-- Iwan Kurniawan
Drupadi-Drupadi karya keramikus F Widayanto menyimpan kesunyian abadi. Ada tradisi Jawa yang dibalut dengan sentuhan mitologi Yunani kuno.
SUARA keletuk sepatu dua pengunjung perempuan seakan beradu balap. Lamat terdengar dari selingkung halaman sebelum salah satunya melenggang ke arah sebuah karya milik F Widayanto, 60.
Sejurus, suasana pameran itu seakan membawa pengunjung untuk memasuki sebuah dunia tanpa senyum. Hanya ada helaan napas pengunjung. Sesekali itu beradu kencang bagai kereta kencana di sela deretan patung karya Widayanto.
Memang, pameran yang menghadirkan 30 karya bertajuk Drupadi Pandawa Diva di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, pertengahan pekan ini, mengandung unsur tradisi dan kontemporer.
Semua karya berbahan dasar keramik itu terlihat elegan, modis, dan mahal tentunya. Namun, di balik karya-karya yang Widayanto pamerkan, ada sebuah benang merah. Nilai-nilai lokos keindonesiaannya dan mitologi Yunani kuno begitu kental dalam setiap napas karyanya.
Tengok saja karya Mencari Keadilan Drupadi (171x61x90 cm, 83 kg). Drupadi memegang sebuah timbangan keadilan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, tangan kirinya dibentangkan horizontal sebahu. Rambut Drupadi menjulur bagai lidah-lidah api ke langit, kusut masai. Sedikit merah keemasan dengan paduan tusuk konde berwarna perak. Pakaian batik Drupadi pun dibuat seakan menyerupai sayap kelelawar terjuntai panjang. Payudaranya menyembul dan sedikit terbelalak.
Begitu pula dengan kemben (kemban)--kain pembebat dada sampai pinggang--semakin membuat objek lebih elegan dan elok dipandang mata. Karya itu diberdirikan dengan mata sedikit melihat ke arah bumi. Kakinya seakan berpijak di antara kantuk dan jaga. Terlepas dari seratusan lebih pengunjung yang memadati arena pameran, setiap karya memiliki arti tersendiri. Mencari Keadilan Drupadi pun mengandung nilai-nilai tentang pencarian.
Dewi keadilan
Karya-karya Widayanto tak bisa dilepaskan dari mitologi Yunani kuno. Drupadi yang memegang timbangan akan langsung menuntun pengunjung untuk berimajinasi ke abad-abad silam tentang dewi-dewi di Eropa Timur.
Personifikasi dari konsep abstrak merupakan ciri khas dari Bangsa Yunani. Itulah yang bisa kita bayangkan bahwa karya berobjek Drupadi itu akan tertuju pada sosok Dewi Themis. Themis kelak sebagai salah satu orakel di Delphi, yang kemudian menjadi dewi keadilan.
Namun, itu sangat berbeda dengan timbangan yang dipegang Drupadi. Dalam penggambaran klasik, Themis memegang timbangan dengan tangan kirinya setinggi bahu, sedangkan tangan kanan membumikan pedang.
Keberadaan Themis cukup penting. Ia melambangkan kesepakatan bersama, bukan paksaan. Tak mengherankan, sang dewi pun selalu menunjukkan adanya keadilan sehingga membuat rakyatnya hidup dalam damai sentosa.
Dari sejumlah literatur, khususnya mitologi Romawi, Themis dipadankan dengan Iustitia atau Justitia, yang juga merupakan dewi keadilan dan hukum. Bahkan, seluruh dunia pun menggunakan lambang timbangan sebagai sebuah cara untuk tidak memihak kepada siapa pun.
Sayangnya, lambang keadilan di negeri ini, misalnya, terkadang digunakan segelintir orang yang memiliki kekuatan--harta, politik, dan adi daya--untuk melumpuhkan kaum lemah.
"Pengaruh patung memang dari Eropa Timur. Anatomi adalah riil budaya Barat sehingga sebagai perupa, saya masuk bagian itu. Saya coba untuk memasukkan Drupadi yang notabene hidup dalam kebudayaan Jawa," ujar Widayanto di sela-sela pameran.
Pada pameran yang berlangsung 22-30 Agustus itu, ada sebuah benang merah tentang perempuan. Perempuan yang Widayanto garap dengan tangannya itu begitu elegan dan super.
Semua karya lelaki lajang itu bukan berupa monumental. Itu lebih kepada simbol tentang kelembutan, kecantikan, kegemulaian, dan kepintaran. "Patung-patung saya tak ada yang kasar dan berteriak. Gerak tubuh yang sensual membuat objek penuh dengan estetika," aku alumnus Jurusan Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1981) itu.
Objek Drupadi dalam pameran tersebut menunjukkan perempuan sebagai enigmatis. Drupadi mampu menempatkan diri di berbagai latar belakang dengan rendah hati. Dalam mitologi Hindu kuno, Drupadi ialah seorang pancakarya dari lima tokoh utama.
"Kejelian Widayanto terletak pada kemampuan ia mengolah tanah menjadi keramik. Pembakaran yang begitu kuat menghasilkan karya-karya patung yang elegan, sunyi, dan tanpa senyum," nilai Pius Firman, pemerhati seni.
Terlepas dari kesuksesan Widayanto dalam menghadirkan 30 karya berupa objek bidadari sunyi, ada superioritas yang ia tunjukkan dalam karya. Sayang, semua karya kurang menghadirkan nilai-nilai lokal.
Widayanto begitu berpaku pada pengaruh mitologi Eropa dan masih miskin dalam nilai-nilai keindonesiaan. Itu akan membuat kita membayangkan kejayaan masa Michelangelo lewat karya agungnya David yang masih dipamerkan di Galleria dell'Accademia, Florence, Italia. Bedanya, Drupadi adalah Hawa, sedangkan David adalah Adam. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
Drupadi-Drupadi karya keramikus F Widayanto menyimpan kesunyian abadi. Ada tradisi Jawa yang dibalut dengan sentuhan mitologi Yunani kuno.
SUARA keletuk sepatu dua pengunjung perempuan seakan beradu balap. Lamat terdengar dari selingkung halaman sebelum salah satunya melenggang ke arah sebuah karya milik F Widayanto, 60.
Sejurus, suasana pameran itu seakan membawa pengunjung untuk memasuki sebuah dunia tanpa senyum. Hanya ada helaan napas pengunjung. Sesekali itu beradu kencang bagai kereta kencana di sela deretan patung karya Widayanto.
Memang, pameran yang menghadirkan 30 karya bertajuk Drupadi Pandawa Diva di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, pertengahan pekan ini, mengandung unsur tradisi dan kontemporer.
Semua karya berbahan dasar keramik itu terlihat elegan, modis, dan mahal tentunya. Namun, di balik karya-karya yang Widayanto pamerkan, ada sebuah benang merah. Nilai-nilai lokos keindonesiaannya dan mitologi Yunani kuno begitu kental dalam setiap napas karyanya.
Tengok saja karya Mencari Keadilan Drupadi (171x61x90 cm, 83 kg). Drupadi memegang sebuah timbangan keadilan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, tangan kirinya dibentangkan horizontal sebahu. Rambut Drupadi menjulur bagai lidah-lidah api ke langit, kusut masai. Sedikit merah keemasan dengan paduan tusuk konde berwarna perak. Pakaian batik Drupadi pun dibuat seakan menyerupai sayap kelelawar terjuntai panjang. Payudaranya menyembul dan sedikit terbelalak.
Begitu pula dengan kemben (kemban)--kain pembebat dada sampai pinggang--semakin membuat objek lebih elegan dan elok dipandang mata. Karya itu diberdirikan dengan mata sedikit melihat ke arah bumi. Kakinya seakan berpijak di antara kantuk dan jaga. Terlepas dari seratusan lebih pengunjung yang memadati arena pameran, setiap karya memiliki arti tersendiri. Mencari Keadilan Drupadi pun mengandung nilai-nilai tentang pencarian.
Dewi keadilan
Karya-karya Widayanto tak bisa dilepaskan dari mitologi Yunani kuno. Drupadi yang memegang timbangan akan langsung menuntun pengunjung untuk berimajinasi ke abad-abad silam tentang dewi-dewi di Eropa Timur.
Personifikasi dari konsep abstrak merupakan ciri khas dari Bangsa Yunani. Itulah yang bisa kita bayangkan bahwa karya berobjek Drupadi itu akan tertuju pada sosok Dewi Themis. Themis kelak sebagai salah satu orakel di Delphi, yang kemudian menjadi dewi keadilan.
Namun, itu sangat berbeda dengan timbangan yang dipegang Drupadi. Dalam penggambaran klasik, Themis memegang timbangan dengan tangan kirinya setinggi bahu, sedangkan tangan kanan membumikan pedang.
Keberadaan Themis cukup penting. Ia melambangkan kesepakatan bersama, bukan paksaan. Tak mengherankan, sang dewi pun selalu menunjukkan adanya keadilan sehingga membuat rakyatnya hidup dalam damai sentosa.
Dari sejumlah literatur, khususnya mitologi Romawi, Themis dipadankan dengan Iustitia atau Justitia, yang juga merupakan dewi keadilan dan hukum. Bahkan, seluruh dunia pun menggunakan lambang timbangan sebagai sebuah cara untuk tidak memihak kepada siapa pun.
Sayangnya, lambang keadilan di negeri ini, misalnya, terkadang digunakan segelintir orang yang memiliki kekuatan--harta, politik, dan adi daya--untuk melumpuhkan kaum lemah.
"Pengaruh patung memang dari Eropa Timur. Anatomi adalah riil budaya Barat sehingga sebagai perupa, saya masuk bagian itu. Saya coba untuk memasukkan Drupadi yang notabene hidup dalam kebudayaan Jawa," ujar Widayanto di sela-sela pameran.
Pada pameran yang berlangsung 22-30 Agustus itu, ada sebuah benang merah tentang perempuan. Perempuan yang Widayanto garap dengan tangannya itu begitu elegan dan super.
Semua karya lelaki lajang itu bukan berupa monumental. Itu lebih kepada simbol tentang kelembutan, kecantikan, kegemulaian, dan kepintaran. "Patung-patung saya tak ada yang kasar dan berteriak. Gerak tubuh yang sensual membuat objek penuh dengan estetika," aku alumnus Jurusan Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1981) itu.
Objek Drupadi dalam pameran tersebut menunjukkan perempuan sebagai enigmatis. Drupadi mampu menempatkan diri di berbagai latar belakang dengan rendah hati. Dalam mitologi Hindu kuno, Drupadi ialah seorang pancakarya dari lima tokoh utama.
"Kejelian Widayanto terletak pada kemampuan ia mengolah tanah menjadi keramik. Pembakaran yang begitu kuat menghasilkan karya-karya patung yang elegan, sunyi, dan tanpa senyum," nilai Pius Firman, pemerhati seni.
Terlepas dari kesuksesan Widayanto dalam menghadirkan 30 karya berupa objek bidadari sunyi, ada superioritas yang ia tunjukkan dalam karya. Sayang, semua karya kurang menghadirkan nilai-nilai lokal.
Widayanto begitu berpaku pada pengaruh mitologi Eropa dan masih miskin dalam nilai-nilai keindonesiaan. Itu akan membuat kita membayangkan kejayaan masa Michelangelo lewat karya agungnya David yang masih dipamerkan di Galleria dell'Accademia, Florence, Italia. Bedanya, Drupadi adalah Hawa, sedangkan David adalah Adam. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment