian dari Kebahagiaan, kritik buku sastra diraih Ahmad Selvi Sumbawi (Jawa Timur) berjudul Sufisme, Humanistik dalam Perawan Mencuri Tuhan, dan pembaca puisi terbaik diraih Nana Siskhi Susanti (Jawa Tengah).
Berbagai versi
Penetapan tanggal lahir Chairil 26 Juli sebagai hari sastra menjadi sebuah puncak. Sebelumnya, Tardji dkk membacakan teks yang diperkasai Dewan Kesenian Riau di Pekanbaru, pada 24 November 2012.
Namun, setelah itu, penyair di berbagai daerah pun ikut mencetuskan hari sastra. Kelompok Taufiq Ismail pun menetapkan hari kelahiran sastrawan Abdoel Moeis pada 3 Juli 1883 sebagai Hari Sastra Indonesia.
Penetapan itu dilakukan di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Maret.
Abdoel Moeis dinilai memiliki banyak karya yang fenomenal seperti novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan sejumlah terjemahan novel sastra dunia.
Tantangan pun langsung dilakukan Wowok Hesti Prabowo, sastrawan asal Surakarta, Jawa Tengah. Ia mentah-mentah menolak hari sastra berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis. Pasalnya, pengarang Abdul Moeis adalah anak dari Balai Pustaka, yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.
Ia pun bersama rekan-rekan Boemipoetra mendeklarasikan hari sastra jatuh pada 6 Februari. Pemilihan tanggal itu berdasarkan tanggal lahir sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada 6 Februari 1925.
Terakhir, Korrie Layun Rampan ikut panas dengan menetapkan hari sastra berdasarkan hari lahir HB Jassin pada 13 Juli 1917. Ia bersama sastrawan di Samarinda, Kalimantan Timur, mengaku peranan Jassin dalam dunia kesusastraan begitu kuat.
“Indonesia patut ada hari puisi. Setiap hari kita sudah jauh dari sastra. Ada metafora dan ada metonimi. Hari puisi itu adalah hari sastra. Saya kira penentuan hari puisi punya alasan yang bermacam-macam,” ujar sastrawan Agus R Sarjono.
Penetapan hari sastra atau puisi yang bertepatan dengan hari lahir sastrawan besar, mulai Abdul Moeis versi Taufik dkk, Ananta Toer versi Wowok dkk, Chairil Anwar versi Tardji dkk, hingga HB Jassin versi Korrie dkk menunjukkan ada perpecahan ideologi.
Kendati demikian, tentu saja, penetapan hari puisi bukanlah segalanya. Terpenting, para penyair dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat luas melalui pengabdian mereka lewat kesusastraan yang beradab. In poetry we trust! (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 Agustus 2013
Malam puncak perayaan Hari Puisi Indonesia versi Sutardji dkk yang bertepatan dengan hari kelahiran Chairil Anwar menjadi sebuah babak baru literatur di Tanah Air. Benarkah?
Berselang 10 detik, suara tawa seratusan audiens menggelepar liar.
Gerak-gerik lelaki paruh baya yang sibuk bermain ponsel di atas panggung ternyata mengundang sebuah lelucon. Apalagi, ia mengoceh banyak sebelum membacakan sebuah sajak miliknya berjudul Wahai Pemuda, Mana Telurmu?.
Kehadiran Tardji, sapaan Sutardji, malam itu menjadi penting. Ia hadir untuk menyukseskan Malam Anugerah Pekan Hari Puisi Indonesia di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal pekan ini. Setelah membuka aplikasi, ia pun lantang membaca sebuah sajak. Suaranya terdengar sedikit sengau dan serak. Apa gunanya merdekakalau tak bertelurapa gunanya bebaskalau tak menetas?wahai bangsakuwahai pemudamana telurmu...para pemudabertelur emasmenetas kaudalam sumpah mereka.
Perayaan hari puisi itu penting karena menjadi sebuah babak baru literatur di Indonesia. Meski demikian, terasa naif bila kita memuji secara berlebihan. Apalagi, penetapan hari kelahiran Chairil itu masih kontroversial.
“Kita merayakan puisi untuk memuliakan kata-kata, memuliakan puisi karena puisi memuliakan kita, manusia. Kita memuliakan puisi karena ia bukan sembarang kata-kata,” tutur Tardji dalam acara tersebut.
Pada pidato kebudayaan, ia tampak santai. Pemilik buku terbaru Atau Ngit Cari Agar itu membacakan kalimat-kalimat yang ia susun selayaknya membacakan puisi. Bila kita tengok ke belakang, pada 1928 teks Sumpah Pemuda telah menjadi sebuah ‘puisi’ yang dianggap sah, berbobot, dan bermakna.
Puisi Sumpah Pemuda yang dibuat secara kolektif oleh para pemuda saat itu telah menciptakan sebuah pandangan baru tentang keindonesiaan. Merampungkan semua pemuda dalam satu identitas.
Tardji pun membacakan tulisan yang telah ia siapkan. Ia tampak membolak-balikkan kertas. Gayanya langsung membuat audiens kembali tertawa. “Saya sengaja tak mau pakai Ipad karena kata-katanya liar. Saya bisa terjebak,” cetusnya, santai seraya ikut tertawa.
Pada malam itu, ada tiga pemenang untuk tiga kategori lomba yang diadakan dalam rangka HPI. Penyair Acep Zam-Zam Noor (Jawa Barat) meraih juara untuk kategori buku kumpulan puisi berjudul Bagian dari Kebahagiaan, kritik buku sastra diraih Ahmad Selvi Sumbawi (Jawa Timur) berjudul Sufisme, Humanistik dalam Perawan Mencuri Tuhan, dan pembaca puisi terbaik diraih Nana Siskhi Susanti (Jawa Tengah).
Berbagai versi
Penetapan tanggal lahir Chairil 26 Juli sebagai hari sastra menjadi sebuah puncak. Sebelumnya, Tardji dkk membacakan teks yang diperkasai Dewan Kesenian Riau di Pekanbaru, pada 24 November 2012.
Namun, setelah itu, penyair di berbagai daerah pun ikut mencetuskan hari sastra. Kelompok Taufiq Ismail pun menetapkan hari kelahiran sastrawan Abdoel Moeis pada 3 Juli 1883 sebagai Hari Sastra Indonesia.
Penetapan itu dilakukan di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Maret.
Abdoel Moeis dinilai memiliki banyak karya yang fenomenal seperti novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan sejumlah terjemahan novel sastra dunia.
Tantangan pun langsung dilakukan Wowok Hesti Prabowo, sastrawan asal Surakarta, Jawa Tengah. Ia mentah-mentah menolak hari sastra berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis. Pasalnya, pengarang Abdul Moeis adalah anak dari Balai Pustaka, yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.
Ia pun bersama rekan-rekan Boemipoetra mendeklarasikan hari sastra jatuh pada 6 Februari. Pemilihan tanggal itu berdasarkan tanggal lahir sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada 6 Februari 1925.
Terakhir, Korrie Layun Rampan ikut panas dengan menetapkan hari sastra berdasarkan hari lahir HB Jassin pada 13 Juli 1917. Ia bersama sastrawan di Samarinda, Kalimantan Timur, mengaku peranan Jassin dalam dunia kesusastraan begitu kuat.
“Indonesia patut ada hari puisi. Setiap hari kita sudah jauh dari sastra. Ada metafora dan ada metonimi. Hari puisi itu adalah hari sastra. Saya kira penentuan hari puisi punya alasan yang bermacam-macam,” ujar sastrawan Agus R Sarjono.
Penetapan hari sastra atau puisi yang bertepatan dengan hari lahir sastrawan besar, mulai Abdul Moeis versi Taufik dkk, Ananta Toer versi Wowok dkk, Chairil Anwar versi Tardji dkk, hingga HB Jassin versi Korrie dkk menunjukkan ada perpecahan ideologi.
Kendati demikian, tentu saja, penetapan hari puisi bukanlah segalanya. Terpenting, para penyair dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat luas melalui pengabdian mereka lewat kesusastraan yang beradab. In poetry we trust! (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment